logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Fitnah

Ternyata sudah satu tahun Ara bertahan.
Sungguh indah bukan? Kenangan dulu yang masih diingatnya sampai sekarang. Permen kapas, Ayah dan Ibu, serta kebahagiaan yang tiada duanya. Hal itu hanya terjadi sekali seumur hidup. Tak pernah terulang meski Ara sangat menginginkannya. Senyumnya mengembang sambil membayangkan dirinya dulu ketika masih kecil. Di mana ia tak kekurangan kasih sayang.
“Yah, aku hamil.” Satu kalimat itu sukses membuat amarah memuncak. Vas bunga yang berada di sampingnya langsung pecah berserakan. Tangan pria itu mengepal geram.
“Kan aku udah bilang! Pakai KB biar gak hamil!” bentak pria itu kepada wanita yang sudah lama menjadi teman hidupnya. “Kamu gak mikir susahnya cari uang!”
“Tapi, Yah, kepalaku selalu sakit kalau KB. Fisikku lemah gak bisa, Yah.” Wanita itu sesenggukan, sedangkan anak kecil di balik pintu kamar ikut merasa sakit. “Ayah paham sendiri aku sakit-sakitan sekarang,” lanjutnya.
“Jadi, kamu mau aku berhubungan aja sama cewek ABG di luar sana?” tanya pria itu sekaligus mengancam.
"Kalau mau aku gak macem-macem, cari cara supaya aku betah di rumah!”
“Bukan begitu, Yah. Mira masih cinta sama Ayah.” Tangan pria itu dicengkram kuat oleh Mira, memohon agar tak bicara yang bukan-bukan. Ya, cinta Mira pada suaminya sangat besar, kini ia meragukan keberadaanya di hati pria tersebut.
“Ya, sudah! Gugurkan!” perintah pria itu sambil memukul meja. Ia benar-benar geram ada tanggungan lagi di rahim istrinya.
“Gak! Mira akan mempertahankan anak ini. Bagaimana pun ini anakmu, Yah. Kandunganku sudah tiga bulan!” Mira bersikeras.
“Terserah! Kalau begitu kamu yang cari uang buat dia!”
Pria itu pergi dengan amarah yang belum mereda. Gadis kecil di balik pintu itu keluar. Topi ulang tahun masih ia kenakan. Memeluk erat wanita yang kini hancur hatinya, terluka perasaannya.
“Kenapa Mama gak pisah aja sama Ayah? Daripada Mama tersiksa begini, Ara gak tega.”
“Mama tahu rasanya gak punya Ayah. Jadi, Mama gak mau kalian diejek teman karena orang tuanya pisah,” kata Mamanya saat itu, di malam ulang tahun Ara, sekaligus kabar kehamilan sang Mama yang mengejutkan Ayah.
“Calon adek Ara di perut Mama, harus Ara sayangi.’
Kembali menangis, Ara tak bisa membendung air mata. Sedihnya ketika itu cinta kedua orang tuanya berada di ujung tanduk. Adik yang kehadirannya tidak diharapkan. Alin memang mempunyai Ayah dan Ibu, tapi kasih sayang yang ia dapat tak sesempurna itu. Ya, bersyukurlah Ara setidaknya masih diberi kesempatan merasa disayangi dulu. Itu sebabnya ia sangat menyayangi adiknya sebagai pengganti kasih Ayah.
“Kak, kenapa nangis?” Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Ara. Gadis berrgaun putih selutut itu mengusap air mata yang membasahi pipinya. Bibir tipis kemerahan dan mata bulat membuat Alin gemas. “Ih, kakak lucu kalau habis nangis.”
“Alin ngapain ke sini?” Ara melonggarkan ikat pinggang yang terlihat begitu sesak untuk anak seumuran Alin. “Alin nyari Kakak di depan parkiran, tapi kata penjaga sekolah Kakak pergi ke taman dekat kelas,” jawab malaikat kecil itu. Ara menyungging senyum.
“Duduk sini,” kata Ara sambil bergeser. Kembali, Ara sibuk memerhatikan sekitar. “Kak, Alin tadi nanya loh, kenapa nangis?” tanya Alin lagi sambil memeluk lengan kakaknya.
“Ah, gak ada apa-apa, kok. Tadi kemasukan debu jadi Kakak kucek,” jawab Ara berbohong. Anak kecil itu melepas tas ranselnya dan mengambil sesuatu. “Nih, tadi Alin dikasih temen permen kapas. Sengaja Alin gak makan dulu biar Kakak bisa makan juga.”
Sedetik kemudian, putri kecil berseragam merah putih itu berada dalam pelukan kakaknya, peluk kasih sayang pengganti orang tua. Ara kembali teringat kenangan permen kapas dahulu, mengapa ia merasakan suasana itu kembali? Ada perbedaan, Ara bahagia bersama kedua orang tuanya. Kini, terharu bersama adik kecilnya.
***
Pagi yang sedikit mendung, Ara bersiap-siap lebih awal. Rambut hitam lurus sebahu, bibir yang sengaja dipoles natural, dan bandana ungu yang selalu ia kenakan. Sambil mengikat tali sepatu, ia melamun memikirkan sesuatu.
“Kak, ayo!” ajak Alin bersemangat. Malaikat kecil itu selalu membuat Ara kembali bangkit. “Iya, ayo.”
Ara mengayuh sepedanya menuju sekolah Alin. Sesekali terdengar suara nyanyian khas anak-anak yang tertangkap indra pendengaran Ara. Adiknya itu bernyanyi lagu kesukaannya setiap pagi. Meski Alin tak hapal liriknya, ia tetap bernyanyi seolah itulah jiwanya.
Ara melambaikan tangan, ada sedikit rasa khawatir ketika melepas adiknya itu. Apakah Alin merasakan pembullyan yang ia alami? Mungkin saja itu terjadi tapi Alin tidak pernah bercerita. Ara tidak ingin adiknya merasakan sakitnya dibully teman-teman. Meski itu hanya verbal bullying, tetap saja berdampak besar bagi psikis Alin.
Ia kembali mengayuh sepeda menuju SMP 02 Bintang. Keringat yang mulai mengucur karena jarak rumah ke sekolahnya cukup jauh. Namun, Ara tetap bersyukur setidaknya ia tak harus berjalan kaki.
‘Huh, untung belum terlambat.’
Ia tak sengaja menabrak Raka. Biasanya cowok itu juga ikut membully Ara. Paham apa yang dipikirkan cowok itu, Ara cuek saja dan melenggang pergi.
“Eh, tunggu dulu,” cegat Raka sambil menarik tangan Ara. Gadis itu memasang wajah masam, sesekali ia berusaha menerjemahkan ekspresi tak terduga dari seorang Raka Atmaja.
“Kenapa?” tanya Ara kemudian. Raka menaikkan alis kanannya.
“Gue denger lu jago buat puisi, ya?” tanya Raka sambil bersandar di tembok.
“Gak juga, kenapa?” Cowok berjaket hitam itu memicingkan mata.
Mungkin ia berpikir jawaban Ara terlalu judes dan menohok. “Ya, tanya doang kali.” Raka memutari tubuh Ara beberapa kali. Hingga sekarang Ara tepat berada di depan Raka. Cowok yang tingginya 180 cm itu mematung, menunggu kata-kata apa yang diucapkan Ara.
“Kamu mau apa?” tanya Ara akhirnya membuat Raka tersenyum. “Nah, gitu dong ditanya balik. Peka dikit jadi cewek.”
“Buatin aku puisi satu dong, tentang cinta gitu. Aku mau nembak gebetan pake puisi biar romantis,” lanjut cowok itu tersenyum begitu manis.
Ya, sejak kapan seorang Raka meminta hal sekecil itu dengan menjual senyum termanisnya. Ara menghela napas sejenak. Tak ada curiga sedikit pun pada niat Raka kali ini. Ditambah lagi ia sudah tahu bahwa Raka sedang dekat dengan Indi.
“Iya, lusa aku buatin,” kata Ara mengiyakan.
“Eh, tas lu kebuka, tuh!” seru Raka sambil menarik tas Ara. Gadis itu kesal dan menatap Raka penuh jengkel. “Sini biar aku aja,” lanjutnya sambil mengancing resleting tas Ara.
“Makasih,” kata Ara sedikit melempar senyum. Cowok itu berlalu sambil mengedipkan mata ke Ria dan ketiga temannya.
***
Ara duduk di bangku dan mengambil buku catatan. Entah mengapa perasaannya tidak tenang hari ini. Apakah ada sesuatu yang kelupaan? Ah, tidak biasanya ia seperti ini. Kadang kala feeling-nya tepat dan itu sungguh mengganggu. Mengenai cowok tadi Ara telah merasakan sesuatu entah apa itu.
“Seluruh siswa harap berkumpul di lapangan basket sekarang!” seru WAKA Kesiswaan, Bu Delvi. Anak-anak yang tadinya berada di dalam kelas, berhamburan keluar. Ara menutup bukunya dan memasang sepatu.
Seperti biasa, tak ada seorang pun yang ingin sebaris dengannya. Mereka rela baris bertiga daripada bersama Ara. Semua menjaga jarak, membuat gadis itu menunduk sedih.
“Tertib barisnya! Ara itu gak ada temen, kenapa, sih? Gak juga dimakan sama dia,” kata ketua kelas.
“Gak, ah. Kamu aja, najis.”
“Udah gak apa-apa aku sendirian aja,” kata Ara. Ketua kelas manggut-manggut memasang wajah datar.
Do’a bersama dimulai, Ara tampak mencari-cari keberadaan Raka. Entah mengapa ia merasa aneh dengan anak itu. Sejak tadi tidak terlihat.
“Semua boleh duduk. Hari ini kita akan razia besar-besaran karena banyak siswa yang membawa ponsel ke sekolah,” kata Bu Delvi diikuti riuh anak-anak. Sebagian bertepuk tangan karena akan ada ponsel yang disita hari ini. Tahun lalu, Bu Delvi mengamankan dua dus ponsel sitaan yang akan dikembalikan setelah lulus. Ah, Ara santai karena ia bahkan tak memiliki ponsel.
Guru-guru keliling menusuri semua kelas dan memeriksa satu persatu tas siswa. Beberapa guru terlihat keluar membawa sekantung plastik merah besar. Barang sitaan yang diambil ternyata bukan hanya ponsel. Make up, parfum, dan ada yang ketahuan membawa rokok.
Ya, rokok.
“Ini, tas siapa ini?” tanya Bu Delvi sambil mengangkat sebuah tas hitam. Itu milik Ara. Gadis itu ragu-ragu mengangkat tangan. Seluruh pandangan tertuju padanya.
“Ibu gak nyangka, lho. Anak yang kelihatannya pendiam dan gak pernah melanggar aturan bisa jadi bobrok gini,” lanjutnya. Ara kebingungan. “Ma-af, Bu? Ada apa, ya?” tanya Ara memberanikan diri.
Bu Delvi mengeluarkan sesuatu dari tas depan Ara. Bungkus rokok. Seketika wajah Ara sayu dan putus asa. Sekaligus bertanya-tanya darimana bungkus rokok itu bisa ada di tasnya? Ayah? Ayah Ara tidak merokok dari dua tahun yang lalu. Sial, ini petaka.
“Cewek, masih kelas dua SMP, udah merokok.” Bu Delvi mengangkat tinggi-tinggi bungkus merah putih itu. Lagi, teriakan anak-anak membuat Ara semakin ciut.
“Tapi, Bu. Itu bukan punya saya,” kata Ara dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Kali ini tidak ada yang berpihak padanya.
“Ya, terus? Punya siapa? Jelas-jelas ada di tasmu, berarti kamu yang merokok,’kan?” Ara tergugu, mematung sesaat sebelum air mata itu kembali jatuh. Dipandanganya tangan yang mulai basah karena gugup, takut,dan cemas.
“Bukan saya ….” Suaranya merendah dan bergetar.
“Skorsing aja, Bu! Keluarin aja sekalian! Bikin malu aja,” kata Ria berteriak didukung oleh keempat temannya. Ara menggeleng tanda tak setuju. Bukan ia yang bersalah, benar-benar tak berdaya. Ia bahkan tak pernah menyentuh barang itu.
Ia berusaha mengingat siapa yang dia temui tadi pagi.
Raka.
***

Bình Luận Sách (61)

  • avatar
    Feewa

    very best this stories

    25/08/2022

      5
  • avatar
    Wawan

    bagus sekali alur ceritax

    17/08/2022

      1
  • avatar
    AswarHaerul

    mantap

    9d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất