logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

P 200 J Bab 5

Kamu suka?" Bisiknya disela tautannya. Nafasnya mulai memburu, senyum terulas saat menyadari aku telah ikut tengelam dalam permainan kotor ini. Berlahan aku mulai membalasnya, bekal teori yang telah aku dapatkan mulai aku praktekkan. 
"Wauw, mulai nakal rupanya," ucapnya. Senyum tipis kuulas. Aku sudah pasrah, apa yang terjadi, terjadilah. Untuk apa bertahan, jelas-jelas aku sudah hina dan hitam.
Suara dan getaran panggilan di ponselnya mengalihkan fokus kami. Terlihat kesal saat panggilan itu tak berhenti juga.
"Sial," umpatnya, kemudian mengangkat panggilan tersebut.
"Iya, honey," jawabnya dengan memaksa agar terdengar manis.
"Di depan?" Suaranya terdengar kanget.
"I ... iya aku bukain. Sebentar aku kebelet, sabar ya." ucap pria itu. 
Menutup pangilan dan membanting ponselnya di atas ranjang. Dia kemudian melihat kearahku. Wajahnya terlihat memerah. Dia merapikan baju dan rambutnya. Akupun juga merapikan pakaianku.
"Kamu sembunyi dulu, di kamar depan," perintahnya. Aku menyahut tasku di atas nakas mengekornya keluar kamar.
"Sepatuku," ucapku, aku buru-buru mengambilnya dan masuk ke kamar yang ditunjuk olehnya.
"Dengar, jangan berisik jangan kemana-mana, diam dan tetap di kamar sampai pacarku pergi," ucapnya. Aku mengangguk mengerti. "Kita lanjutkan nanti," ucapnya lagi, kemudian menyempatkan menaut bibirku walau sesaat. Sambil keluar dia mematikan lampu kamar.
Pintu ditutupnya kemudian, kupandang sekeliling tak terlalu gelap ada cahaya dari arah kamar mandi . Sesaat kemudian aku menuju ranjang, menghempaskan pantatku pelan. Dari sini dapat aku dengar cukup jelas suara seorang perempuan. Terdengar seperti sedang, marah, entahlah tapi aku menangkapnya seperti itu.
Semoga perempuan itu tak pulang-pulang, sadarku kembali hadir setelah sesaat terlena dalam dekapan pria bernama Bara itu. Untuk saat ini aku bisa sedikit bernafas lega, setidaknya sampai perempuan itu pergi. Mami Erna benar, pria itu cukup tampan. Lebih tinggi dan lebih kekar dibanding Kenzi.
Tak terdengar lagi teriakan kesal seperti ketika wanita itu datang. Ada suara tawa samar terdengar. Suara berganti seperti yang sering kudengar dalam video yang biasa di pertontonkan padaku dulu. Mereka sepertinya sedang melakukan hubungan badan.
Pelan kurebahkan badanku, ini untuk kedua kalinya keajaiban itu datang. Tapi, benarkah demikian, aku masih di sini, semua bisa saja terjadi. Kenapa aku harus senang, apa bendanya esok atau sekarang? Toh itu memang pekerjaan yang akan aku lakukan.
Cepat atau lambat, saat itu akan datang. Saat aku lepaskan keperawan ini. Entah mengapa tiba-tiba itu menjadi hal yang berarti, aku takut kehilangan hal ini. Namun, aku tak berani bermimpi, mimpi lepas dari dunia hitam ini. Semua jalan seolah tertutup, hanya menunggu waktu saja, siapa pria yang beruntung mendapatkan keperawananku.
Aku membuka pelan mataku, entah jama berapa semalam lelap mendekapku. Sekarang nampak hari sudah sedikit terang. Tak kudengar suara apapun, apa mereka masih di sana. Ini sudah pagi, kuraih tas di sampingku, menyalakan ponselku. Sudah jam setengah enam pagi. 
Kenapa rasanya tak nyaman sekali area kewanitaanku. Bergegas aku kekamar mandi. Apa yang Tuhan rencanakan untukku, aku mendapatkan haidku. Dadaku bergejolak sesak karena rasa bahagia yang menyeruak. Walau hanya sekedar menunda, tapi rasanya seperti sebuah pertanda. Aku tak boleh berputus asa dan kehilangan harapan. 
Bisa jadi Tuhan menyiapkan keajaiban lain untukku. Entahlah, aku tak berani berfikir terlalu jauh, bermimpi terlalu tinggi, saat kenyataan tak selaras dengan harapan akan sakit pastinya. Segera kuambil pembalut yang ada di dalam tasku.
Tak ada suara diluar, aku berjalan ke pintu, dan membukanya pelan. Pintu kamar depan terbuka lebar, dadaku berdetak lebih kencang saat melihat jauh ke dalam kamar. Segera kututup kembali, mereka masih di sana. Masih terlelap, setelah memacu hasrat semalam.
Aku haus sekali, tak mungkin aku keluar, aku kembali kekamar mandi. Menangkupkan tanganku dan meminumnya berlahan, cukuplah menghilangkan rasa dahagaku. Ah,sampai kapan aku di sini.
Hampir jam delapan, baru terdengar aktifitas dari kamar seberang. Bahkan aku sudah membersihkan diriku, dan menyibukkan diri dengan ponsel baruku. Perutku yang sekarang keroncongan, semalam aku juga tidak sempat makan. 
Baru jam sembilanan, terdengar pintu terbuka dan tertutup kembali. Tak berapa lama pintu kamar terbuka. Pria itu muncul dari balik pintu, dengan rambut setengah basah. 
"Sorry," ucapnya padaku.
"Iya," jawabku singkat, dan memasukkan ponselku kedalam tas. Aku bangun dari dudukku. "Aku harus pulang," ucapku padanya.
Pria itu mendekat kearahku, aku refleks mundur, tetapi terhalang tempat tidur.
"Kita belum bersenang-senang," ucapnya kemudian, saat berdiri didepanku. Aroma wangi tubuhnya tercium lembut di hidungku. Tangan bertato itu melingkar di pinggangku. Badanku sedikit bergetar, saat tubuhnya merapat dan tak berjarak lagi. Kening kami beradu, bibir itu menaut bibirku cepat.
"Maaf, aku sedang haid," ucapku setelah mendorongnya pelan. Mata pria itu menyipit.
"Maksudmu?"
"Aku datang bulan, sekarang," jawabku.
"Kau sedang tidak berbohong?"
"Untuk apa aku berbohong, lihat sendiri saja kalau tak percaya," balasku lagi
Kening kami masih beradu, desah nafas hangatnya masih terasa olehku. Aku akui, dia memiliki paras dan tubuh yang sempurna sebagai laki-laki. Pantas saja, para wanita menginginkannya.
"Aku lapar, ayo pulang," ucapku lagi. Dia masih memeluk tubuhku.
"Kau berhutang padaku."
"Bukan salahku," jawabku.
"Aku tak peduli, ingat kamu berhutang padaku untuk satu malam," ucapnya lagi
Bibirnya kembali menautku, aku hanya membiarkan tak menolak tak juga membalasnya.
"Aku ganti baju dulu, akan kuantar kamu pulang," ucapnya. Dilepaskannya tangannya dari pinggangku, kemudian beranjak keluar kamar. Aku mengikuti langkahnya dan berhenti di ruang tamu, segera memakai sepatu, sambil menunggunya.
Tak berapa lama pria itu keluar, dengan ripped jeans warna hitam berpadu dengan kaos putih press body, memperlihatkan kesempurnaan raganya. Aku segera berdiri saat dia berjalan mendekat.
"Ingat hutangmu," ucapnya lagi. Aku hanya mengangguk tak mendebatnya lagi.
Aku kembali mengekor langkahnya keluar dari apartemen dua kamar itu. Mataku menebar pandangan, kapan aku bisa memiliki tempat tinggal seperti ini. Dia menarikku yang tampak ragu saat akan memasuki lift, sama seperti semalam.
"Kamu takut?" tanyanya saat aku sedikit merapat padanya. Aku mengangguk, ini kali kedua setelah semalam, dan kakiku terasa dingin. Sekejab kemudian, lift sudah membawa kami ke parkiran. Pria itu membukakan pintu mobilnya untukku.
"Siapa namamu?" tanyanya padaku, saat mobilnya mulai berjalan keluar area apartemen.
"Zanna," jawabku singkat. 
Tak ada obrolan, sampai mobil memasuki parkiran sebuah kafe. Pria itu menoleh kearahku, memintaku turun.
"Katanya lapar, aku sudah ijin Kak Erna, tak perlu takut," ucapnya kemudian, saat melihatku hanya berdiam.
Aku mengangguk dan kemudian keluar. Bara mengandengku memasuki kafe, yang aku baca buka mulai jam delapan itu. Dia mengajakku kelantai atas, sebuah meja yang berada di paling sudut menjadi pilihannya. Dari sini kami bisa melihat ke arah jalan.
Seorang pelayan menghampiri dengan membawa buku menu. Setelah memilih beberapa menu, pelayan itupun pergi meninggalkan kami berdua.
"Berapa umurmu?" tanyanya, sesaat setelah memindai wajahku.
"Tujuh belas," jawabku.
"Kakakku sedikit bercerita tentangmu, ini awal kehidupan barumu, nikmatilah, kesenangan, kemewahan, dan kepuasan akan kamu dapatkan," ucapnya padaku.
"Semua anak asuh Kak Erna, di khusus kan untuk kalangan atas, setelah ini, hidupmu akan terjamin, begitu juga keluargamu," tambahnya. 
"Iya," jawabku singkat.
"Kamu terlihat berbeda, atau perasaanku saja. Tak ada anak asuh Kak Erna yang pendiam sepertimu," ucapnya lagi.
Aku tersenyum, senyum getir lebih tepatnya. 
"Aku hanya lapar saja," jawabku.
"Kamu tak menyukai tempatmu yang sekarang, apa kamu terpaksa melakukannya?" tanyanya lagi. Pria ini banyak sekali bicara, aku terdiam, mataku mengembun seketika. 
"Masih adakah yang peduli?" tanyaku padanya. Pria itu terdiam. "Apa ada yang mau mendengarku?"
"Tak ada kan? Suka atau tidak harus suka, tak ada pilihan disana, dan tak ada kesempatanku untuk memilih."
Kutarik tissu didepanku, mengeringkan air mataku, saat pelayan mengantar minuman pesananku dan Bara. 
"Silahkan," ucap pelayan itu ramah, matanya melirik ke arah Bara, senyum wanita muda itu terulas.
"Terimakasih," ucapku. Bara tak menjawab apapun.
Bara yang biasanya banyak bicara, sekarang hanya diam. Bahkan sampai pelayan kembali datang dengan membawa makanan pesanan kami, tak ada pembicaraan di antara kami. Sepiring nasi goreng kutandaskan, dia hanya memesan waffle dan kopi. Rasanya enak sekali, aku belum pernah makan nasi goreng seenak ini.
"Kamu suka?" tanyanya padaku. Aku yang sedari tapi fokus pada makananku melihat kearahnya. 
"Iya, enak sekali," jawabku dengan mengulas senyum. Senyum tipis menghias bibir pria itu.
"Ada apa?" tanyaku, saat Pria itu terus memperhatikanku sedari tadi. Kedua tangan menopang diatas meja dengan jemari menutup mulutnya. Pria itu hanya menggelengkan kepala. Ada apa denganya, dia berubah jadi pendiam sekali.
"Jangan pernah berfikir melarikan diri, untuk dapat lepas dari Kakakku" ucapnya kemudian. "Keluargamu yang akan menerima akibatnya nanti, dunia luar juga tak aman untuk gadis secantik dirimu."
"Iya," jawabku pelan. Diri ini cukup paham hal itu. Bibirku tersenyum getir. "Aku hanya perlu sedikit waktu, untuk menyesuaikan diri, menikmati takdirku, yang harus merelakan tubuh ini lepas dari pelukan satu pria ke pria lainnya."
"Lambat laun, aku juga akan terbiasa?" lanjutku.
"Ya, memang seperti itu, kecuali kalau kamu tak ingin berganti banyak pria, kamu bisa merayu pria yang kamu mau untuk menebusmu, menjadi simpanan. Jadi kamu hanya melayani satu orang saja, tapi aku tak tau apa Kak Erna mau melepasmu," jelas Pria itu padaku. 
"Simpanan?" tanyaku.
"Istri simpanan."
Bara menjelaskankan padaku, dia sekarang pun tengah menjadi pria simpanan seorang istri pengusaha. Uang tak pernah jadi masalah baginya, apapun yang dia inginkan sang istri pengusaha memenuhinya. Tugasnya hanya memberi kepuasan, mendengar curhat dan menemani jalan-jalan.
Cukup lama kami mengobrol disini, aku mulai mendapatkan gambaran seperti apa dunia tempatku berada sekarang. Semua hal bisa mudah kita dapatkan. Waktu beranjak siang, aku baru berdiri, setelah pamit ke Bara akan kebtoilet, saat kulihat sosok seseorang yang aku kenal.
Sesaat kami saling bertatap saat dia melewati mejaku. Dia tak sendiri ada seorang pria muda lain di sampingnya. Dia tak menyapaku, begitupun aku. Segera kuberanjak ke kamar mandi. Apa mungkin pria yang bersamanya itu, seseorang yang dekat nya saat ini.
Dia sengaja tak menyapaku, pura-pura tak mengenalku. Kenapa ada perih dalam hatiku. Apa juga alasanku, untuk sakit hati. Ah rasa ini kenapa menyesakkan hati, ada apa ini?

Bình Luận Sách (221)

  • avatar
    KhotimahHusnul

    alurnya bagus

    15d

      0
  • avatar
    SariNovi

    bagus ceritanya

    16d

      0
  • avatar
    KadafiMuhammad

    aku senang sekali bisa membaca banyak hal hebat

    26d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất