logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 5 KEMARAHAN TALIA

Talia membawa pesanan mereka ke meja yang mereka pesan, "Yuk yuk sarapan," Talia meletakkan satu-persatu makanan mereka di meja, lalu menaruh benda yang ditemukannya tadi tepat di sebelah makanannya.
"Apaan tuh?" tanya Reza, penasaran akan benda itu.
"Kartu nama," jawab Talia.
"Bukannya itu bet? Punya siapa?" tanya Fariz menimpali.
"Yahhh, sejenis itulah mungkin. Enggak tahu, enggak kenal sama yang punya, udah ih ayok sarapan!" Talia yang merasa sudah lapar pun langsung memulai sarapannya.
Seharian mereka menghabiskan waktu bersama-sama, bermain di rumah Talia ataupun di rumah Reza. Contohnya sekarang, Talia dan Fariz tengah bergelut dengan beberapa buku yang menjelaskan tentang kehidupan di luar angkasa, sementara di sisi lain ada Reza yang tak terlalu jauh dari mereka tengah bergulat dengan stick playstation milik Talia.
"Ck, Riz! Sini kek, temenin gue! Lu sama Lia mulu mainnya," rutuk Reza yang mulai bosan bermain sendirian sedari tadi.
"Eh … hehehe 'kan lu tahu gue gak terlalu suka main PS-" belum juga tuntas kata-kata yang ingin Fariz ucapkan, Reza lebih dulu memotong kalimatnya.
"Karena gue lebih suka baca daripada main PS yang gak ada untungnya," sambung Reza sembari merotasikan bola matanya, dia sudah teramat hafal akan kata-kata Fariz saat menolak ajakannya untuk bermain playstation.
"Hehehe," cengir Fariz, sedikit merasa tidak enak hati.
"Kalo orang sukanya baca, ya jangan dipaksa buat suka main PS donggg," protes Talia.
"Ih ngeselin kalian berdua tuh," Reza pun segera mengakhiri permainannya dan berjalan ke arah ruang penyimpanan barang-barang buatan Almarhum Ayah Talia.
"Lia, itu Reza ngambek gak ya?" tanya Fariz semakin merasa bersalah.
"Udah biarin aja, emang suka gitu 'kan? Mood swing-nya kambuh tuh, biarin aja," ucap Talia dan kembali fokus pada buku bacaanya.
Di lain tempat, Reza tengah berkeliling melihat benda-benda buatan mendiang Ayah Talia sembari berfikir untuk mencari referensi-nya. Tanpa di sengaja matanya menemukan sebuah buku berupa album foto yang isinya pun Reza tidak mengetahuinya. Karena penasaran dan merasa belum pernah melihat benda itu di sana sebelumnya, akhirnya Reza pun memutuskan untuk mengambilnya.
"Album? Kok gue baru liat sih? Perasaan sebelum-sebelumnya juga gue sering masuk sini ga pernah liat album ini," Reza mulai membuka lembar demi lembar foto di sana. Ada banyak sekali foto masa-masa muda Ayah dan Ibu Talia, bahkan ada foto prewedding mereka juga di sana. Hingga tanpa di sengaja saat tangan Reza berniat membuka halaman berikutnya, dia malah menjatuhkan sebuah kertas berupa surat yang bertuliskan…
---
Harapan terbesarku untuk putriku yang tengah di kandung istriku tercinta, aku ingin membahagiakan kalian, menciptakan kedamaian di keluarga kecil kita, dan membuat kalian bersyukur mempunyai aku. Setelah putriku lahir nanti, aku akan membuatkannya sebuah miniatur kehidupan di luar angkasa yang terasa nyata, agar dia tahu makna kebesaran Tuhan dengan melihat semesta melalui itu. Anggaplah itu pun sebagai bentuk rasa syukur 'ku atas kehadirannya di dunia ini. Jika dia lahir nanti, aku akan memberikannya nama Talia Nahdhi Romusha. Nama yang cantik untuk princess Papa! Tunggu hadiah dari Papa ya, Sayang. TNR's Universe untuk Talia-ku.
From: U'r Dad!
---
Lantas hati Reza terenyuh ketika membaca deretan huruf yang tersusun rapi di sana. Dengan gerakan gesit Reza mengitari pandangannya mencari benda yang bernama TNR's Universe tersebut. Hingga beberapa puluh menit, Reza lelah mencari dan tanpa disengaja matanya menatap ke langit-langit ruangan itu, saat itu juga Reza menatap pemandangan indah yang benar-benar indah. Ternyata itu dia TNR's Universe yang bergerak layaknya pergerakan semesta, hanya saja di sana tampak kurang beberapa planet dan sinar matahari buatannya pun mulai meredup. Seketika pencerahan berupa hidayah muncul begitu saja di kepala Reza.
Keesokan harinya, satu SMAN Lohari heboh akan kompetisi penelitian ilmiah yang diadakan untuk menyeleksi siswa-siswi mereka dengan tujuan yang terpilih akan diikutsertakan ke Karya Ilmiah Remaja (KIR) tingkat nasional. Kompetisi itu adalah kompetisi tahunan yang biasanya selalu membawa harum nama SMAN Lohari.
Talia dan Fariz yang sudah sangat menunggu-nunggu tentang kompetisi itu tentu saja berminat untuk mengikuti seleksi yang diikuti sekitar 200 siswa SMAN Lohari, mulai dari anak kelas X, XI, hingga XII.
"Lia udah isi formulirnya?" tanya Fariz.
"Udah sih, tapi … belum berani ngumpul," jawab Talia.
"Aku udah kumpul," Fariz tersenyum manis ke arah Talia.
"Judulmu apa?" tanya Talia penasaran.
"Ada dehhh," Fariz terkekeh gemas ketika melihat raut wajah sebal Talia.
"Ih kok ngeselin!" rutuk Talia.
"Nanti kalo udah presentasi di depan pembimbing KIR pasti tahu," ucap Fariz yang bersikeras tidak ingin memberitahukan Talia. Terkhusus anak-anak yang mengikuti ekstrakurikuler penelitian (Karya Ilmiah Remaja SMAN Lohari) akan lebih dulu digembleng tentang public speaking dengan harapan anak-anak yang tergabung dalam ekstrakurikuler lebih mempunyai public speaking yang mumpuni dibanding anak-anak yang mendaftar untuk mengikuti kompetisi itu tetapi bukan bagian dari Ekstrakurikuler KIR SMAN Lohari.
Akhirnya Fariz dan Talia bersaing secara sehat, terkadang mereka melakukan penelitian bersama di rumah Talia, tepatnya di ruang laboratorium milik keluarga Talia yang sengaja dibangun oleh Mama Talia hanya untuk Talia yang suka meneliti banyak hal.
Tibalah waktunya bagi Talia dan Fariz akan mempresentasikan hasil penelitian mereka masing-masing di depan para anak-anak KIR SMAN Lohari yang lain sekaligus di depan pembimbing ekstrakurikuler yang mereka tekuni itu. Satu persatu anak KIR yang mengikuti seleksi maju dan mempresentasikan penelitiannya, saatnya kini Fariz yang maju terlebih dahulu sebelum Talia.
"Lia, doain lancar ya," Fariz bersemangat ketika Talia tersenyum ke arahnya seraya berkata, "Semangat!"
Fariz maju dan mulai mempresentasikan penelitiannya. "Judul dari penelitian saya adalah Bat Sun (Bet San). Tujuan dari penelitian saya sendiri adalah untuk mengurangi pemanasan global yang terjadi di bumi. Seperti yang kita ketahui, Bumi kita ini…," panjang lebar Fariz menjelaskan, Talia yang awalnya biasa saja seketika memasang raut wajah yang tak tergambarkan ketika mendengar presentasi yang Fariz bawakan.
Kecewa, tidak menyangka, marah, kesal, sakit, dan ingin menangis ... semua tertahan dalam diri Talia selama mendengarkan presentasi yang disampaikan oleh Fariz. Hingga pada akhirnya Talia tak lagi mampu untuk berdiam di sana, Talia pun memilih berlari dan keluar dari ruangan. Hal itu sempat menyita perhatian beberapa orang di sana, lantaran seharusnya Talia tidak keluar karena setelah Fariz presentasi adalah gilirannya yang mempresentasikan hasil penelitiannya.
"Talia, kenapa keluar?" tegur guru pembimbing ekstrakurikuler saat Talia berlari tanpa menghiraukan pertanyaannya.
Fariz yang tengah fokus mempresentasikan penelitiannya pun sedikit kehilangan fokus saat Talia tampak berlari ke luar ruangan.
"Ayo, Fariz. Lanjutkan," pinta guru pembimbing ekstrakurikuler.
Dengan pikiran bercabang akhirnya Fariz melanjutkan presentasinya meski pikirannya terus-menerus memikirkan tentang alasan apa yang membuat Talia keluar dari ruangan dengan berlari seperti tadi.
"Lia kenapa ya? Sakit kah? Atau ... aduh fokus Fariz, fokusss! Ini impian lu 'kan?! Urusan Lia nanti kita tanya," batin Fariz menyemangati dirinya sendiri untuk kembali fokus pada presentasi.
Selesai presentasi Fariz segera meminta izin kepada pembimbing ekstrakurikuler untuk mencari Talia di kelas mereka, tapi saat tiba di kelas Fariz malah tidak menemukan Talia. Fariz pun mencoba menelepon Talia, sayangnya Talia malah tidak mengangkatnya. Akhirnya Fariz pun segera mencari Reza, tebakannya tidak meleset. Talia pasti tengah bersama Reza, tapi Fariz sedikit terkejut ketika melihat Talia tengah menangis seolah mengadu pada Reza.
"Lia, kamu nangis? Kenapa?" Fariz yang terkejut pun langsung mencoba menghampiri Talia. Tapi saat itu juga Talia menatapnya dengan tatapan tajam tak terartikan. Melihat hal itu, Reza pun menghampiri Fariz dan mengajaknya sedikit menjauh dari posisi Talia, lalu merangkulnya. "Gue saranin jangan lu deketin dulu," usul Reza berbisik pelan.
"Loh? Emangnya Lia kenapa? Kenapa gue enggak boleh deketin?" bingung Fariz yang tak mengerti dimana letak salahnya.
"Ya mana gue tahu, dari tadi gue tanyain dia cuma ngomong Fariz jahat Fariz jahat mulu! Mending gini deh, pulang sekolah nanti lu ke rumahnya sambil bawa pisang!" Reza pun memberi sedikit arahan agar Fariz dimaafkan oleh Talia.
"Ya tapi 'kan gue gak tahu salahnya gue dimana, Za." Fariz semakin bingung.
"Lu sih tengil! Gue inget banget pertama kali kita ketemu lu itu orangnya emang tengil, main serobot-serobot tempat parkir kita," Reza malah mengajak Fariz untuk mengingat masa dimana dia pertama kali melihat Fariz.
"Eh! Mana ada, kita pertama kali ketemu itu di apotik, elu yang tengil! Main serobot-serobot antrean, mana abis itu kepo sama foto di dompet gue. Jadi yang tengil siapa coba? Udah ah, pokoknya gue mau tahu dulu letak salah gue dimana! Malah ngungkit-ngungkit masa lalu yang udah terjadi," Fariz pun melontarkan kata-kata yang mampu membuat Reza terdiam dan berpikir keras, kemudian Fariz mencoba mendekati Talia.
Yang terjadi malah Talia berlari menghindari Fariz. Reza pun menghela nafasnya, "Udah gue bilang, biarin dia tenang dulu, ngeyel sih lu!" ucap Reza yang langsung mengejar Talia.
"Salahku apa?" Fariz terus-menerus bergumam demikian.
Sampai jam pulang Fariz tak melihat Talia kembali ke ruangan presentasi, Fariz benar-benar berpikir keras tentang dimana letak salahnya. Sepulang sekolah pun Reza dan Talia yang biasanya saling menunggu untuk pulang bersama, tapi hari ini Talia dan Reza sudah lebih dulu pulang meninggalkannya. Seperti ada bongkahan besar dalam hidupnya yang hilang begitu saja, Fariz kembali merasakan kesepian tanpa dua makhluk tersebut.
Sepulang sekolah Fariz pergi ke rumah Talia setelah meminta izin kepada Bunda-nya sembari membawakan sesisir pisang kesukaan Talia, dengan sedikit ragu Fariz mengetuk pintu rumah Talia dan yang membukakan pintu adalah Bik Surti.
"Apes-apes … putus urat leher gue kalo maksain nanya sama Bik Surti nih," batin Fariz.
"Eh, Nak Fariz! Cari Non Lia?" tanya Bik Surti yang langsung peka, Fariz pun mengangguk cepat.
"Aduh, kok tumben gak barengan? Tadi Non Lia diajak main sama Reza," ucap Bik Surti memberitahu.
Tanpa banyak berbicara Fariz langsung bergegas menuju ke rumah Reza. Di sana dilihatnya Talia dan Reza tengah duduk berdua di ayunan sembari memakan snack masing-masing di halaman samping rumah Reza yang cukup luas dengan kolam berenang di hadapan mereka.
"Lia, bagi choco chips lu dikit. Kita barter, nih cobain punya gue," Reza menyodorkan sebiji bola coklat miliknya ke arah mulut Talia dan dengan senang hati Talia menerima suapan dari tangan Reza, ya… Hal seperti itu memang sudah sangat sering mereka lakukan.
"Minta choco chips lu! Satu aja iiisss!" Reza membuka mulutnya, berharap Talia langsung menyuapinya.
"Dih, ga mau ahahahaha. Wleee," Talia mencoba menjauhkan choco chips-nya dari Reza.
"Astaghfirullah, curang!" Reza pun manyun.
"Ya udah nih nih …" Talia pun menyuapkan tiga biji choco chips miliknya ke dalam mulut Reza.
"Ihhh enakan bola coklat gue! Nyesel barter," rutuk Reza.
"Ahahaha, siapa suruh? Nih gue muntahin lagi!" Talia membalas rutukan Reza dengan candaan.
Entahlah, seperti ada yang janggal pada diri Fariz. Dia pun sulit memahami kejanggalan yang sering muncul ketika dia melihat kedekatan-kedekatan antara Reza dan Talia seperti yang barusan dilihatnya. Kedekatan Reza dan Talia seperti mengusik perasaannya, bahkan bisa berpengaruh besar terhadap mood-nya. "Lah, Dukun Santet?! Sini woy!" terdengar suara Reza yang memergoki Fariz tengah menatapi mereka dari kejauhan.
Fariz pun mendekat, lalu menyodorkan sesisir pisang berbungkus cantik itu ke arah Talia. "Lia, ini buat kamu," ucapnya dengan senyuman yang sebisa mungkin ditampilkannya di hadapan Talia, namun Talia malah menatapnya dengan tatapan datar.
Melihat Talia yang malah masuk ke dalam rumah Reza tanpa menghiraukan keberadaan Fariz pun membuat Reza semakin merasa dilema. "Sini deh, ntar gue kasihin ke Lia. Yuk masuk," ajak Reza sembari merebut plastik berisi pisang dari tangan Fariz.
Setelah masuk Reza pun membawakan pisang itu untuk Talia. "Lia, nih pisang lo."
"Masukin wadah aja, kita makan sama-sama," ucap Talia seperti tidak menganggap keberadaan Fariz di sana, dia malah dengan santainya menyalakan televisi.
Reza pun segera menyajikan pisang itu di atas meja ruang keluarga. "Mana kartu nama tadi? Biar gue yang cari alamatnya, itu gak jauh-jauh banget kok dari sini," pinta Reza pada Talia.
Talia pun menyodorkan kartu nama berupa bet milik seorang dokter yang tempo hari menyerobot antreannya, Talia rasa bet itu cukup penting bagi seorang dokter. Maka dari itu Talia meminta Reza untuk mengembalikan kartu nama itu kepada pemiliknya sesuai alamat yang tertera di dalamnya.
"Gue ikut ya," ucap Talia.
"Eh jangan dong, ada Fariz. Kasian dia sendirian," ujar Reza memberi pengertian.
"Ck!" Talia pun berdecak sebal dan kembali fokus pada tontonannya sembari memakan pisang yang tadi dibawakan Fariz.
Sebelum benar-benar pergi, Reza sempat membisikkan sesuatu pada Fariz. "Lu bujuk deh, pokoknya waktu gue pulang kalian udah harus baikan! Titik!" ujar Reza berbisik pelan.
"Tapi salah gue apa?" Fariz balas berbisik lebih pelan.
"Ya mana gue tahu! Lia gak bilang, pokoknya lu minta maaf aja deh! Urusan salah enggak salahnya ntar aja, cowok itu selalu salah di mata cewek!" usul Reza yang ikut sebal.
Setelah Reza pergi, Fariz pun mencoba mengambil simpati Talia. "Lia, aku duduk di sampingmu boleh?" tanya Fariz yang terdengar canggung, tak seperti biasanya.
"Kursinya bukan punyaku," ucap Talia acuh.
Fariz pun langsung duduk di samping Talia. "Lia … aku-"
Kring… Kring…
Tiba-tiba suara handphone milik Fariz berdering, Fariz pun sedikit menjauh untuk menerima telepon dari Bunda-nya. Setelah menutup telepon, Fariz tampak memasang wajah paniknya. "Lia! Aku pulang ya, nanti kalo Reza tanya … bilang aja aku pulang, ada urusan mendadak!" Fariz benar-benar pergi meninggalkan Talia seorang diri di rumah besar milik keluarga Reza. Sedangkan Mama Reza tengah arisan bersama ibu-ibu teman sosialitanya.
"Ck! Tahu gini mending tadi gue maksa ikut Reza!" rutuk Talia.
Sementara di lain tempat, Reza tengah berdiri ragu di depan sebuah gerbang sebuah rumah yang cukup megah. "Ini bukan ya? Kalo menurut alamat sih bener seharusnya," Reza pun turun dari motornya dan langsung masuk ke halaman rumah itu saat melihat gerbang rumah tak tertutup dengan sempurna.
Setelah menekan bel tiga kali, akhirnya pintu dibukakan oleh seorang laki-laki berperawakan tinggi, putih, mancung, dan spek-spek laki-laki idaman lainnya. Reza yakin laki-laki itu adalah Sang Dokter pemilik bet itu, atau mungkin keluarganya.
Seketika Reza merasakan insecure dan ciut ketika mendapat tatapan teduh dari orang yang ada di hadapannya itu, "A-anuuu, Bang. Eh-"
"Iya? Cari siapa ya?" tanyanya dengan nada halus.
"Nganu … saya mau numpang tanya, ini alamatnya bener gak, Bang?" tanya Reza sedikit gugup sembari menunjukkan bet yang sedari tadi disimpannya di saku celana.
"Hah? Ini 'kan bet saya," ucapnya sedikit terkejut.
"Nahhh, waktu itu temen saya yang temuin!" balas Reza yang tak tahu harus berkata apa lagi.
"O-oh… Masuk dulu yuk," ajak Sang Dokter beramah-tamah. Setelah masuk Reza langsung disuguhi minuman dingin oleh pembantu rumah tersebut, "Duh, Pak Dokter, sebenernya saya gak bisa lama-lama. Cuma mau pulangin bet punya Pak Dokter aja, karena kata temen saya, keknya kartu itu penting," ucap Reza canggung.
"Pak? Saya baru 23 tahun, panggil Bang Andry aja. Saya masih muda kok," ucapnya mencoba mencairkan suasana.
"Wuih, berarti Bang Dok pinter dong!" Reza membayangkan, ada seorang dokter muda yang sudah meraih gelarnya di usia semuda itu.
"Dog? Kamu ngatain saya anjing?" tanyanya menatap Reza dengan datar.
"Eh, bu-bukan. Maksudnya Bang Dokter, adohhh." Reza mulai mengeluarkan sikap konyolnya dengan menggaruk-garuk daun telinganya yang tak gatal.
"Ahahaha, gue becanda. Santai aja, lu sekarang gimana? Kuliah?" tanya Sang Dokter mencoba seramah mungkin.
"Gue masih SMA, Bang. Abang sendiri … dokter spesialis atau umum?" tanya Reza.
"Oh SMA, kalo gue dokter hematologi. Kenapa?" Dokter Andry pun tersenyum ke arah Reza.
"Gak apa, nanya doang sih hehehe," kini Reza pun menggaruk tengkuknya yang tak gatal, hingga tanpa sengaja baju bagian lengannya sedikit tersibak menunjukkan beberapa lebam di bagian lengan.
"Eh … apa itu? Lebam ungu? Lu habis berantem?" Dokter Andry pun sedikit penasaran. "Enggak, Bang Dok. Enggak tahu, suka muncul sendiri yang kek gini, mungkin kepentok pas tidur atau … enggak tahu sih," Reza pun kembali menutup pergelangan tangannya.
"Sakit gak kalo dipegang?" tanyanya lagi.
"Enggak" jawab Reza apa adanya.
"Gue minta nomor handphone lu," ucap Sang Dokter tiba-tiba.
"Waduh, maaf nih sebelumnya, Bang Dok. Gue masih normal," cetus Reza begitu saja.
"Sialan ni bocah, lu pikir gue homo? Gue juga masih normal yeee. Gue cuma mau bilang makasih, dan mungkin lain waktu gue bisa traktir lu sama temen lu makan atau mungkin ntar kalo ada keluarga lu yang sakit … gue bisa bantu ringanin biayanya. Kurang apa coba gue? Ganteng, kaya, baik, tidak sombong, rajin menabung, rajin ibadah, 'kan idaman," ucapnya yang menurut Reza teramat percaya diri melebihi dirinya.
"Buset! Gue suka nih yang modelan begini ahahahaha, cepetan catet nomor gue, Bang. Mungkin lain waktu kita nongki-nongki bareng!" ucap Reza yang bahagia menemukan teman sefrekuensi dengannya.
Setelah memberikan nomor teleponnya, Reza pun segera pamit dan pulang ke rumahnya. Sedikit terkejut ketika mendapati Talia seorang diri di rumahnya tanpa ada Fariz. "Si Dukun Santet mana?" tanya Reza sambil mencomot pisang yang ada di tangan Talia.
"Auk ah!" Talia pun merutuk sebal.
"Lia, lu kenapa sih? Kalo emang ada masalah sama Dukun Santet ya bilangin baik-baik lah, kenapa harus kek gini? Dia aja enggak tahu dimana letak salahnya, tapi dia minta maaf tuh. Kita udah dewasa loh," ujar Reza kembali memberikan pengertian pada Talia.
"Jadi menurut lo, gue kek anak kecil?" Talia menatap Reza tajam.
"Gak gak, terserah lu deh," Reza pun mencoba menghubungi Fariz. Setelah panggilannya diangkat, Reza pun menanyakan keadaan Fariz. Ternyata penyakit Bunda Fariz kembali kambuh.
"Bunda-nya Fariz kambuh lagi tuh," ucap Reza memberitahukan hal itu kepada Talia.
"Oh," ucap Talia mencoba acuh tak acuh. Padahal dalam hatinya dia kasihan pada Fariz dan juga Bundanya, meski Talia belum pernah sempat melihat Bunda Fariz selama mereka saling mengenal.
Keesokan harinya saat Fariz masuk ke kelas dilihatnya Talia sudah tidak lagi duduk di sampingnya. Melainkan duduk sendirian di belakang sekali. Fariz pun hanya bisa menghela nafasnya, terlalu banyak yang menjadi beban pikirannya. Semalaman dia terjaga untuk menjaga Bundanya yang tengah sakit, biarkan Fariz beristirahat sejenak untuk memikirkan hal-hal lainnya. Belum lagi dari jam pertama hingga jam istirahat nanti Fariz akan dispensasi dari kelas untuk mengikuti seleksi penelitian, Fariz berharap presentasinya nanti tidak gagal hanya karena banyak hal yang dipikirkannya.
Saat jam istirahat tiba … satu-persatu anak di kelas pergi ke kantin sementara Talia dan Fariz bergeming di tempatnya, Fariz lebih memilih untuk memanfaatkan jam istirahat sebagai jam untuk tidur.
"Woy Dukun Santet, Lia! Yuk ke kantin!" suara Reza menggema di seisi kelas mereka. "Gue mau tidur aja, Za. Ngantuk," balas Fariz terdengar lemas.
"Oh, oke. Istirahat dah lu," ucap Reza yang masih menunggui Talia di depan pintu kelas IPA 3.
Saat Talia baru saja melintas melewatinya, Fariz pun memberanikan diri untuk bertanya, "Salahku apa sih, Lia?" tanyanya.
Talia berhenti di tempatnya, lalu berbalik menatap Fariz dengan menyipitkan mata kecilnya. "Kamu nanya?" Talia mendekati Fariz yang semakin membuat Fariz tercekat menatap wajah mengintimidasi milik Talia.
To be continued...

Bình Luận Sách (2)

  • avatar
    RamadhaniSuci

    Baguss

    03/08

      0
  • avatar

    Ih keren critanya😳😳😳🥺

    26/08/2022

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất