logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

P 200 J Bab 2

Aku langsung menoleh, saat pintu terbuka, seorang pria muda masuk, kenapa tak seperti yang Jenny ceritakan padaku. Jenny mengatakan kalau yang membeliku adalah seorang pria berumur, tapi pria muda ini.
"Anda siapa?" tanyaku ragu.
"Aku ... aku Kenzi," jawab pria muda, yang mengaku bernama Kenzi tersebut.
"Apa Tuan orang yang akan saya layani?" tanyaku memastikan.
"Iy .. iya," jawabnya terbata. Pria itu terlihat gugup, sesekali dia memegang tengkuk nya.
Melihat bahwa ternyata seorang pria tampan yang akan melewatkan malam denganku, dan memgambil kesucianku, harusnya aku senang bukan? tapi entah mengapa nyaliku malah dibuat ciut jadinya.
Aku lebih siap berhadapan dengan pria dewasa, seperti yang ada dalam bayanganku.
Tapi, masa bodohlah. Siapapun itu tak perlu aku pedulikan. Yang terpenting tugasku malam ini selesai, demi baju baru, perhiasan, ponsel terbaru serta uang yang sudah Mami Erna janjikan padaku. Aku berjalan mendekati, pria muda yang bahkan belum beranjak dari depan pintu.
"Kamu, mau apa?" Pria itu melangkah mundur sampai tersudut di pintu.
Pria ini membuatku bingung, tak pernah ada adegan dalam film yang kulihat, dimana seorang pria ketakutan melihat gadisnya. Tapi dia, kugaruk kepalaku yang tak gatal, mencoba mengingat apa ada yang telah aku lewatkan.
Aku menggeleng pelan, tak ada adegan seperti ini di film manapun, kalau sebaliknya ada. Ah, sudahlah pratekkan saja sesuai yang aku tau. Kembali berjalan mendekat, tanganku berusaha mengapainya, tapi dia menepisku.
"Apa ada yang salah Tuan?" tanyaku bingung, kenapa dia menolakku. Dan malah terlihat gugup seperti itu.
"Tuan benar-benar orang yang memesanku kan?" tanyaku lagi. Pria itu mengangguk. "Lalu?"
"Maaf, aku gugup," jawabnya.
Kupindai wajahnya, kemudian turun ke badan tegapnya. Sangat sempurna. Belum apa-apa nampak keringat membasahi keningnya.
"Tuan baik-baik saja?" tanyaku kemudian. Dia mengangguk pelan. "Lalu, apa saya kurang cantik, tidak sesuai harapan Tuan?"
"Bukan, bukan begitu, kamu cantik," jawabnya.
"Lalu?" tanyaku padanya, aku kembali melangkah mendekatinya, merapatkan tubuhku padanya, walau terasa aneh, ini untuk pertama kalinya, tapi pekerjaan ini harus diselesaikan agar bisa kudapatkan apa yang aku inginkan.
Aku mengeluarkan segala jurus yang telah diajarkan, tapi yang ada pria bernama Kenzi itu malah semakin tegang ketakutan.
"Kenapa Tuan mempersulit tugas saya," ucapku padanya. Aku habis akal, kubenturkan kepalaku ke pintu di belakangnya, kesal.
"Kalau Tuan tak mau menikmati saya, kenapa Tuan ada disini," ucapku kesal. Semua di luar bayanganku, aku mengira tidak perlu perjuangan seperti ini dalam pekerjaanku. Setiap film yang aku saksikan, tokoh pria yang lebih banyak menyerang. Tapi, sekarang lihat apa yang pria ini lakukan. Aku sentuh saja dia malah ketakutan.
"Beri aku waktu sebentar," ucapnya kemudian. Aku mengangguk pelan, lalu berjalan kearah ranjang. Kuhempas pelan pantatku, duduk di tepian. Mataku masih terus memindai pria muda yang sekarang berjalan mendekat, lalu duduk di sampingku.
Cukup lama kami berdiam, aku mulai bosan. Tak terlihat kemajuan, aku yang harus mengambil tindakan. Aku meraih tangannya memaksanya memegangku. Dia tak menolaknya, bagus. Kembali kuteruskan lebih jauh, walau masih dingin tapi tak ada penolakan seperti tadi.
Aku sudah mulai memanas, kurasa dia mulai mengimbangi permainanku, tapi ternyata aku salah, dia mendorongku pelan. Bangun dan duduk di tepian ranjang. Kupukul bantal kesal, apa maunya sebenarnya.
"Maaf aku tak bisa?" ucapnya membuatku bingung.
"Maksud Tuan?"
"Aku, tak menyukai perempuan, aku tak suka dengan perempuan," tegasnya lagi. Diremas kasar rambut itu, tampak sekali dia begitu stress dengan kondisi ini.
Tidak suka perempuan, lalu untuk untuk apa dia membayarku mahal-mahal.
"Kamu tau, aku sama sekali tak terangsang melihatmu, sama sekali tak ada hasrat untuk menyentuhmu, aku akui kamu sangat cantik. Tapi, aku tak bisa melakukannya," jelasnya padaku.
"Papa, meminta asistennya untuk memesan seorang gadis untukku, dengan harapan aku bisa sembuh dari penyakitku," lanjutnya.
"Memangnya kamu sakit apa?" tanyaku kemudian. Tak memanggilnya dengan sebutan Tuan lagi.
"A ... aku gay," jawabnya.
"Gay, apa itu?" Pria muda itu menoleh kearahku.
"Kamu tak tau, gay?" tanyanya balik. Aku mengeleng.
"Aku menyukai sesama pria."
"Hahh," seruku kaget. Aku tak habis pikir, pria suka pria, apa lagi ini.
"Su ... suka pria?" ulangku. Kenzi mengangguk.
Dia mulai menceritakan, tentang jati dirinya. Anak kedua dari tiga bersaudara, dan dia anak lelaki satu-satunya. Keluarga pengusaha, aku tak paham dengan istilah yang dia gunakan. Karena salah pergaulan, berawal dari pengaruh sepupunya, yang sering mengajaknya ke komunitas penyuka sesama, akhirnya terbawa arus.
Jujur aku yang hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama tak terlalu mengerti dengan apa yang dia ceritakan. Sewaktu sekolah, aku juga tergolong biasa saja. Kudengarkan dengan seksama walau aku tak memahaminya. Inti dari semua ceritanya, bisa kusimpulkan, dia tidak menyukai wanita.
"Kamu sendiri, kenapa sampai di sini?" tanyanya padaku.
Aku mulai menceritakan kisahku, sebagai anak yang lahir tanpa mengenal siapa ayahku, dan ibuku yang tega meninggalkan diriku begitu saja. Semua kuceritakan dengan gamblang, tanpa air mata. Air mataku sudah lama habis, yang ada sekarang hanya keinginan lepas dari kemiskinan, bisa membalas budi pada Mama Ella dan memiliki barang -barang yang aku suka.
"Kamu tegar sekali," ucapnya mendengar ceritaku.
"Bukan tegar, aku sudah mati rasa," jawabku. Kesakitan yang teramat sakitlah, yang membuat jiwaku seakan mati, tak peduli apapun lagi.
"Benarkah kau sama sekali tak tertarik padaku," godaku padanya.
Kembali kurapatkan tubuhku padanya. Kenzi sedikit condong kebelakang memberi jarak diantara tubuhku dengan tubuhnya. Entah aku merasa ini lucu sekali, tapi di satu sisi ada rasa peduli, merasa kasihan pada pemuda ini.
"Aku, juga ingin hidup normal. Tapi ini sulit sekali."
"Apa kamu memiliki pacar pria juga?" Kenapa aku jadi begitu penasaran, hal ini mengundang banyak tanya dalam benakku.
"Baru dekat,"
"Sedekat apa?"
"Ya dekat, kenapa kepo sekali?"
Aku memajukan bibirku, saat nada suaranya sedikit meninggi. Padahal banyak sekali yang ingin aku tanyakan padanya.
"Terus, sekarang kita ngapain?" tanyaku kemudian. Ah, melayang sudah impianku, kenapa dia yang dikirimkan padaku. Jangankan merengut kesucianku, memegangku saja dia tak berhasrat.
Kenzi menoleh kearahku, sesaat netra kami saling menatap. Andai saja aku tak tau kenyataan tentangnya, mungkin akan ada debaran dan gejolak dalam dadaku, ditatap pria setampan dia.
Aku membuang pandanganku, berdecak kesal. Sial ...
"Kenapa?" tanyanya.
"Masih tanya kenapa?" sungutku.
"Iya, harusnya kamu senang, tak ada yang menjamah tubuhmu dengan hina, yang hanya ingin menyesap madumu saja."
"Oh ya, tapi aku sebaliknya, aku tak senang. Mimpiku akan baju mahal, perhiasan, uang dan ponsel baru melayang sudah. Tak ada darah perawan, tak ada bayaran untukku, dipikir mereka aku tak becus melayanimu," ucapku kesal.
"Apakah begitu pentingnya uang bagimu, hingga rela kamu korbankan harga diri dan kesucianmu?"
Mendengar kalimat itu, entah mengapa ada yang seperti menyayat hatiku, sakit.
"Tuan, Anda tak pernah merasahan hidup miskin bukan? tak pernah merasakan hari ini makan besok sampai lusa puasa. Pasti tak pernah, Anda dilahirkan di tengah keluarga kaya raya, sedangkan aku?"
Aku tersenyum getir, kemudian tertawa, menertawakan ketidakberuntunganku dan segala kisah pahitku.
"Maaf, aku tak bermaksud membuatmu bersedih," ucapnya.
Aku tertawa mendengarnya, tapi entah mengapa tiba-tiba ada bulir bening melucur di pipiku. Seumur hidupku, baru kali ini aku bicara dengan hati, dan menceritakan pada seseorang tentang sakit yang kurasakan.
Tak pernah kusesali takdirku, aku percaya apapun yang aku dapatkan pasti memang sudah menjadi garis hidupku. Tapi aku tetaplah manusia biasa, dan hari ini baru kurasakan kesakitan yang selama ini kutahan.
Selama ini aku tak punya teman, tak ada tempatku mencurahkan segala risau dalam hatiku. Aku sendiri, dan ditempa, dipaksa untuk menjadi tegar, menjadi kuat.
"Maafkan aku," ucapnya lagi, "Hai, apa yang kamu lakukan?"
"Kamu yang membuatku menangis, tangung jawab," ucapku sambil melanjutkan mengusap air mataku dengan kemejanya.
"Aku akan mengganti kerugianmu, tenang saja," ucapnya padaku.
Senyumku langsung terbit seketika, tak sulit baginya yang seorang anak pengusaha untuk memberi ganti rugi padaku pastinya.
"Tapi, masalahnya, kalau aku tak berhasil menidurimu, aku dibuang dari keluargaku yang otomatis semua fasilitasku ditarik, dan aku menjadi gembel, lebih miskin dari dirimu."
Senyumku langsung sirna seketika.
"Sekarang bantu aku memikirkan bagaimana caranya agar kita bisa memberikan bukti, kalau aku sudah menidurimu," ucapnya lagi.
"Kita coba lagi, siapa tau kamu sudah mulai tertarik padaku," ucapku padanya.
"Kalaupun aku tertarik padamu, aku tak akan tega melakukan hal itu."
Ucapannya sebenarnya membuatku merasa malu, sebuah tamparan bagiku, yang menghinakan diriku sendiri. Sayangnya, itu hanya pikiran bersih yang hanya terkadang hadir. Selebihnya pikiranku diisi bagaiamana caranya agar aku tak hidup susah lagi.
"Aku ada ide," ucapku padanya.
Bersambung.

Bình Luận Sách (221)

  • avatar
    KhotimahHusnul

    alurnya bagus

    16d

      0
  • avatar
    SariNovi

    bagus ceritanya

    16d

      0
  • avatar
    KadafiMuhammad

    aku senang sekali bisa membaca banyak hal hebat

    26d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất