logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 5 Asrama

***
Guru Kim memasuki kelas tepat saat Kang Hoon duduk di kursinya. Keduanya membuat kontak mata sebelum akhirnya Hoon memalingkan wajahnya ke arah lain. Melihat para muridnya lengkap, ada sedikit rasa senang di hatinya. Bagaimanapun citra anak-anak nakal yang melekat di pundak mereka, nyatanya kedelapan muridnya ini masih memiliki keinginan untuk hadir.
“Hari ini saya akan mengumumkan beberapa hal sebelum kalian mulai belajar.” Guru Kim menaruh buku absen di meja, kemudian melanjutkan. “Mulai besok kalian tinggallah di asrama.”
Seperti yang diharapkan. Reaksi kedelapan siswa kelas 3-0 saat ini benar-benar sesuai dengan apa yang dibayangkan. Bahkan Kang Hoon yang sedari tadi terlihat tak peduli, kini ia menegakkan kepala dan menatap wali kelas dengan tatapan tak suka.
“Saem, bukankah—“
“Bukankah kalian ingin keluar dari kelas ini? Lakukan apa yang diperintahkan sekolah. Lagi pula orang tua kalian sudah setuju dengan ini,” ujar wali kelas membuat semuanya kembali terdiam.
Hoon mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. Melihat pesan dari seseorang yang membuatnya menghela napas panjang. Apa boleh buat, demi orang yang dia suka, Hoon bahkan tidak membantah sedikit pun.
“Roomate kalian sesuai yang ditentukan oleh guru Kang kemarin.” Mereka saling melirik pasangan masing-masing. “Sekian untuk pagi ini, jangan ribut karena guru Kang akan masuk sebentar lagi,” jelas guru Kim yang mengakhiri jumpa pagi mereka.
Dari kedelapan siswa, hanya Seojun dan Youngsoo yang senang dengan diwajibkannya tinggal di asrama. Terlebih keduanya tidak dipisahkan. Yohan melirik Minjun yang juga melirik dengan ujung matanya. Lelaki bermata sipit itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal kemudian kembali menghadap ke arah depan. Menghadapi Minjun lebih menegangkan dari pada bersama Kang Hoon.
**
Yohan mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kantin. Hari ini sangat ramai, bahkan nyaris tak ada bangku yang kosong. Tak lama kemudian, ia melihat Junho dan teman-temannya menatap ke arahnya. Buru-buru Yohan mengalihkan tatapan, berusaha untuk tidak membuat kontak mata dengan lelaki itu.
Tepat saat Junho beranjak dari duduknya, Insu menghampirinya. Membawa lelaki jangkung itu duduk di samping tempat duduknya semula. Junho yang melihat itu hanya melongos pergi, meski kesal ia juga tak ingin mempermasalahkannya.
“Kenapa tidak mencariku saat masuk wilayah kantin. Kau tahu sendiri, di jam ini kantin pasti sangat ramai,” ujar Insu dengan makanan yang penuh dimulut.
“Aku hanya bingung.”
“Masih canggung,” sahut lelaki berpipi bulat itu lagi. Yohan mengangguk membuat Insu terkekeh pelan.
Untuk anak baru seperti Yohan memang sangat sulit beradaptasi di lingkungan SMA Victory, terlebih berhadapan dengan para murid yang terbilang liar.
“Kalau masih canggung dengan yang lain, kau hanya perlu memanggilku jika butuh bantuan.” Insu menarik bibirnya untuk tersenyum.
Yohan mengangguk semangat. Ia benar-benar beruntung bertemu dengan Jang Insu, di tengah anak-anak yang bahkan tak mengindahkan kehadirannya.
Seojun mengaduk makanannya tanpa minat. Youngsoo terus memperhatikannya tanpa berniat mengeluarkan suara. Membiarkan lelaki itu memulai pembicaraan lebih dulu.
Puas dengan acara mengaduk makanan yang membuat temannya bosan, akhirnya Seojun bersuara. “Apa aku harus memakai cara yang lebih ekstrim?” pertanyaan lelaki berambut ikal itu membuat Youngsoo nyaris tersedak.
“Ya! Kau sudah gila? Kau ingin menempatkan diri di dalam bahaya hanya karena orang sepertinya?!” Youngsoo bahkan tak habis pikir dengan cara berpikir sahabatnya itu.
“Orang sepertinya sudah menghancurkan hidupku. Aku bahkan kehilangan kepercayaan dari orang tua karena ulahnya,” ujar Seojun sedikit memelankan suaranya. Kantin hari ini ramai, jika murid lain tahu masalahnya, kemungkinan akan ada terjadi masalah yang lebih luas lagi.
Youngsoo mengerling malas. Masih mencoba bersabar dengan sahabatnya itu. meski terkadang apa yang dipikirkannya tak bisa dibenarkan.
“Dengar Yang Seojun—“
Brak!
Seojun dan Youngsoo menoleh kearah samping. Di sana berdiri seorang murid berbadan tinggi besar yang baru saja menggebrak meja. Ia menatap keduanya dengan tatapan tajam.
“Bisa menyingkir dari sini? Bukankah kalian sudah selesai makan,” ujar lelaki itu sembari melirik makanan keduanya yang sudah habis.
Karena tak ingin berurusan dengan lelaki itu, Youngsoo menarik lengan Seojun untuk beranjak pergi dari tempat duduknya. Membiarkan lelaki itu tanpa bantahan lebih baik dari pada harus bermasalah dengannya.
**
“Baik, Pak. Saya akan berusaha semaksimal mungkin. Kali ini saya tidak akan mengecewakan anda.” Perawat Jung menatap layar ponselnya saat sambungan telepon tiba-tiba terputus. Menghela napas panjang kemudian menghembuskannya kasar. Ada banyak yang mengganjal di pikirannya yang tak bisa hilang begitu saja.
Pintu ruang kesehatan terbuka dan menampakkan seorang lelaki jangkung dengan cengiran khasnya. Perawat Jung menatapnya lekat. Ia sangat menyukai anak itu saat tersenyum, terlebih ketika gigi kelincinya terlihat. Sangat manis.
“Noona menungguku?” tanyanya yang kini duduk di depan wanita itu.
Perawat Jung hanya bisa tersenyum tipis. Menutup buku laporannya dan fokus menatap Kang Hoon yang menatapnya masih dengan senyum manisnya.
“Kamu tidak pergi ke kantin?” tanya perawat Jung tanpa menghiraukan pertanyaan Hoon.
Kang Hoon menggeleng pelan. “Aku tidak ingin makan sendirian. Sangat ramai di kantin,” ujarnya yang membuat perawat Jung lagi-lagi terkekeh.
“Kamu ini benar-benar. Bukankah kamu sangat menyukai hal yang ramai?”
Kang Hoon kembali menggeleng. “Tidak. Suara mereka mengganggu telingaku,” ucapnya dengan mempoutkan bibirnya lucu.
Kali ini perawat Jung menatap Kang Hoon khawatir. Menyadari itu, Hoon buru-buru tersenyum lebar. “Tapi itu bukan masalah besar. Noon tidak perlu khawatir.”
Keduanya terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Perawat Jung nampak tertunduk begitu juga dengan Hoon yang kini memainkan jemarinya. Kecanggungan itu tiba-tiba saja mendominasi. Bahkan keduanya tak berinisiatif untuk kembali bersuara.
*
Guru Baek kembali ke ruangannya dan duduk di depan guru Kim dan guru Kang.
“Apa kata kepala sekolah?” tanya guru Kang yang mewakili rasa penasaran guru Kim.
“Kita harus lebih fokus membenahi anak-anak di kelas peralihan. Jika mereka bisa menaikkan nilai rata-rata sekolah, maka itu sudah aman untuk SMA Victory,” jelas guru Baek yang membuat guru Kang sedikit tak bersemangat.
“Mereka tidak banyak bereaksi. Terlebih untuk urusan kelompok yang beberapa waktu lalu kita sepakati. Sangat mustahil jika mereka bisa berubah dalam waktu dekat.” Guru Kang menunduk lesu. Bagaimanapun ia juga ikut andil membangun kelas peralihan bersama sang wali kelas.
“Kita tunggu saja. Saya rasa keinginan mereka bersekolah masihlah tinggi. Buktinya mereka masih mau masuk ke kelas,” ujar guru Kim mencoba berpikir positif tentang para muridnya.
Guru Baek mengangguk menyetujui. Dia juga tak bisa melepas mereka begitu saja. Tanggung jawab untuk mengamankan seluruh siswa di sekolah ini, berlaku untuk kedelapan murid itu juga.
**
Daeho mencari buku bacaan mengenai tugas yang beberapa hari lalu di berikan sang guru sastra. Ia sudah berkeliling perpustakaan sekitar 15 menit yang lalu. Bahkan ia juga melewati jam makan siangnya.
“Bagaimana bisa aku menemukan buku tentang sastra yang sama persis dengan buku guru Kang?” tanyanya pada diri sendiri. Nyaris frustrasi dengan tugasnya, Daeho menghampiri penjaga perpustakaan dan berinisiatif untuk bertanya padanya.
“Permisi, apa di sini ada buku sastra yang sering di pakai guru Kang mengajar?” tanya Daeho.
Petugas cantik yang bernama Lee Eunbi itu menatap Daeho sedikit lama sebelum jemarinya menari di atas keyboard dengan lihai. Setelah menemukannya, ia kembali menatap Daeho sembari membenarkan letak kacamata yang bertengger di batang hidungnya.
“Ada satu di rak belakang. Buku bersampul hijau dengan tulisan ‘Sastra Dasar’ di bagian depannya,” ujar penjaga Lee. Daeho mengangguk mengerti. Ia melangkah pergi tentu setelah membungkuk dan mengucapkan terima kasih.
Tak butuh waktu lama, akhirnya ia menemukan buku yang dicarinya. Daeho duduk di salah satu bangku dan mulai mencari materi yang ingin ia pelajari.
**
Kang Hoon menatap langit cerah siang ini dari atap sekolahnya. Jam masuk sudah berlangsung sedari lima menit yang lalu. Namun, ia enggan turun dan mengikuti pelajaran yang menurutnya sangat membosankan. Tertidur beberapa menit di tempat favoritnya lebih menyenangkan.
Baru saja memejamkan kedua matanya, sebersit bayangan kelam menyapa ingatannya. Buru-buru ia membuka kembali membuka matanya dan terduduk. Napasnya nampak tak beraturan.
“Kenapa ini lebih mengerikan dari mimpi buruk sekali pun,” gumamnya sembari memijit kepalanya yang tiba-tiba berdenyut.
Yang terlintas hanya sebuah kebakaran mobil, darah berlumuran di sekitarnya, juga sebuah dentuman keras yang entah datang dari mana. Kilasan itu berulang kali muncul dan setelahnya pasti Kang Hoon merasakan kepalanya berdenyut.
Tangannya kini merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Puluhan panggilan tak terjawab memenuhi layar ponselnya. Dari nomor yang sama. Hoon menghela napas panjang. Melihat nomornya saja sudah membuatnya kesal.
**
Yijoon melempar sebuah tas milik salah satu murid yang berada di kelasnya. Hari ini Junho kembali membawa target bullyannya ke sebuah ruangan kosong di belakang sekolah. Tempat biasa mereka melancarkan aksi tak berperikemanusiaan.
Selang beberapa menit, Junho datang dengan sebuah tongkat biseboll di tangan. Tersenyum menyeringai menatap Yijoon yang sudah duduk di salah satu kursi. Dibelakangnya, seorang lelaki bertubuh tinggi mendorong paksa lelaki bertubuh kurus hingga ia tersungkur tepat di depan Junho.
“Hidangan yang sangat menggiurkan,” ujar Junho mengayunkan tongkat biseboll tepat di depan lelaki kurus yang berada tepat di sisi kakinya. Yijoon ikut menyeringai senang. Kaki tangan Junho meninggalkan ruangan dan hanya menyisakan tiga orang di sana.
Murid dengan seragam yang nampak lusuh dan terdapat luka memar di pipi kanannya itu kini hanya bisa tertunduk takut. Tangannya mengepal kuat, berusaha mengurangi tekanan yang membuat tubuhnya bergetar. Ia tahu sekarang sedang berhadapan dengan siapa. Seandainya bisa melawan pun percuma, nasibnya tak akan membaik. 6 bulan yang lalu, pernah saja kejadian serupa terjadi pada salah satu teman sekelasnya. Dia melawan Jihoon dengan keahlian bela dirinya. Akan tetapi, dua bulan setelahnya lelaki itu dikeluarkan dari sekolah. Alasannya karena Jihoon dan Yijoon mendapatkan beberapa luka yang disebabkan olehnya. Padahal kenyataannya berbalik 180 derajat.
Buk!
Tongkat itu melayang dan beradu keras dengan punggung kirinya, membuat lelaki kurus itu tersungkur ke arah kanan. Meringis kesakitan sembari memegang punggungnya yang sekarang dijalari rasa perih luar biasa. Junho melangkah dan berjongkok tepat di depannya dengan senyum puasnya.
“Eotte? Ah, apa itu sangat menyakitkan?” tanya lelaki jangkung itu kini dengan nada bicara yang dibuat seolah bersimpatik pada lelaki di depannya. Junho melirik Yijoon penuh syarat.
Yijoon beranjak dari duduknya kemudian meraih lengan lelaki yang masih terduduk itu dengan paksa. Membawanya ke sebuah ruangan yang mereka sebut sebagai ‘ruang penyiksaan’. Junho terlihat sangat menikmati permainannya saat ini. Ia puas karena bisa mendapatkan target dengan sempurna.
***
Asrama. Di SMA Victory sendiri, asrama tidak terlalu banyak dihuni para siswa. Tiga tahun terakhir ini terbilang hanya ada 40 persen murid yang tinggal di asrama, 10 persen hanya sekedar istirahat jika ada jam malam, selebihnya tak pernah memasuki kamar yang di desain khusus oleh sekolah itu.
Hari ini, kedelapan siswa dari kelas peralihan memasuki kamar masing-masing. Sesuai dengan pasangan yang ditunjuk guru Kang. Meski tak ada yang menyukainya—kecuali Seojun dan Youngsoo—, tapi mereka menurutinya. Sekali lagi semuanya demi memperbaiki nilai yang belum juga ada perubahan sejak pertama pembentukan kelas.
Yongsoo dan Seojun memasuki kamar dengan 2 ranjang yang saling berdampingan. Layaknya penginapan yang dipesan untuk liburan. Keduanya tak pernah melunturkan senyum di wajahnya. Mereka memang beruntung karena selalu dipasangkan berdua, entah selanjutnya tetap berdua atau berganti pasangan.
“Ough. Aku rasa kita beruntung.” Youngsoo merebahkan tubuh lelahnya di ranjang yang dipilihnya. Menatap Seojun yang menatapnya sekilas sebelum mulai menata barang bawaannya.
“Semoga saja kita terus menjadi pasangan,” ujar lelaki dengan kemeja putih itu.
“Yah, semoga saja. Tapi aku berharap kau bisa berpasangan dengan Kang Hoon,” ucap Youngsoo sedikit berhati-hati. Dugaannya benar, Seojun menatapnya tajam, bahkan sebuah bantal sudah hampir melayang. Cengiran lelaki bertubuh kurus itu membuat Seojun mengurungkan niat untuk menyiksa temannya.
-
Yohan dan Minjun memasuki kamar mereka. Di sini terdapat 2 ranjang susun, yang masing-masing terdapat dua tingkat, biasa diisi oleh empat orang. Keduanya sangat canggung. Yohan menaruh ranselnya di atas meja belajar. Melirik Minjun yang langsung naik ke ranjang di sebelahnya, lelaki itu memilih ranjang kedua meski di bawahnya kosong.
Yohan terduduk di sisi ranjang. Sesekali mencuri pandang ke atas. Tangannya saling bertaut gelisah. Entahlah, baru pertama kali ia secanggung ini dengan orang yang baru. Mereka tidak pernah sekalipun bicara dan langsung menjadi teman sekamar adalah hal yang sangat luar biasa.
“Eum. Mi-minjun-ah.” Yohan memberanikan diri mengawali obrolan. “Apa kau juga akan pulang nanti sore?” tanya Yohan dengan tangan yang masih tertaut.
Minjun yang tengah berbaring mengangkat kepalanya, melirik lelaki yang bicara padanya itu sekilas. Kemudian melanjutkan aktivitasnya menatap layar ponsel. “Wae.” Hanya ucapan singkat yang terdengar, tapi itu membuat Yohan tersenyum senang. Setidaknya ada respons yang baik, meski terdengar dingin dan acuh.
“Ani. Aku hanya penasaran dengan itu,” jelas Yohan yang akhirnya ikut merebahkan tubuh lelahnya.
-
Insu mengecek kamarnya dan Kang Hoon. Lelaki jangkung itu rupanya tak berminat memasuki kamar bersama Insu. Bahkan saat guru Kim meminta mereka mengecek kamar masing-masing, Hoon tak terlihat menyanggupi. Lelaki itu hanya melongos pergi. Hubungan keduanya memang terlihat biasa, tapi ada sekat transparan yang menghalangi keduanya untuk dekat. Hanya waktu yang mungkin bisa mengembalikan hubungan keduanya atau malah sebaliknya.
Sementara Daeho yang memasuki kamar seorang diri, merasa tidak terlalu bersemangat. Teman sekamarnya—Dongmin—pulang lebih dulu karena ada les yang harus diikuti. Sekamar dengan siswa sepintar Dongmin adalah hal yang akan menguntungkan bagi Daeho untuk tersu mengejar ketertinggalan. Hanya saja, ia tak tahu bagaimana harus bersikap terhadapnya. Dongmin adalah tembok tebal yang tertutup lumut. Dingin dan lembab. Sangat sulit membuatnya luluh.
Mereka memiliki kisah dan cerita masing-masing. Bahkan mereka juga memiliki sebuah ambisi untuk bisa membuktikan diri bahwa mereka layak mendapat tempat yang baik. Anak-anak yang nakal hanya perlu di rangkul dan dibawa ke jalan yang benar. Meski harus melewati jalan yang amat panjang, setidaknya prosesnya akan terasa sangat luar biasa dibandingkan dengan hasil sempurna.
****

Bình Luận Sách (120)

  • avatar
    WindiAnisa

    mantab

    20/08

      0
  • avatar
    LestariRani

    cerita nya sangat bagus and menarik

    14/08

      0
  • avatar
    Fely Sia

    ini sangat bguss

    13/08

      1
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất