logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 9 Little Prince

Pagi Di Rumah Matthew
Danny memakai bandana polkadot di perjalanan menuju dapur. Walaupun libur, ia tetap menyiapkan sarapan untuk Matthew. Meskipun ia sama sekali tidak tahu kapan jadwal laki – laki itu pergi ke tempat kerjanya. Daniella menepuk pipinya keras. Kemudian mengaduh karena tepukannya terasa seperti tamparan.
“Good mornin,” sapa Matthew lengkap dengan apron garis milik Danny.
Daniella tak menjawab, hanya mendekatkan diri ke meja makan. Menilik hidangan apa yang tersaji di sana. Semuanya perfect, tanpa tragedi gosong ataupun ketumpahan lada. Ia menatap Matthew, siulannya saat mencuci tangan membuat Danny tersenyum. Ada peristiwa spesial apa sehingga pemilik rumah membuat sarapan pagi?
“Sit down please,” perintah Matt.
Danny menarik kursi, lalu duduk di dekat Matthew.
“What do you want princess?” Tanya Matt menatapnya.
“Roti pake selai blueberry. Hmm, sisain sosis, bacon sama telor mata sapinya ya mas. Takut masih laper.” Tunjuk Danny.
Matt mengangguk, ia mengambil roti gandum panggang dari salah satu piring. Mengolesinya dengan selai, tadinya hanya tipis tipis saja. Ternyata Danny lebih suka jika ekstrak blueberrynya sangat banyak. Jadi Matt menuruti apa kata Danny.
“Mari makan,” kata Matt mengawali. Sebelum berhasil mengangkat garpunya. Danny mencengkram tangan kiri Matt.
“Doa dulu,” kata Danny, Matt tersenyum. Tangan kirinya menggenggam tangan Danny. Mereka berdua memejamkan mata, mengucap syukur atas nikmat sarapan pagi ini. Setelah mengucap amin, barulah mereka makan.
“Ada apa sih mas?” Danny memegangi roti di tangan kanannya.
“Sogokan biar kamu bantuin aku hari ini. Libur toh?” Tanya Matt.
Danny mengangguk.
“Bantu apa?” Danny meneguk susu coklat setelah menghabiskan roti.
“Momong tuyul,” sahut Matt membuat Daniella terkekeh. Kini ia fokus ke sosis panggang yang ada di hadapannya.
“Abis itu bagi hasil tapi ya mas,” lanjut Danny.
Setelah mandi pagi,
Bel rumah Matthew berbunyi. Danny melihat sosok tak asing dari balik pintu. Kembaran Matthew versi perempuan dengan balita dalam buaiannya.
“Oh. Hei. Daniella right? Kok kamu di sini? Matt minta tolong sama kamu?” Miley mencari keberadaan Matthew.
“Jeh. Kemana aja sis. Dia penghuni kamar atas sejak dua taun lalu. Sekarang masuk taun ketiga ya Dan? Hello jagoan.” Matt mengambil alih bocah laki – laki yang masih tertidur dari pelukan kakaknya.
“Ya ampun. Uda ngapain aja?” Miley menyenggol rusuk Danny.
“Kakak!!! Uda sana gih pegi,” usir Matt.
“Iya iya, titip Prince ya. Bye ganteng, bye cantik.” Miley memberi kecupan pada putra kecilnya, lalu Matthew. Terakhir Danny.
Daniella tersenyum, mungkin kurang lebih begitu rasanya jika mempunyai seorang kakak perempuan ya? Atau ibu mungkin.
“Eh. Ini tuyulnya taroh mana?” Pertanyaan Matt membuat lamunan Danny buyar.
“Yang bener itu ini prince mau ditidurin di mana?” Kata Danny meralatnya.
Karena kamar Matt paling dekat, jadi mereka menidurkan Prince yang baru berumur 11 bulan di ranjang sang paman. Karena takut menggelinding ketika bangun nanti. Danny menempatkan bantal pada sekeliling Prince. Melihat bibir mungilnya yang bergerak gerak membuat Matt tertawa.
“Ngenyot apaan sih Prince?” Matt mencubit bibir keponakannya pelan. Danny masih asyik mengamati kamar Matthew. Ia baru pertama kali masuk ke dalamnya.
“Mau nonton tv?” Tanya Matt.
“Nanti Prince keganggu. Jangan, stelin musik klasik aja,” bisik Danny.
Perempuan itu beranjak dari tempat tidur Matt, menusuri koleksi piringan hitam dan berbagai macam buku di rak khusus milik Matthew. Ia menemukan potret keluarga dalam figura. Pastilah di ambil beberapa tahun lalu. Karena Matt tampak culun. Mau tak mau Danny tertawa melihatnya.
“You got your mother’s smile.” Danny membalikkan tubuh untuk menatap Matthew.
Partner bicara Danny tersenyum, menunjukkan lesung pipi. Menyetujui kalimat Daniella.
“Pasti enak ya mas. Masih bisa dipeluk mama, pengen ngobrol tinggal telphon, dapet cium lagi kalo ketemu.” Mendadak Danny tertarik pada kuku jemari kakinya.
Matt tidak menjawab, masih mendengarkan. Kali saja masih ada uneg – uneg lain yang ingin Danny sampaikan.
“Aku di tinggal pergi mamaku pas umur tiga tahun. Kata papa, entah mama lupa jalan atau memang nggak mau pulang. I don’t know.” Danny mengingat ingat sosok perempuan itu dalam benaknya.
Kini Matthew berdiri, meraih kepala Danny yang menunduk saat duduk dikursi kerjanya. Mengusap rambut kecoklatan Danny pelan, isakan halus terdengar saat Daniella menyandarkan dahi ke perut Matt. Hatinya perih, karena suara tangisan Danny terdengar pilu. Mungkin karena hal tadi jugalah, Danny sering melendot pada Minara atau Kiana. Ia suka sekali ketika kakak – kakaknya memberi Danny pelukan, mengusap kepalanya ataupun sekedar bergosip bersama.
Sekarang Matthew mengerti. Apa alasan Danny mau menjadi relawan di panti jompo pada akhir pekan. Padahal ia seorang karyawan full timer. Bukan karena uang, melainkan kehangatan keluarga yang tak pernah ia dapat.
Hiks
Suara lirih Prince membuat mereka berdua bereaksi. Dannya terlebih dulu menggendong Prince, menimangnya dalam pelukan. Berkali – kali ia meminta maaf, menempelkan bibir pinkishnya ke telinga si kecil. Saat menarik Prince dari bahunya, Danny membuat kontak mata untuk pertama kali. Mereka mengamati satu sama lain, Prince mengerucutkan bibir. Membuat suara suara menggelitik telinga yang mendengar.
“Ooh. Kamu lagi ngehibur onty ceritanya? Makasi sayang, hmm? Pengen jalan jalan? Ayuuk, kita liat matahari yaa.”
Matthew tak kuasa menahan rahangnya agar tak jatuh. Sejak kapan Danny bisa bahasa bayi? Kenapa pula Prince tampak nyambung bertukar informasi dengan Danny. Padahal hanya ber ah, ooh, huuu menggunakan ekspresi lucu. Pasti hal itu yang membuat Danny luluh. Pintar sekali!
Danny masih mengajak makhluk kecil berlumur liur di pangkuannya bercanda. Sesaat si kecil mengoceh sembari menepuk nepuk dadanya. Tampaknya Prince lapar. Danny terkekeh ketika keponakan Matt menubrukkan wajah ke dada kanannya. Seakan mencari spot penting untuk menyusu.
“Hey. I cannot breastfeeding you yet, baby.” Ia mencoba memberi tahu Prince.
Matthew masih mengamati pemandangan indah dari jarak tiga meter.
“Mas.” Panggil Danny.
“Iya.” Matt bangkit dari sofa.
“Tolong gendong Prince dulu, aku mau bikin susu buat si embil.” Danny menempelkan bibir ke pipi Prince. Mereka berdua tertawa.
“Iyaudah sini.” Matt mengambil alih Prince yang kini tengah mengunyah keempat jari. Menyisakan kelingking lucu nan menggemaskan.
Danny membaca petunjuk yang mama Prince tinggalkan menggunakan sticky notes. Menakar bubuk perisa madu ke dalam botol. Menambahkan air suam suam kuku. Layaknya bartender, Danny mencampur susu dan air dengan gerakan shake. Lalu menekan pelan botol agar cairannya menetes ke punggung tangan. Suhunya pas sekarang, sudah siap di sajikan.
“Your honey milk is here my Prince.” Danny menempatkan diri di samping Matt. Menyentuh jemari mungil Prince, membuka telapak tangan dan menyisipkan botol susu di antara kedua tangan gempalnya.
Danny dan Matthew terdiam, mengamati si kecil menyusu dalam diam. Mereka berdua kagum melihat ciptaan Tuhan bermata indah di pangkuan Matthew. Danny tanpa sadar menyandarkan dagu ke bahu Matt. Masih terpesona oleh tingkah laku Prince.
“Cakep gini kayak pangeran. Masak di bilang tuyul. Unclemu rese banget.” Danny memegangi kaki Prince, lalu menciuminya.
“Yang di panggil tuyul aja nggak marah. Ya Prince ya.” Matthew mengerling jenaka pada keponakannya. Anehnya Prince tertawa, seakan mengerti gurauan Paman Matthew.
Sungguh pagi indah yang tak terduga.

Bình Luận Sách (2781)

  • avatar
    Rg Magalong

    Sana Mas madali

    11d

      0
  • avatar
    yantiely

    😭😫

    22/07

      0
  • avatar
    PratamaZhafran

    aku sama sekali tidak bosan membaca ini dengan ska

    12/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất