logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bagian 7

TUJUH
"Mama kemana aja, sih?" Jay bangkit dari kegiatan rebahan sambil bermain ponsel, menghampiri Aera yang baru memasuki pintu depan.
Aera menghela napas, duduk di sofa yang tadi Jay tempati sambil memasang raut muram, dia menatap putranya—Jay—yang juga menatapnya, sejurus kemudian dia mengembangkan senyum lebar. Lantas mengeluarkan beberapa botol asi dari dalam paperbag dengan antusias. "Mama dapet permintaan kamu!"
Tanpa aba-aba Jay langsung merebut sebotol, membuka tutupnya dan meneguk sampai habis.
"Aigoo, Putra Mama satu-satunya udah kelaperan banget."
"Mama yang kelamaan!"
Aera tersenyum, membelai rambut putranya yang begitu halus. Sedangkan Jay tampak tidak peduli, terus meneguk air susu tanpa mengindahkan sang Mama.
"Jay, Mama penasaran, kenapa tiba-tiba kamu setuju sama perjodohan Papa? Udah dua tahun berlalu kamu terus nolak, tapi sekarang kamu setuju?"
Mata elangnya memandang Aera. "Mau Mama apa? Jay tolak kena ceramah. Jay terima juga bakal kena ceramah?"
"Eh, bukan gitu, Jay. Mama cuma penasaran."
"Nggak ada. Cuma mau aja," jawabnya enggan, membuka sebotol lagi dan menghabiskannya. Baru lima detik menghening, dia bertanya. "Mama nyebut nama Jay, kan?"
"Hum? Gimana?"
Cowok itu berdecak. "Dia nggak kenal sama Jay."
"Ah masa, sih? Kalian udah ketemu? Kok Hana nggak kenal? Kemarin malem Mama sama Tante Bitna udah bicarain perjodohan kalian, Hana juga ada di sana. Kok dia nggak kenal sama kamu?"
Jay berdengus, menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.
"Apa karna kita belum ketemu secara formal? Papa kamu, sih, belum pulang dari luar negeri. Kita belum bisa adain acara makan malam. Tapi kalian beneran udah ketemu? Kamu nggak apa-apain Hana, kan?"
"Cuma dicium."
"Hah?! Kamu cium?!" Aera terkejut, melotot.
Dengan santai dia menjawab. "Iya."
"H-Hana? Kamu cium?!" Aera bangkit, memandang putranya nyalang.
"Iya."
"Kamu, kenapa?!"
"Apanya?" Mata elang Jay membalas tatapan Aera.
"Kamu nggak boleh ngelakuin itu ke cewek!"
"Nggak boleh?" sahut Jay, menaikkan satu alis.
"Baru ketemu tiga kali aja Mama langsung tau kalau Hana itu cewek baik-baik! Kalau kamu ngelakuin itu ke dia pasti—" Aera menahan napas, memikirkan kejadian tadi dimana Hana menangis tersedu-sedu, jangan-jangan penyebabnya adalah anaknya sendiri?
Jay tidak menjawab, memilih menyandarkan kepala sambil memejamkan mata, dia menjadi lebih tenang karena tidak merasa lapar lagi.
"Jay! Kamu dengerin Mama nggak, sih?!"
"Nggak. Jay tutup mata."
°°°
Hari ini pelajaran sejarah, salah satu pelajaran yang Hana benci, termasuk kelemahan yang Hana miliki. Jika biasanya dia mendapat nilai 98 di fisika, maka dia bisa mendapat nilai 38 di sejarah. Entah mengapa, dia seperti bermusuhan dengan pelajaran itu.
"Na, tuh cowok liatin lo mulu!" Bisikan Rona dari kursi belakang sedikit mengusiknya, namun dia memilih acuh dan berusaha fokus memahami pelajaran di buku cetak tentang masa penjajahan Kekaisaran Jepang di Indonesia. "Na! Seriusan tuh cowok liatin lo!"
Jeslyn yang duduk di sebelah Hana juga merasa terusik, dia mengikuti arah tunjuk Rona yaitu ke jendela.
"Dia ngeliat ke sini, Na." Jeslyn ikut-ikutan bersuara, menyikut pinggang Hana berulang kali. Otomatis Hana hilang fokus.
"Gue lagi baca buku. Gue mohon jangan diganggu."
"Itu!" Dengan cepat Rona menunjuk ke arah jendela. Terpaksa Hana mengikuti arah tunjuk tersebut.
Deg
Tubuh Hana menegang.
Cowok itu lagi.
Cowok dengan manik tajam dan aura intimidasinya yang begitu lekat, kini sedang duduk di kursi sebelah kelas Hana bersama kerumunan temannya. Berpakaian basket dan berkeringat, mengobrol seru dan akrab. Yang membuat Hana mematung adalah salah satu dari mereka—tidak lain yang merebut first kiss-nya semalam—dengan terang-terangan menatap ke arahnya. Bahkan sudah Hana pergoki, dia tetap memandang Hana tanpa mengalihkan pandangan, seolah sedang menantang.
Kumpulan cowok itu mengundang banyak perhatian dari kelas, membuat para siswi kegirangan menyaksikan pemandangan segar di depan mata. Suasana kelas berubah ricuh, kebanyakan misuh-misuh untuk mencari perhatian para pentolan sekolah.
Sang guru yang sedang mengoreksi jawaban di meja pun mengamati murid-muridnya yang sekarang berpindah tempat duduk, menciptakan kegaduhan yang begitu rusuh. "Kalian apa-apaan! Kembali ke tempat duduk masing-masing!"
Para murid tidak menyadari sentakan tersebut, terhipnotis ketampanan para cowok di luar. Sedangkan Hana mati-matian menyembunyikan diri agar cowok itu tidak lagi memandangnya.
Karena anak didiknya terus menyorot ke jendela, Ibu Guru ikut menatap ke sana.
"Kalian kenapa duduk di sana?! Mau caper?!" Bu Guru membentak nyaring. Para murid di kelas langsung terlonjak, buru-buru kembali ke tempat duduk yang seharusnya. Bu Guru mendekati jendela sambil menghunus kumpulan cowok di luar. Tapi raut murkanya seketika padam saat melihat seseorang. "Jay? Kenapa duduk di sana?" Nada suaranya menjadi lebih halus.
Jay memandang Bu Guru dengan sorot datar. "Emangnya nggak boleh, Bu?"
"Boleh-boleh aja. Cuma, murid di kelas ini jadi nggak fokus belajarnya karna liatin kamu terus."
Dia bangkit berdiri, beranjak pergi bersama teman-temannya tanpa pamit.
Hana menganga melihat kepergian kumpulan cowok itu yang seenaknya. Jika Hana yang menjadi Guru, tidak akan ada ampun untuk mereka. Tapi yang dilakukan Bu Guru? Hanya acuh dan kembali ke meja untuk mengoreksi jawaban.
°°°
Hana menunggu kedatangan supirnya di pos satpam, hampir satu jam supirnya itu belum datang juga. Sekolah sudah sepi, Jeslyn dan Rona juga sudah pulang duluan sepuluh menit lalu dengan menaiki bus. Jika begini ceritanya, lebih baik Hana pulang bersama mereka.
"Pak Hajoon kemana, ya? Kok lama banget datengnya?" Hana bersikeras menghubungi nomor Hajoon—supirnya—namun operator yang terus menjawab. "Ih, gimana coba? Masa di sini terus?"
Hana menggerutu, memikirkan nasibnya yang belakangan ini selalu sial.
Baru saja dipikirkan, kesialan baru menimpa dirinya.
Segerombolan cowok keluar dari lobi sekolah, bercanda-gurau seraya terbahak-bahak. Hana yang gesit bersembunyi di bawah kursi menahan suaranya agar tidak keluar.
Sialnya lagi, segerombol cowok itu berhenti di sebelah pos satpam, membuat Hana panik dan takut ketahuan. Apalagi mengetahui bahwa mereka adalah kumpulan cowok yang tadi duduk di sebelah kelasnya. Itu artinya, ada Jay juga!
Sepuluh menit, mereka masih belum pergi! Bau asap rokok tercium, tawa dan gurauan masih terus terdengar.
Hana di bawah kursi merasakan pinggangnya pegal akibat terlalu lama merunduk. Dia menahan ringisan, tidak membiarkan suara apapun muncul.
Tapi tiba-tiba puntung rokok terlempar ke arahnya, sontak Hana menjerit kuat, keluar dari persembunyian sambil mencak-mencak akibat panas api menembus telapak tangannya.
"Akh, sakit. Sakit." Dia meniup-niup luka itu seraya mendesah perih. Selang waktu dua menit, Hana tersadar bahwasanya kumpulan cowok tadi sedang mengamati dirinya intens. Apalagi Jay, cowok yang sedang berdiri menyandar di tembok itu memandangnya dengan satu alis terangkat.
"Lah? Lo ngapain ada di situ?" celetuk salah satu dari mereka bernama Jake. "Ngintipin kita, gitu?"
"Ngintipin Jay kali, EAA!" seru temannya yang lain, menggoda-goda Jay dan Hana secara bergantian.
Wajah Hana memerah sampai telinga, dia membalikkan badan ingin berlari menuju gerbang. Sebelum terjadi, ranselnya lebih dulu ditarik dari belakang.
"Enak banget pergi gitu aja, pamit dulu dong ke Tuan Muda!" Hana diseret oleh cowok berkulit putih tinggi bernama Satya. Cowok itu menghempaskan Hana ke hadapan Jay, otomatis tubuh Hana yang lemah menubruk tubuh Jay. Kemudian para cowok itu tertawa.
Hana ingin berlari lagi, namun kedua lengannya dicengkeram erat.
"Lo mau kemana?" Suara berat memasuki gendang telinga Hana. Suara yang kemarin membuatnya merinding, bahkan sekarang masih.
"G-gue mohon lepas!" Hana bersikeras menahan tangis, tetap memberontak agar dilepas.
Karena perlawanan Hana cukup kuat, Jay mengeratkan cengkeramannya. "Nggak bisa. Lo sendiri yang muncul di hadapan gue."
Teman-teman Jay bersorak tak karuan, menambah rasa takut dalam hati Hana.
"Gue mohon lepas. Gue mau pulang. M-Mama gue udah nungguin di rumah."
"Tante Bitna? Dia sendiri seneng lo bareng gue."
Hana masih memberontak, tidak mendengar semua omong kosong Jay. Rasa takut semakin menggerogoti hatinya, ditambah tidak ada siapa pun di sekolah, sepi senyap, para guru telah berpulangan. Tidak ada yang bisa menolongnya.
Jay berdecak karena Hana begitu rewel. "Lo diem atau gue cium?!"
Mulanya Hana tidak peduli, tapi saat tangan Jay berpindah ke lehernya, dia langsung menegakkan tubuh tanpa melakukan perlawanan lagi.
"Awas kalau lo kabur." Jay memberikan kilatan sinis. Dia membuka ransel yang dia sampir di sebelah bahu, mengambil botol kosong dari dalam lalu melempar langsung ke Hana yang sigap Hana tangkap. "Buruan isi, gue laper."
Hana bertanya-tanya dalam hati, menatap botol di lengannya dengan bingung. Bahkan sampai sekarang dia masih belum mengerti.
"Ck, yang lo kasih ke Aera! Buruan kasih ke gue!"
Aera? Tante Aera?
Yang gue kasih?
Hana tercekat menyadari maksudnya.
"Cepetan! Sebelum gue atau temen-temen gue ngasih lo pelajaran."
°°°

Bình Luận Sách (208)

  • avatar
    Herman

    memang terbaik

    7d

      0
  • avatar
    PaysaIbrahim

    mantap

    12d

      0
  • avatar
    MuchayyaKinasti

    bagus banget ceritanya

    23/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất