logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 4 HARUS TEGAR

"Kamu benar ingin menjadi model dengan keadaanmu yang seperti itu?" tanya seorang wanita berbaju merah yang kini sedang duduk di kantornya. Ada banyak sekali foto-foto model sampul majalah iklan terpajang di sana.
Wanita itu bernama Marisa, memiliki tubuh langsing berusia matang sekitar tiga puluh tahunan. Dengan gaya rambut dicepol tinggi ke atas. Wanita itu meneliti keadaan Noya yang sungguh menyedihkan dengan mata bengkak seperti habis menangis dan dahi yang robek sedikit.
Noya menutupi lehernya dengan kerah baju. "Iya," jawab Noya singkat penuh harap.
"Sudah dua bulan yang lalu saya menawarimu untuk menjadi model di agensi kami ini. Kenapa baru sekarang datang dan dalam keadaan menyedihkan begini?" tanya Marisa prihatin.
"Saya-"
"Tidak perlu dijawab. Saya hanya mengutarakan hati saya saja," potongnya. "Kalau kamu ingin menjadi model di sini, ada syaratnya. Apa kamu setuju?" tanya Marisa.
Noya mengangguk kuat-kuat. Marisa menghela napas seraya membuka laci mejanya. Ia mengeluarkan sebuah berkas dan diberikan pada Noya.
"Saya mengerti," kata Noya setelah membacanya.
"Kamu bisa kerja hari ini," katanya.
Noya memandang Marisa tidak percaya. Keadaannya tidak meyakinkan untuk bekerja. "Tapi-"
"Saya punya penata rias, dia akan make over wajah kamu sehingga sempurna," potongnya untuk menjawab keheranan Noya.
Marisa meraih ponselnya yang terletak di meja dari tadi. "Hallo, An. Kamu ada waktu gak, bisa tidak kamu ke sini?" tanyanya di telepon.
Noya memerhatikan seluruh sisi ruangan itu. Ia membayangkan menjadi seorang model, tanpa sadar matanya berkaca-kaca mengenang masa kelamnya bersama Rang.
Beberapa bulan yang lalu saat di rumah Har marah besar padanya.
"Apa?! Kamu mau menjadi model!" bentak Rang pada Noya di kamar mereka.
"Aku tidak berniat menjadi model. Aku tadi ditawari saja dan-"
Plak! Pipi Noya ditampar oleh Rang. Pria itu dengan kejam merenggut rambut Noya hingga Noya meringis. Ada darah segar keluar dari sudut bibirnya berkat tamparan keras lelaki itu.
"Kenapa kamu simpan, kenapa tidak kamu buang?!"
"Ke-kenapa kamu marah?" Noya balik bertanya. "Aku hanya ingin menyimpan saja andai suatu saat kita butuh atau bila kamu tidak suka bisa katakan baik-baik padaku. Bukan begini caranya!"
Rang mengambil kertas yang berada di tangan Noya dan merobeknya kecil-kecil kemudian membuangnya ke tempat sampah. "Aku tidak membolehkan kamu ke mana-mana kecuali mengantar Gilang dan ke pasar."
"Sampai kapan kamu akan mengekangku terus?! Sementara kamu pergi ke luar bersama perempuan lain setiap hari! Aku tahu itu karena kamu tidak mau aku tahu bahwa kamu sedang berselingkuh bukan?!" Noya berteriak marah. Ia bangkit dan menatap tajam ke arah Rang.
"Dasar istri tidak tahu diri!" Ia menampar kembali wajah Noya. Hingga lebam dan keluarkan darah di hidung.
Noya mengusap wajahnya yang kini sudah membiru. Luka sekecil itu tidak membuatnya gentar. Yang membuatnya gentar adalah sakit hatinya yang kini sudah mulai memuncak. "Tampar lagi! Tampar semaumu!" tantangnya dengan memberikan pipinya ke arah Rang.
"Mama!" Gilang datang merangkul Noya. Membenamkan dirinya ke perut ibunya.
Rang memerhatikan anak dan ibu itu. "Mengesalkan sekali melihat drama kalian berdua. Membuat aku ingin muntah!" omelnya. Rang segera pergi dengan membanting pintu.
"Noya ... Noya!" panggil Marisa pada Noya yang sedang melamun.
"Eh, iya!" Noya tersentak dan menyeka air matanya.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Marisa heran melihatnya tiba-tiba menangis.
"Ya, saya baik-baik saja," jawab Noya.
"Itu di sebelahmu, udah berdiri penata make up yang andal," tunjuknya pada pemuda berusia dua puluh enam tahun. Berwajah manis dengan tahi lalat kecil di dagunya.
Noya memandang pemuda itu sejenak kemudian menunduk sembari memainkan jemarinya.
"Kamu tangani dia, hari ini saya ingin dia yang menjadi model majalah tas kulit dari Itali yang dipesan oleh pengusaha pasion minggu lalu," perintah Marisa.
"Oke, Kak." Pemuda itu tersenyum dan menepuk bahu Noya agar ikut bersamanya. "Yuk," ajaknya.
Noya memandang Marisa, seperti tahu Marisa hanya mengangguk dan memberi isyarat agar dirinya mengikuti pemuda tadi.
"Duduklah," perintahnya pada Noya setelah mereka berada di kamar rias.
Noya mengangguk dan duduk sembari memerhatikan wajahnya yang kusam dan tidak terurus di cermin. Diam-diam ia malu dengan keadaannya sekarang.
"Bagaimana bisa, gadis secantik kamu berpenampilan seperti ini?" tanya pemuda itu heran. Ia mengambil kapas dan mulai membersihkan wajah Noya. "Sebagai seorang model, kamu harus menjaga badan terutama wajahmu ini. Jangan sampai rusak," nasehatnya.
"Em," jawab Noya.
"Oh, ya. Namaku Ando," kata Ando. "Kak Marisa biasa memanggilku An," tambahnya seraya memilih-milih bahan kosmetik yang akan digunakan untuk merias wajah Noya. "Kamu ini cantik sekali, ya. Berapa umurmu sekarang?" tanya Ando sembari mengusap wajah Noya dengan spon.
"Dua puluh lima tahun," jawab Noya.
"Berarti masih muda kamu, ya. Umurku dua puluh enam tahun," kata Ando seraya memerhatikan wajah Noya yang kini polos tanpa make up. "Wajahmu ini ..." Ando diam tampak berbikir dan meneliti setiap inci wajah Noya. "Aku bingung mendandani wajah sempurna seperti ini. Terlihat norak kalau kupakaikan bedak seperti model lainnya." Ando segera meraih kotak ruasnya yang dari tadi terdapat di meja rias. "Bagaimana kalau kututupi saja lukamu dengan cream, kemudian kamu kudandani senatural mungkin," gumamnya.
"Terserahmu saja," ucap Noya pasrah.
"Panggil kakak dong. Masa 'kamu' sih," protes Ando dengan senyum menggoda. "Aku kan lebih tua darimu," tambahnya.
"Iya, Kak." Noya terpaksa mengiyakan saja.
"Kamu suka warna lips apa?" tanya Ando seraya memilih warna lips untuk Noya.
"Merah," jawab Noya.
"Kalau pink kamu mau?" tanya Ando. "Cantik loh, apalagi kamu masih terlihat seperti remaja SMU," katanya.
"Terserah saja," jawab Noya.
Ando tersenyum dan memoleskan lipstik ke bibir Noya. Ia sempat berdecak kagum melihat bibir Noya yang pas sekali dengan perkiraannya. Sangat natural dan manis sekali. "Wah! Cantiknya. Coba kamu lihat di cermin," pintanya.
Noya diam memandang sejenak wajahnya kemudian mengalihkan pandangannya ke lain arah. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Kamu ngapain dandan?! Mau selingkuh!" Plak! Tanpa sadar Noya mengusap pipinya karena teringat tamparan Rang padanya sebelum mereka memiliki Gilang.
"Hey, kenapa melamun?" tegur Ando. "Apa pipimu sakit?" Ando heran melihat Noya berkaca-kaca dan memegang pipinya sendiri.
"Gak, Kak. Cuma terasa halus bila diraba," alasannya.
"Hem, ya sudah. Kita ke ruang pemotretan yuk," ajaknya.
Ando meraih bahu Noya, menuntunnya untuk menuju ruang pemotretan. Marisa berdehem kemudian menghampiri Ando seraya menjitak kepala pemuda itu sebanyak tiga kali. Ando meringis sakit.
"Kenapa bajunya tidak kamu ganti?!" bentak Marisa.
Ando memandang pakaian Noya kemudian memandang Marisa dengan terkekeh malu. "Hehe ... lupa, Kak," dalihnya. "Yuk sini pilih baju dulu," ajaknya pada Noya.
Noya terpaksa kembali lagi ke kamar rias karena ditarik Ando. "Maaf ya, aku lupa," kata Ando sembari memilih baju yang tergantung bebas di ujung ruangan kamar rias.
Noya mengangguk saja. Ia memerhatikan Ando yang sibuk mencocokkan baju ke tubuhnya. Bermacam-macam gaun diarahkan padanya, tapi tidak satu pun membuat pemuda itu puas.
"Biasanya warna apa yang cocok denganmu?" tanyanya setelah bingung memilih.
"Ungu," jawab Noya.
"Astaga! Gak kepikiran," Ando menepuk dahinya kemudian mencari baju warna ungu. Sebuah dress cantik dengan manik putih kini dibawanya pada Noya. "Pakai deh," perintahnya.
"Di mana?" tanya Noya heran. Ia tidak melihat kamar ganti di sana.
"Di sini," jawab Ando.
Noya tersentak mundur. "Di sini?" Ia mencoba bersabar.
"Iya di sini, kamu ganti di sini."
"Di depanmu?" tanya Noya lagi.
"Iya, di depanku. Biar aku tahu kalau pakaian itu cocok buatmu," kata Ando santai tanpa memikirkan perasaan marah Noya.
"Serius di sini?!" tekannya.
"Iya!" jawab Ando tegas. "Kalau kamu gak mau biar aku yang bukain," kata Ando seraya meraih pakaian yang melekat di tubuh Noya.
Noya geram ia memegang kedua lengan Ando dan menaikkan lututnya untuk menyerang bagian bawah pemuda itu.
"Aduuh!" Ando mengerang kesakitan sembari menutupi bagian intinya. "Aduh!" teriaknya lagi saat Noya sudah mengarahkan tinjuan kilatnya ke dagu pemuda itu.
"Dasar buaya!" teriak Noya.
Darr! Suara pintu dibanting. Noya meninggalkan Ando yang meringis kesakitan bergulingan di lantai.
"Saya keluar!" bentak Noya pada Marisa.
"Kenapa kamu datang-datang marah begitu?!" balas Marisa.
"Ando itu kurang ajar! Dia menyuruhku telanjang di depannya," jawab Noya dengan penuh emosi.
"Ando!!" teriak Marisa. "Kamu tunggu di sini!" perintah Marisa pada Noya.
Noya diam saja. Ia menjadi pusat perhatian oleh kru pemotretan. Marisa yang marah segera menendang pintu kamar rias dan mendapati Ando yang berusaha bangkit dengan menyasar kursi.
"Sini kamu!" Marisa menarik Ando yang terkejut karena kedatangannya keluar kamar dan sekarang menuju ruang pemotretan.
"Aduh! Kak. Sakit, Ando gak kuat jalan," keluh Ando sambil tergopoh-gopoh diseret oleh Marisa.
"Minta maaf sekarang," perintah Marisa saat mereka telah berada di depan Noya.
"Gak mau," jawab Ando.
"Kamu keterlaluan ya. Masa nyuruh dia telanjang di depanmu. Kamu itu kebangetan gilanya," Marisa menjewer kuping Ando.
"Auh! Aduuh! Aku cuma becanda Kak. Aku gak sejahat itu," belanya sembari menepis tangan Marisa.
"Bohong! Dia bahkan dengan tegas menjawab dan malah ingin membuka pakaian saya!" tangkis Noya dengan telunjuk mengarah pada Ando.
"Sumpah! Cuma becanda ... ya ampun kamu. Benar-benar enak dibecandain," kata Ando.
"Kamu!" Marisa dan Noya sama-sama ingin menjitak kepala pemuda itu.
"Iya! Iya! Maaf. Lain kali gak lagi." Ando menutupi kepalanya dari serangan mereka berdua.
"Nah, gitu dong." Marisa kini memandang Noya. "Kamu ganti di kamar mandi saja, ya. Yang di dekat ruangan ini," kata Marisa lembut kepada Noya.
"Tapi-"
"Saya janji, ini yang terakhir. Dia cuma bercanda dan itu tidak akan terulang lagi." Marisa memberi pengertian. "Kalau itu terulang kamu bisa hajar dia sepuasmu," bisiknya.
Noya tersenyum kemudian mengangguk. Ia sempat melihat Ando bersungut-sungut ke arah mereka berdua.

Bình Luận Sách (511)

  • avatar
    NegeriAnak

    Novel ini memiliki alur hambel dan graudal sehingga mampu menjerat rasa penasaran pembaca. Perlahan kita jadi menikmati setiap kejadi-kejadian kecil dan kejadian yang besar. Konstruksi kisahnya seperti melukis di atas batu karam, dimana kisah ini memulai dari hal sosial yang hampir sama di setiap lingkungan hidup kita. Saya jadi semakin penasaran untuk lanjut membaca, karena kisah ini juga ibarat mendaki gunung. Namun setelah saya membaca ada beberapa ejaan dan kosa kata yang kurang hurufnya.

    06/02/2022

      0
  • avatar
    Fujii Ann

    Lanjut

    10/08

      0
  • avatar
    ALARM_THAILOOK

    keren cui novel nya bagus iii aku suka bangettt tpi lagi asli kalau dia sexy lagi bagussss

    08/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất