logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

4. Topeng Kehidupan

Kupandangi kembali cermin, gambar diri sebenarnya, tanpa warna-warni kepalsuan yang menempel pada kulit wajah.
Tidak merubah bentuk, hanya merubah tampilan wajah. Cantik memang, bukan bermaksud memuji diri, tapi bagiku belumlah saatnya. Kehidupanku sudah dikelilingi manusia-manusia yang memakai topeng
berpura-pura bahagia. Tersenyum manja, bercanda, dan tertawa, lalu menggoda setiap pria yang bahkan belum pernah dilihat dan dikenal sama sekali.
Yah...." Aku benar-benar tahu, jika mereka bertopeng kecantikan luar hanya untuk menutupi derita dan kesedihan terdalam.
Tidak terlihat memang, tetapi luka hati rasa sakitnya sulit untuk bisa tersembuhkan.
Aku sering melihat, kawan-kawanku senasib menangis.
Bersedih karena terlahir tanpa pernah mengenal sosok orang tua.
Merindukan mereka yang tidak pernah dilihat, terkadang berkhayal.
Seperti apa kelembutan dan kehangatan belaian seorang ibu.
Pelukan perlindungan dan kasih sayang seorang ayah.
Kami hanya ingin merasakan, sekali saja di dalam kehidupan, rasa pernah dicintai, oleh mereka yang membuat kami ada di dunia ini. Tetapi sepertinya tidaklah mungkin.
Mengapa hidup begitu jahat terhadap kami? Sebuah pertanyaan yang paling sering terlontarkan oleh Asmah dan kawan-kawan senasib yang lain. Terpaksa mengorbankan kehormatan dan harga diri terkoyak, hanya agar terus bisa bernafas. Takdir tidak memberikan pilihan lain terhadap kami semua.
"Semoga saja, takdir membuka peluang kehidupanku di jalan yang lain, apa saja, asal bukan sebagai pelaku prostitusi," harapku, sesaat tersadar dari lamunan. Mengerjap sesaat, dan kembali membasuh wajah.
"Aku suka wajahku seperti ini," ungkap bathin. Sembari mematut-matut diri di depan cermin.
"Apa benar aku cerdas?" terngiang pujian Om Darmawan barusan. Sejauh ini, dia bersikap baik, dan memperlakukan aku dengan sopan. Berharap perkiraan naluriku tidaklah salah terhadapnya.
"Tok--tok--tok ... Mira, Amira! Buka pintunya sebentar." Suara ketukan pintu dan panggilan dari Om Darmawan, mengagetkan aku, membuat sedikit ketakutan.
" I--iya, Om! Sebentar!" jawabku, perlahan mulai mendekati. Rasa takut semakin menyergap.
Berhenti, tertegun di balik pintu.
"Ada perlu apa, Om?" tanyaku, dari sisi pintu sebaliknya, memastikan.
"Buka saja, sebentar." Kembali mulai mengetuk- ngetuk pintu. walau terdengar pelan.
"Kamu tidak apa-apa, Mir?" tanyanya kembali. suara Om Darmawan terdengar seperti khawatir, ingin memastikan kedaanku.
"Saya baik-baik saja,Om." Jemari menggenggam pegangan pintu, gemetaran tubuhku terasa.
"Buka, sebentar!" serunya.
"Klek." Kubuka pintu perlahan. Tidak berani menatap wajahnya, tertunduk dalam, badanku masih terasa gemetar. Pasrah saja dengan apapun yang terjadi, hanya bisa lakukan itu, menyerah pada keadaan.
Om Darmawan menyodorkan padaku, seperti pakaian tebal yang terlipat rapih.
"Ganti pakaianmu, bisa sakit jika masih memakai pakaian seperti itu," ucapnya. "Ambillah!" sedikit menekan.
Aku mengangkat wajah perlahan, menatap Om Darmawan, sembari menerima pakaian yang di sodorkannya. Dia sedikit terperangah, saat melihatku.
"Tanpa make-up begini, wajahmu terlihat lebih cantik dan segar," cakapnya.
"Terima kasih, Om," jawabku, terasa panas parasku, mendengar pujiannya. Mengangguk pelan, pertanda meminta ijin untuk menutup pintu kembali.
"Kutunggu di ruang tamu." Berbalik badan, meninggalkanku.
"Baik, Om." Terus saja berjalan tanpa menoleh, aku kembali menutup pintu, dan mulai berganti baju.
Om Darmawan masih duduk di kursi semula, saat aku kembali ke ruang tamu, dengan pakaian serupa sweater yang tadi diberikan olehnya. Tubuhnya bersender santai pada punggung kursi dan tangan menempel pada gagangnya, disilangkan kakinya di atas kaki yang lain sembari mengisap rokoknya perlahan, terlihat gagah sekali, pembawaannya tenang. Pria paruh baya dengan paras wajah masih terlihat tampan rupawan. Menoleh sesaat setelah aku melewatinya, dan duduk kembali di bangku tepat di hadapannya.
Terlihat dalam tatapannya, membuatku menjadi grogi dan gelisah, memainkan jari jemari adalah jalan keluar mencoba menetralisir kegugupan. Om Darmawan terdiam, masih menikmati rokoknya, terus saja memperhatikan, seperti sedang menaksir-naksir harga sebuah barang yang terpajang. Sesaat tersadar, lelaki dewasa yang tahu tentang keberadaanku di sini pasti menganggap seperti itu.
Hanyalah barang pajangan di sebuah etalase toko.
Om Darmawan kembali mengambil map di atas meja, dan mulai terlihat serius memperhatikan lembar demi lembar halaman, sesekali terlihat mengangguk terkedang menggeleng, entah apa maksudnya, lalu kembali meletakkan map tersebut.
"Itu map apa, Om?" memberanikan diri bertanya kepadanya. Menoleh sesaat, senyum tipis menghiasi wajahnya.
"Proposal pengajuan kerja sama." Jawabnya, lalu mengambil cangkir teh dan meminumnya perlahan.
"Proposal itu apa, Om?" tanyaku lagi. Tertawa dia, dengan lesung pipi terlihat di sebelah kanannya.
"Kapan-kapan saja nanti jawabannya." Semakin tergelak ia.
"Mereka bilang apa, saat menyuruhmu menemui aku?" terdiamku, berpikir sesaat, untuk mengingat-ingat.
"Memberikan servis yang baik, dan jangan mengecewakan, Om," jawabku, apa adanya.
Kembali Om Darmawan tertawa, jauh lebih keras, bahkan sampai terbatuk.
"Polos sekali kamu, Amira." Sambil berdiri, dan kembali masuk ruangan dalam, lalu kembali dengan membawa beberapa map di tangan, dan di letakkan di atas map proposal yang kubawa.
"Semua proposal ini, sama seperti yang kau bawa, Amira. Menawarkan kerjasama dengan perusahaan tempatku bekerja," ujarnya, lalu mengambil salah satu map, seperti ingin menjelaskan sesuatu kepadaku.
"Map yang ini, baru sampai sore tadi. Perempuan juga sepertimu, lebih profesional sepertinya, karena jelas-jelasan lebih berani menggoda, bahkan sampai membuka bajunya, gilaa!" sambil membanting map tersebut di meja, " kuusir dia mentah-mentah tanpa banyak bicara!" Sedikit keras nada bicaranya.
"Tapi entah kenapa, hal yang sama tidak bisa kulakukan terhadapmu," ucapnya pelan, sangat pelan, bahkan hampir saja tidak terdengar.
Terdiam mendengar ucapannya, tetapi aku yakin, walaupun diucapkannya pelan, dia juga menginginkan aku ikut mendengarkan ucapannya.
"Apa yang harus aku lakukan terhadapmu, Amira?" tanya Om Darmawan. Bingung rasanya harus menjawab seperti apa, sesungguhnya tidak pernah aku berbicara dengan lawan jenis selama dan sebanyak ini, dengan Tante Banci pun dulu hanya sering mendengarkannya bercerita tanpa banyak bertanya. Takut-takut kuucapkan kembali sebuah permohonan terhadapnya.
"Tolong saya, Om. Saya tidak ingin melakukan pekerjaan seperti ini," lirihku, meminta pengharapan terhadapnya. Terdiam Om Darmawan sejenak, matanya tetap menatap tajam, lalu mengambil bungkus rokok dan pemantik yang tergeletak di atas meja, mengambil satu, mengisapnya, dan mengembuskan asapnya perlahan. Pria paruh baya itu masih tetap terdiam, seperti sedang berpikir, menimbang-nimbang segala hal yang bisa terjadi jika dia ingin menolong, atau mungkin sedang mencari jalan keluar tentang permasalahanku. Ahh ... mungkin hanya perkiraan aku saja, bisa saja dia memikirkan hal lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan ku.
"Apa yang kudapatkan, jika aku menolongmu, Amira?" tanyanya pelan, tetapi membuatku kaget dan tergagap, entah harus menjawab apa pertanyaannya, karena tidak ada apa pun yang bisa kuberikan untuknya. Apa uang dua ratus ribu rupiah yang Asmah berikan untukku cukup untuk membayarnya.
"Saya hanya punya uang dua ratus ribu, Om," jawabku, atas pertanyaannya. Terkaget sebentar dia mendengar jawabanku, sesaat kemudian tertawa terbahak-bahak, keras sekali suaranya, hingga membuat wajahnya terlihat memerah, lampu ruangan tamu yang terang ini, cukup bisa menampilkan tampakan parasnya.
"Kamu terlalu lugu dan polos, Amira," ujarnya, entah itu pujian atau ingin menjelaskan tentang kebodohanku.
"Tolong saya, Om Darmawan. Saat ini, hanya om yang bisa membantu saya." genangan air mulai membasahi kedua mataku. Aku benar-benar berharap, semoga hatinya terbuka.
Om Darmawan kembali menatapku dalam, mematikan rokoknya pada asbak di atas meja, air mataku mulai menetes perlahan membasahi kedua pipi, dia memalingkan wajahnya dariku, menarik napas dalam.
"Jangan menangis, Amira. Aku tidak tega, melihat anak kecil menangis," sindirnya, atau memang itu tulus dari hatinya, entahlah.
"Tuhan, jika kata Tante Banci, Engkau memang benar-benar ada, bantu aku untuk melembutkan hati Om Darmawan," lirihku dalam hati.

Bình Luận Sách (284)

  • avatar
    L U X YOpet

    mantap undang gua dong

    6d

      0
  • avatar
    timRadenk 97

    bagus sekali

    10d

      0
  • avatar
    YusriHelmi

    menanti kelanjutan ceritanya

    19d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất