logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

[6] Ayahnya Letta

Setelah memberi pembatas di halaman terakhir novel yang baru saja dibacanya, Letta menghempaskan tubuhnya ke kasur yang ber-seprei Doraemon tersebut. Sesekali, dipejamkannya matanya. Matanya cukup lelah membaca novel yang kini sudah sampai halaman enam puluh tersebut. Lelah, tapi masih penasaran buat baca.
Di rak berwarna putih susu di ujung kamarnya, tertata rapi novel-novel bergenre romance kesukaannya. Semuanya berjajaran rapi, dan rak tersebut dipenuhi oleh buku-buku novel yang tak dapat dihitung berapa. Bisa, sih. Hanya saja, pasti cuma menghabis-habiskan waktu.
Gadis ini, Letta, memang pecinta novel. Mulai dari novel romance, fanfic, teenfic, humor, fantasy. Tapi, dari sekian banyaknya novel yang ia miliki, novel bergenre romance-lah yang paling banyak mengisi rak koleksi buku miliknya.
"Dek, udah selesai bacanya?" tanya seseorang dari luar, beriringan dengan ketukannya di pintu kamar Letta.
"Udah, Da. Masuk aja!" jawab Letta setengah berteriak.
"Labil banget, sih. Gara-gara baca novel aja, gak boleh diganggu," tutur Ragel, abang dari gadis itu seraya membuka pintu kamar Letta. Atau uda, seperti yang biasa Letta ujarkan ketika memanggil abangnya tersebut.
Uda itu panggilan untuk abang milik orang yang berdarah Sumatera Barat. Dan Letta memiliki darah Sumatera Barat dari bundanya. Dulu sih, pengennya manggil abang atau kakak aja. Tapi, lelaki itu ngeras supaya dipanggil uda. Katanya sih, biar beda.
"Ini novel romantis semua. Tapi, otakmu tetep odong dan gak tau apa-apa soal percintaan!" kata Ragel seraya menoyor kepala adiknya itu dari belakang.
Letta hanya cemberut mendengarkan ucapan abangnya tersebut sambil mengelus-elus kepalanya. "Ya udah, Uda keluar aja!" teriak Letta mendorong tubuh Ragel, sehingga lelaki tersebut hampir terjatuh dari tempat tidur milik Letta.
"Hehe, jangan, dong. Uda mau nanya, nih," ujar Ragel seraya memasang wajah seriusnya.
Letta menahan tawa. Abangnya itu, menurutnya sangat lucu jika memasang tampang serius begitu.
"Heh, malah ketawa," dengus Ragel dengan sebal. "Bener, yah, Letta pacaran sama cowok yang namanya Moses?"
Letta menggeleng.
"Hayoo, ngaku aja ah, sama Uda sendiri doang, ish," sahut Ragel melipat kedua tangannya.
"Hm, secara teknis sih, iya. Tapi, Letta kanー"
"Tunggu, itu cowok gak pusing apa, sama begonya dirimu?" tanya Ragel tertawa keras. Belum selesai Letta menjelaskan, abangnya tersebut sudah lebih dulu memotong ucapannya.
Letta mencubit lengan abangnya tersebut. "Letta gak begoooo!" teriak Letta kemudian memukul-mukul Ragel dengan bantal guling miliknya. Habis cubitan, terbitlah pukulan.
"Eeh, iya, iya. Maaf," ujar Ragel menghalang pukulan tersebut dengan tangannya, walaupun masih tertawa.
"Tapi, menurut Letta, dia gimana? Siapa sih, namanya? Uda lupa...."
"Moses."
"Nah, iya, Moses. Menurut Letta, Moses itu gimana orangnya?" tanya Ragel lagi sembari menghempaskan tubuhnya ke kasur Doraemon milik Letta.
Letta memutar kedua bola matanya, berpikir sejenak. "Yang pasti, dia ganteng,"
"Hm...." dehem Ragel, mengisyaratkan agar Letta melanjutkan kata-katanya.
"Most wanted,"
"Hm."
"Orangnya mesum...."
"Wait, wait. Me-sum?!" teriak Ragel mengeja ucapannya. Letta mengangguk.
"Dia pernah gak, ngelakuin yang enggak-enggak sama Lettー"
"Enggak," potong Letta seraya menggelengkan kepalanya.
"Kalau iya bilang, ya. Biar Uda ceburin ke Samudra Hindia," ujar Ragel menyeringai, membuat Letta bergidik ngeri.
"Nggak, kok, Uda tenang aja. Kita aja jarang ngobrol."
Ragel melebarkan matanya. Karang ngobrol? Lalu, kenapa pacaran? Memang, lelaki ini masih belum tau soal apa pun, soal keterpaksaan tersebut.
"Kenapa pacaran, kalo gitu?" tanya Ragel menatap adiknya dengan tatapan tajam. "Denger ya, Dek. Letta gak boleh pacaran cuma buat main-main."
"Ih! Uda apaan, sih? Lebay," komentar Letta sambil menimpuk abangnya tersebut dengan bantal guling. "Letta bukannya main-main. Tapi...."
Letta menggantungkan kata-katanya. Apakah boleh memberitahu Ragel soal perjanjian empat tahun ke depan itu? Masalahnya, bundanya atau Tante Ratna, Mamanya Moses, tak memberi penjelasan apa pun tentang hal itu, apakah harus dirahasiakan dari keluarga sendiri atau tidak.
"Tapi?" Ragel menunggu kelanjutan ucapan Letta dengan serius.
"Tapi... Letta haus. Letta mau ambil air putih dulu ya, Da?" kata Letta sembari beranjak dari ranjangnya. Ragel yang tadinya berbaring di ranjang tersebut, ikut bangkit dari baringnya.
"Heh, jelasin dulu, dong!" teriak Ragel mengekori adiknya tersebut ke dapur.
"Halloha, Ayah pulang!" teriakan Hendrick, Ayahnya Letta dan Ragel, menggelegar ke seluruh sudut ruangan.
Letta dan Ragel yang tadinya sedang mengisi gelas kacanya dengan air mineral di dispenser, langsung meletakkan gelasnya di atas meja makan, dan berlari menuju pintu depan. Begitu pula dengan Clarissa, bundanya Letta dan Ragel. Senyum Hendrick mengembang, ketika melihat dua buah hatinya tersebut yang juga melempar senyum kepadanya.
"Ayah bawa oleh-oleh apa?" tanya Letta segera duduk di sofa panjang yang pas di sebelah posisi Hendrick sekarang.
Hendrick menggembungkan pipinya. "Bukannya tanya Ayah sehat atau enggak, malah nanyain oleh-oleh," ujar Hendrick dengan wajah ngambek, Ragel sendiri sudah ingin mencari ember untuk muntah sekarang.
"Ayah kan, udah sehat keliatannya," kekeh Letta melingkarkan tangannya di leher ayahnya dari samping. Hendrick tersenyum lebar.
"Ehem...." Ragel, Letta, dan Hendrick segera menoleh ke arah suara yang baru saja berdehem itu.
"Eh, Bunda. Sini, peluk dulu," ucap Hendrick melebarkan tangannya, mengisyaratkan agar istrinya tersebut masuk ke dalam pelukannya.
"Soal peluk-pelukan sih, nanti aja. Masih ada berita penting yang mau Bunda omongin."
Hendrick, Letta, dan Ragel hanya saling pandang dan mengernyitkan dahi.
"Berita apa, Bun?" tanya Letta menggaruk kepalanya. Ragel mengangguk menimpali ucapan Letta.
"Loh, kok Letta malah nanya? Kan, ini soal Letta," ujar Bunda tersenyum tanggung. Letta mengernyitkan dahi, makin bingung.
"Apa sih, Bun?" Kini Ragel yang bersuara.
"Sebenernya... ini nih, anak bungsu kesayangan Ayah ini, udah punya pacar," kata Bunda sembari mengelus-elus puncak kepala anak bungsunya tersebut.
Semua yang mendengar hal tersebut, membelalakkan matanya. Ragel sih, sudah tau. Tapi, pura-pura tak tahu aja, biar menyeimbangkan ekspresi dengan yang lainnya.
"Bener, Ta?" tanya Ayah memastikan.
Letta terdiam sejenak. Jika bilang nggak, dia akan membuat perusahaan papanya Moses tetap dalam bahaya. Eh, tapi kalau dia bilang iya? Hati nurani sungguh tak memerankan perannya dalam hal tersebut.
"Iya, Yah," jawab Letta dengan nada rendah. Hendrick menahan tawa.
"Akhirnya, ada juga yang mau sama anak Ayah," kekeh Hendrick tertawa keras. Ragel ikut tertawa keras, seakan mendukung ucapan ayahnya.
"Iya kan, Yah? Ragel juga bilang gitu!" ujar Ragel ber-tos ria dengan Hendrick. Letta hanya bisa memandang sinis ke arah udanya itu.
"Jadi, siapa laki-laki beruntung itu?" tanya Hendrick segera melepas penatnya dengan duduk di sofa tunggal di hadapan sofa panjang yang Letta duduki.
"Moses, anak Om Gerald," jawab Letta sambil menelan ludah.
Hendrick membelalakkan matanya. Gerald? Gerald pemilik perusahaan yang memulai masalah dengan perusahaannya? Gak, gak mungkin, masa!
"Lettー"
"Iya, Yah. Gerald, pemilik perusahaan yang Ayah ceritain waktu itu. Gak nyangka ya, anak kita malah pacaran sama anaknya," kekeh Clarissa sambil mencubit gemas pipi Hendrick yang tak memiliki satupun jerawat tersebut.
"Bener, Dek, Letta pacaran sama anaknya?" tanya Hendrick penuh selidik, masih memastikan. Letta mengangguk.
"Ayah marah?" tanya Letta memasang wajah memelasnya.
Hendrick menghembuskan napasnya, lalu menggeleng. "Enggak sama sekali. Adek boleh pacaran kok, sama dia."
Senyum Letta mengembang, memamerkan jajaran gigi putihnya. "Beneran, Yah?"
Hendrick mengangguk, lalu tersenyum. "Asalkan, dia gak boleh buat anak Ayah nangis. Awas aja. Kalau Ayah nemuin kayak gitu, Ayah bakal ratain mukanya sama tanah," ujar Hendrick tertawa sinis.
Letta, Ragel, dan Clarissa menelan ludah.
"Iya, Yah. Moses gak bakalan kaya gitu, kok," ucap Letta segera bangkit dari sofa.
"Letta mau ke kamar dulu, ya, Yah. Capek, baru selesai baca novel," lanjut Letta sambil merenggangkan tubuhnya.
Hendrick tersenyum mendengar ucapan Letta. Ia tahu, anak gadisnya itu memang suka sekali membaca novel.
"Eh, iya. Besok, Ayah mau ketemu sama Moses. Bilangin sama dia."

Bình Luận Sách (95)

  • avatar
    AfaniSitimudzalifah

    sangat bagus ceritanya dan alurnya susah di tebak

    31/07

      0
  • avatar
    Kelas CKarmila

    bgus

    07/08/2023

      0
  • avatar
    prvt_araa

    best gila

    06/08/2023

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất