logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 5 Sebuah Mimpi

Rumah-rumah megah dengan cat putih gading dan berpagar kokoh "classic style" tampak kosong.
Laila berjalan dan memutar arah kemudian berdiam di sebuah rumah yang sama megahnya.
Sebelah kanan kain-kain berwarna-warni terang tampak terjuntai dengan indahnya.
*****
Tepat pukul tiga Laila terbangun. Dia menatap adiknya yang masih terlelap di samping kanannya. Kasur kapuk yang hanya cukup untuk berdua tetap nyaman karena sang Ibu selalu memasukan sisa kain ke dalamnya dan menjahit tangan.
Mimpi yang aneh, dan sudah dua kali aku memimpikan hal seperti ini.
Laila menuju kamar mandi dan segera mengambil wudu.
Mungkin aku harus sering melaksanakan qiyamul lail. Dingin sekali udara tapi sayang kalau aku lewati kesempatan ini.
Setelah selesai tahajud dia segera membangunkan Ibu dan adiknya.
Mereka makan dengan lahap meski hanya dengar sayur bayam dan goreng telur dadar.
Selesai makan Laila langsung mengeluarkan piring-piring yang kotor untuk dicucinya nanti.
"Laila biar Ibu yang cuci, mulai hari ini biar Ibu cucikan kamu harus banyak istirahat biar enggak capek."
"Biar aku saja, Ibu juga pasti lelah, udaranya dingin begini biar agak siangan deh cucinya."
"Iya, simpan saja, kamu selimutan lagi, supaya enggak masuk angin."
Tapi aku enggak mau tidur lagi, takut nanti malah malas bangun."
"Ya udah cuma selimutan doang, biar enggak dingin."
"Hehe, iya aku kira Ibu suruh aku tidur."
"Itu tandanya kamu kelelahan, salah tangkap!"
Laila tertawa mendengarnya.
*****
Pukul delapan lewat Laila masih belum berangkat. Rasa lelah juga mengantuk mulai terasa.
Ya Allah berikan kekuatan dan kesehatan kepadaku. Aku tidak ingin seperti ini, tapi aku harus bekerja.
Ibunya yang juga bersiap ke luar rumah menatap Laila.
"Kenapa, Nak?"
"Enggak, aku cuma sedikit mengantuk."
"Naik ojeg saja, ini uangnya Ibu kasih."
"Enggak usah, kita harus hemat."
"Daripada nanti di jalan kamu kenapa-kenapa, ayo, kita ke depan cari ojeg saja."
"Limo, jangan lupa kerjakan pelajaran dari Bu guru, harus banyak baca juga dan kunci pintu kalau kamu mau main."
"Ya udah sekarang aku mau main."
"Baca buku dulu, baru main!"
"Iya deh."
******
Laila berangkat kerja dengan menggunakan ojeg. Dia merasa kasihan pada Ibunya tapi sungguh sangat melelahkan setiap hari berjalan kaki dengan kondisi berpuasa pula.
Di kedai Ira dan Wira sudah datang. Laila menyapa mereka berdua.
"Tumben naik ojeg, pasti kamu lelah ya?"
"Hehe, iya, aku agak ngantuk dan sedikit lelah."
"Kasihan, semoga kamu nanti punya motor sendiri, aku juga tiap hari nebeng sama Wira untung dia deket rumahnya."
Laila tersenyum kemudian dia langsung menyimpan tasnya di dalam lemari khusus karyawan.
Wira menghampiri Laila yang sedang asyik mengelap meja.
"Laila kamu kurus harus banyak makan sayur, besok ku beri sayuran, Ibuku pedagang sayur."
Laila tersenyum dan mengatakan terima kasih.
"Kamu jangan menghina dia kurus, nanti dia sedih."
"Oh, maafkan aku kalau begitu, aku cuma mau kasih kamu sayur kok."
"Iya, enggak apa-apa, makasih kamu udah baik sama aku."
"Wira itu Ibunya petani sayur, dan suka banyak yang beli, segar-segar semua sayurnya, aku juga suka dikasih."
"Makasih, kalian emang kawan yang baik."
Laila terdiam sambil melanjutkan pekerjaannya.
Ira dan Wira saling berpandangan keheranan.
"Laila, kamu tersinggung ya sama ucapanku?"
"Ehmm, enggak kok, ini 'kan lagi ngelap meja."
"Kukira kamu marah karena aku sebut kamu kurus."
"Hehe, emang aku kurus, tapi waktu sekolah dasar aku tergolong gemuk, jadi aku biasa saja kurus kayak gini."
"Eh, maaf ya, entar aku kasih deh sekalian kue buat buka."
Laila tertawa melihat penuturan teman kerjanya.
Menjelang siang turun hujan. Mereka bertiga berdiam diri. Wira dan Ira asyik dengan ponselnya sedangkan Laila membawa buku cerita 'The Surut Lake'.
Dia tersenyum sendiri saat membacanya. Ira melihat Ira yang tampak asyik juga dengan bukunya.
"Kamu hobi baca ya?"
"Iya, apalagi cerita ringan yang lucu."
"Baguslah, aku punya banyak buku cerita bekas adikku yang sekarang udah enggak mau baca lagi setelah main gadget terus, main permainan memasak terus dia sukanya."
"Oh, coba aku pinjam buat bacaan adikku di rumah."
"Enggak usah pinjam, buat kamu saja, tadinya mau diloak tapi enggak lewat terus tukang loaknya."
"Makasih, Ira, kamu baik sekali."
******
Sore menjelang hujan masih belum mereda. Pembeli tetap ada meski hanya beberapa.
"Aduh udah enggak kerasa udah jam empat, aku salat dulu ya."
"Iya, biar aku yang layani pembeli nanti giliran aku yang salat." ucap Wira menimpali.
Ira mengangguk dan mengajak Laila untuk salat.
*****
Hujan sedikit mereda Laila memutuskan untuk menaiki angkutan umum yang terkadang tidak beroperasi karena jarang penumpang.
Semoga ada angkot lewat. Aku capek banget berjalan terus.
Lima menit menunggu belum juga ada yang lewat.
Dia kemudian berjalan menuju masjid dekat jalan dan hendak menunggu di sana.
Ya ampun enggak ada angkot lewat.
Akhirnya dia meneruskan langkahnya. Beberapa langkah terasa begitu berat padahal jarak tidak begitu jauh.
Ya Allah berikan hamba kekuatan, sudah terlihat ujung pohon dekat rumahku tapi teras begitu berat kaki ini melangkah.
Baru saja hendak menyebrang Bu Salim memberi klakson dan memanggil dirinya yang terlihat kaget.
"Eh, Bu Salim dari mana, Bu?"
"Abis beli pisang, ayo Ibu antar, kamu kelihatan capek, dari mana?"
"Saya pulang kerja, di kedai Bu Joko."
"Oh, ya sudah sini naik, tak anterin sampai rumah."
"Enggak usah, saya jalan saja, 'kan sudah dekat."
"Ish, hayuk jangan menolak, cepat naik."
Laila tersenyum malu tapi segera menaiki motor.
******
Salimah menyiapkan teh hangat untuk Laila yang baru saja membatalkan puasa dengan air putih.
"Untung ketemu Bu Salim, aku emang udah lemes pas mau nyeberang."
"Alhamdulillah, Bu Salim sama suaminya emang baik hati suka enggak tegaan."
"Iya, aku malu tapi senang banget pas naik motor kena angin, adem deh pokoknya."
"Ibu doakan kami bisa beli motor nanti."
"Aamiin, tapi siapa yang bakal ngajarin aku?"
"Suruh saja Sofian sepupumu itu, nanti Ibu samperin dia ke Bogor."
"Jangan, Bu, kasihan dia pasti lagi sibuk, lagian, Ibu jangan bepergian dalam kondisi seperti ini, takut kena virus."
"Iya sih, tapi .... Ya sudahlah, semoga nanti ada yang mau ngajarin kamu."
"Iya, 'kan motornya juga belum ada."
Salimah dan Laila tertawa bersama.
*****
Menjelang Isya mereka memutuskan untuk mengikuti salat berjamaah disambung tarawih di masjid dekat kompleks.
Beberapa Ibu-ibu terlihat senang namun ada pula yang mengejek karena mereka jarang salat berjamaah di masjid.
Laila berbisik pada Ibunya.
"Kita di belakang saja, aku enggak mau nanti pulangnya papasan sama orang-orang julid tadi."
"Shuut ... kamu enggak boleh berbisik nanti enggak enak dilihat orang."
Laila memonyongkan bibirnya dan segera memakai mukena.
Limo terlihat celingak-celinguk mencari Ibunya. Dia memilih ke luar barisan. Sang Ibu melambaikan tangannya memberi kode keberadaan dirinya.
Limo akhirnya menghampiri dan salah di samping kakaknya.
"Limo harusnya di barisan laki-laki, jangan di sini."
"Aku enggak ada sajadah, ikut kakak saja ya?"
"Iya deh kita berdua satu sajadah, emang kita cuma punya dua ini juga udah lama kelihatan usangnya."
"Sudah, jangan mengeluh yang penting kita bisa salat, sebentar lagi dimulai, jangan berisik."
Mereka bertiga salat denga khusuk mendengarkan bacaan dari sang imam.
*****

Bình Luận Sách (24)

  • avatar
    MaulanaFiki

    bocil ml

    20/07

      0
  • avatar
    RamajbStok

    kawin dan buka LG g flex dan aku

    07/06

      0
  • avatar
    MaulanaRangga Lintan

    mantap

    31/05

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất