logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

P 200 J Bab 3

"Aku ada ide," ucapku padanya.
Aku bangun dari dudukku, dan mulai memutari kamar, sial tak ada satupun benda tajam yang bisa digunakan. Kubuka pintu kamar mandi, sama saja.
"Kamu cari apa?" tanyanya ikut berdiri, pemuda itu terlihat bingung.
"Sesuatu yang tajam, buat nyayat biar keluar darah," jelasku padanya.
"Yah, ketauanlah kalau lihat ada yang luka. Pasti papa meminta untuk mengecek semuanya," ucap Kenzi
"Lalu?" tanyaku, Kenzi mengangkat pundaknya.
Kami kembali duduk, bersisian di tepian ranjang, mencoba mencari kembali ide, bagaimana untuk mendapatkan darah tanpa terlihat luka. Aku menemukan ide kembali saat memainkan bibirku, kutoleh pria muda di sampingku dengan senyum menyeringai.
Kenzi mengerutkan kening dan menyipitkan matanya melihat senyum anehku. Aku mulai merapat dan mendekatkan wajahku padanya, dia mencondongkan tubuhnya ke belakang. Kutangkup wajah itu dengan kedua tanganku, kutaut bibir itu.
"Auchh, gadis gila apa yang kamu lakukan?" Kenzi mendorongku, memegangi bibirnya.
"Cepetan," ucapku menunjuk sprei, darah segar keluar dari bibirnya, aku baru saja mengigit kuat bibir dalam pria muda itu. Darah segar membasahi bibir dan mulutnya, dia masih bergeming melihat darah di tanganya selepas mengusap bibirnya.
Buru-buru aku mendorong tubuhnya ke atas ranjang. Kenzi mulai paham sepertinya, dia mengusapkan bibirnya di atas sprei berwarna putih itu. Kenapa darahnya terus keluar, apa terlalu keras aku mengigitnya tadi.
Aku mengambil tissu di atas nakas dan memberikan padanya.
"Sakit tau," serunya padaku, aku hanya memainkan bibirku.
"Kan kamu bilang, harus bagian yang nggak kelihatan," alasanku.
"Kenapa bukan bibirmu sendiri?"
"Ye, kan aku cuma bantuin."
"Kamu kan punya kepentingan juga akan hal ini," ucapnya lagi.
"Sudah, yang penting kan beres, bawel banget kayak emak-emak," sungutku.
"Siapa bilang beres?"
"Pa lagi?" tanyaku.
Malu-malu pria muda itu menjelaskan. Dia benar mana ada cuma darah saja, ah kenapa aku tak memikirkannya.
"Terus gimana?, kamu aja nggak doyan sama aku," ucapku.
"Ya, aku sendiri."
"Ya sudah sana,"
"Mana bisa kalau kamu di sini, sana masuk kamar mandi," suruhnya padaku.
"Ihh, ribet amat," ucapku, kemudian beranjak malas masuk ke kamar mandi.
"Jangan ngintip," teriaknya.
"Ih, siapa juga," balasku.
Lumayan lama aku berdiam di dalam kamar mandi, tak ada ada suara tapi sedikitpun tak berniat mengintipnya. Entahlah apa yang kurasakan sekarang, semua diluar bayanganku, harusnya aku berjibaku memberikan pelayanan terbaikku, menyerahkan keperawananku, pada pria yang sudah membayarku.
Setelah beberapa lama, ada teriakan sudah dari luar kamar mandi. Akupun segera keluar, terlihat dia menarik spreai, membuatnya berantakan. Kemudian beranjak kekamar mandi, aku memindai ranjang yang sudah awut-awutan itu. Tersenyum miris, kami dua insan dengan permasalahan berbeda bekerja sama dalam satu misi, penipuan.
"Bagaiamana?" tanyanya selepas keluar dari kamar mandi, " seperti habis terjadi pertempuran seru bukan?"
"Pertempuran?" tanyaku bingung.
"Polos banget sih kamu," ucapnya.
Kembali dia menjelaskan dengan bahasa yang dapat kumengerti. Aku tertawa, lucu saja, semoga tak ada yang curiga.
"Terus kita ngapain?" tanyaku. Aku duduk diatas karpet tebal, bersandar di pingiran ranjang, menarik bantal kemudian mendekapanya.
Pria muda itu ikut duduk di sampingku. Sesaat kami hanya diam, hingga kami mulai saling bercerita, dia lebih banyak bercerita, beda denganku, tak ada hal menyenangkan yang bisa aku bagi, tak ada kisah lucu, atau kisah lainnya.
Entah mulai jam berapa kami tertidur, mataku mengerjap, pria muda itu masih terlelap, dalam posisi duduk menyandar di ranjang. Begitupun saat aku bangun, aku bersandar di lengannya. Kupindai wajah itu, pria ini sangat tampan. Rambutnya hitam tebal, alis yang indah, hidung mancung, bibir .. ah bibir itu masih terlihat sedikit bengkak karena gigitanku semalam.
Kenapa pria sekeren ini harus suka dengan pria juga. Apakah pria yang dekat dengannya juga sekeren ini. Terus, bagaimana cara mereka bercumbu kalau sesama pria. Ah, aku merinding sendiri membayangkannya.
Sepertinya sudah mau pagi, aku beranjak kekamar mandi, membersihkan diriku, ada rasa lega dan kecewa, takut, dan bahagia semua menjadi satu. Apa yang terjadi, terjadilah pusing kepalaku memikirkannya. Air hangat kualirkan dari atas kepalaku, bergerak turun.
Aku tak tau sekarang dimana, Jenny membawaku ke sebuah rumah yang cukup besar, dan langsung memasukkan aku kekamar ini. Sebelum dia pergi dia hanya mengingatkanku kembali cara melayani pemesanku.
Pria itu masih tertidur saat aku keluar dari kamar mandi. Aku jongkok didekatnya, menepuk pipinya pelan. Dia membuka satu matanya, kemudian menguap beberapa kali. Baru melihat ke arahku yang masih jongkok disampingnya.
"Mandi?" tanyanya memperhatikan rambutku yang setengah basah. Aku mengangguk pelan, kemudian berdiri. Pria itu mengapai tanganku, memintaku menariknya.
"Badanku sakit semua," keluhnya, kemudian merenggangkan tanganya keatas kepalanya, memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri. Baru berjalan kemudian ke kamar mandi. Tak berapa lama dia sudah keluar, terlihat segar dan tampan.
"Ada apa?" tanyanya padaku, saat menyadari kuterus menatapnya. Aku hanya menggelengkan kepalaku. Dia merapikan dirinya di depan cermin, di sampingku.
"Ada apa lagi?" tanyanya lagi, saat aku membuka kembali beberapa kancing bajunya.
"Diamlah jangan bawel," ucapku. Dia merentangkan tangannya, kuberikan sebuah tanda merah di dadanya. Kembali kancing kutautkan setelahnya, senyum tipis menghias bibirku.
Kami berdiri berhadapan, kenapa ada rasa sedih saat akan melepasnya. Rasa apa ini, aku sendiri tak memahaminya. Kupaksanan senyumku, walau ada yang perih dalam hatiku. Tapi kenapa ada sakit menyapa dada ini.
"Jaga diri ya," ucapnya. Kedua tanganya menyentuh bahuku, aku mengangguk pelan. Apa yang harus kujaga, aku menertawakan diriku sendiri.
"Jaga rahasia kita," ucapnya lagi. Kembali aku hanya sangup mengangguk.
"Apakah kita akan bertemu kembali suatu hari nanti?" tanyaku padanya.
"Entahlah, terima kasih untuk malam yang begitu mengesankankan, kita tim yang hebat." Pria itu tersenyum lebar.
"Terima kasih sudah mendengar kisahku," ucapku lagi.
Pria itu mengangguk, mengusap rambutku pelan, berbalik badan berjalan kepintu.
"Selamat tinggal, terima kasih untuk semuanya," ucapnya menoleh kearahku, sesaat kemudian membuka pintu dan menghilang di baliknya.
Entah kenapa, ada rasa sedih yang terus mendekapku, aku menangis yah tapi kenapa? Apa yang kutangisi? Harusnya aku bahagia mimpiku akan segera terwujud. Tapi disisi lain, ini pintu gerbang menuju neraka yang sebenarnya.
Surga kami menyebutnya, setelah ini aku akan melayani pria-pria lainnya. Barang baru sepertiku, akan dijual dengan harga yang mahal, itu artinya uang tak akan menjadi masalah lagi bagiku.
Terdengar pintu berderit, Mami Erna dan Jenny menghampiriku sambil menebar pandangannya ke sekeliling kamar. Jenny langsung menuju tidur.
"Wow," ucapnya pelan sambil menutupkan jari ke mulutnya. Mami Erna tersenyum melihatnya.
"Kamu menangis?" tanyanya, saat memindai wajahku.
"Apakah saya harus tertawa setelah melepas keperawanan saya?" ucapku.
Wanita bertubuh montok itu tersenyum puas. Dan kembali melihat ke sekeliling.
"Tapi kamu beruntung, cowok ganteng yang merengut keperawananmu hahaha." wanita itu tertawa.
"Ihh cucok bener, eike juga mau hihihi," timpal Jenny. Dia terlihat mengambil gambar dengan ponselnya entah untuk apa.
"Dah pulang, pakaianmu ada di lemari, Mami tunggu diluar," ucap Mami Erna lagi. Aku mengangguk pelan. Beranjak ke lemari mengambil baju gantiku. Mengamati sebentar seisi ruangan sebelum aku meninggalkan kamar itu.
Rumah yang sangat besar, seperti istana tapi aku tak nampak siapapun sampai aku ke garasi dan masuk ke mobil Mami Erna. Aku duduk bersebelahan dengan Mami Erna, Jenny duduk di depan di samping Pak Rahman, sopir Mami Erna.
"Bayaranmu sudah Mami siapkan, juga hadiah yang sudah Mami janjikan. Kamu mami beri libur satu minggu setelah itu kamu akan kembali bekerja," jelas Mami Erna padaku. Aku mengangguk mengerti.
"Bukan pekerjaan yang berat bukan, enak-enak di bayar, dapat uang. Berdoa saja dapat pelanggan tampan seperti semalam," ucap Mama Erna.
Ponsel di tangannya terlihat bergetar. Buru-buru diangkatnya.
"Iya Tuan Bram."
"Hahahhaaha, tau setampan itu saya sendiri yang turun tangan,Tuan."
"Hahaha, terima kasih, senang bekerjasama dengan Tuan."
Mami Erna masih menyisakan tawa, walau panggilan sudah berakhir, tangannya masih menari lincah di atas layar ponselnya. Entah apa yang di lihatnya, dia tertawa puas sekali sepertinya.
~
"Aku tidak memberimu uang cash, ini Buku Tabunganmu, ini ATM mu ada Pin-nya juga, buku tabunganmu di simpan di sini, kamu lihat saja saldonya dua puluh juta ya," jelas Mami Erna sesamanya kami di rumah Mami Erna, Dia menunjuk isi buku tabunganku. Mataku membulat angka nolnya banyak sekali setelah angka dua.
"Ini baju, ponsel dan perhiasan untukmu, sebagai hadiah. Dan Tuan Bram menambahi dua juta cash sebagai hadiah untukmu. Tumben, rejekimu itu ambilah," tambah Mami Erna, senyumku terlulas cerah.
"Rahman yang akan mengantarkan kamu pulang, satu minggu lagi Rahman juga yang jemput, jangan berfikir melarikan diri, Mami pasti menemukanmu," pesannya lagi. Aku mengangguk mengerti.
Setelah beberapa bulan tak boleh keluar, apalagi pulang, rasanya rindu sekali. Aku sempatkan meminta tolong Pak Rahman, untuk mampir ke toko pakaian, membeli baju untuk Mama Ella, kakak, dan keponakanku. Tak lupa belanja berbagai jajanan serta mainan untuk kedua keponakan kembarku.
Sesampainya di rumah, lima lembar uang ratusan aku selipkan di kemeja Pak Rahman, sebagai ucapan terima kasih. Ucapan terima juga dia berikan padaku.
Mama Ella menyambutku dengan air mata bukan tawa, aku tau apa artinya. Bukan maksudnya menjualku, dia terpaksa melakukan ini semua. Dan aku tak pernah menyalahkannya.
~
Tak banyak yang aku lakukan selama liburan, bahkan aku hampir tak keluar rumah. Dua kali aku keluar, itupun hanya untuk mengambil uang, aku berikan pada Mama Ella untuk membayar kontrakan.
Waktu liburku telah habis, Pak Rahman kembali menjemputku. Setelah malam itu, nyaliku tak sebesar dulu. Ada rasa engan pergi, ada rasa tak rela membayangkan tubuh ini di jamah banyak pria. Tapi aku bisa apa? Sepertinya aku harus bersahabat dengan takdir. Menikmati semua apa yang mungkin sudah di gariskan untukku.
Tiba-tiba rasa sedih itu kembali, bahkan ternyata aku tak bahagia saat nyata telah memiliki banyak uang. Hanya rasa senang, bisa membalas kebaikan Mama Ella yang sudah mengasuhku semenjak bayi, selebihnya tak ada. Semua hampa ...
"Kenapa neng?" tanya Pak Rahman menyadari aku menyeka berulang kali air mataku.
" Nggak apa-apa Pak," jawabku kemudian.
Malam itu aku masih beruntung, tapi akankah malam-malam selanjutnya akan ada lagi keajaiban. Itu tak mungkin, dan aku tak ada pilihan lain, aku tak bisa lari. Kalaupun bisa, bagaimana nasib Mama Ella, pasti kena imbasnya.
Zanna, bersiaplah sayang. Bersahabatlah dengan takdirmu nikmati surga duniamu. Dengan begitu kau tak akan terluka, menikmati semua dengan ikhlas, tanpa rasa terpaksa.

Bình Luận Sách (221)

  • avatar
    KhotimahHusnul

    alurnya bagus

    15d

      0
  • avatar
    SariNovi

    bagus ceritanya

    16d

      0
  • avatar
    KadafiMuhammad

    aku senang sekali bisa membaca banyak hal hebat

    26d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất