logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Heartbeat

Heartbeat

maleficentsl


[1] Moses

Matahari bahkan belum naik dari ufuk timur. Hari masih tampak gelap gulita, jalanan di kompleks ini masih sepi akan kendaraan. Lelaki itu berlari pagi mengelilingi kompleks rumahnya. Setelah selesai berlari pagi, dia pun kembali ke rumahnya.
"Abang udah pulang? Tumben cepet," sahut Mama seraya menyediakan berbagai jenis makanan berbahan roti di atas meja makan untuk sarapan nanti. Sang Mama, Ratna, memang sejak kecil mengajarkan anak-anaknya bangun pagi-pagi sekali.
Abang? Iya, lelaki tersebut memang anak pertama dari wanita itu.
"Iya, Ma. Hari ini kan hari Sabtu, jadi dateng sekolahnya juga lebih cepet. Nanti malah telat, lagi," ujar Moses sambil mengusap rambutnya yang basah akan keringat.
"Yaudah, Abang mandi dulu gih, bentar lagi kita sholat jama'ah di atas," suruh Mama direspon dengan anggukan oleh Moses.
Ganteng, tinggi, tajir, punya mama yang perhatian, soleh lagi. Apa yang kurang darinya?
Jangan salah dulu. Walaupun Moses tak pernah ketinggalan buat sholat lima waktu, tapi sebenarnya pikirannya itu tak jauh-jauh beda dengan pikiran Ivan, Fathan, dan Ojan yang merupakan pangeran mesum di SMA mereka. Apalagi, Moses sudah bersahabat dengan tiga katak itu sejak mereka sama-sama duduk di bangku kelas satu sekolah dasar.
Lalu, wajah. Walaupun wajahnya tampan, tubuhnya tinggi tegap, tapi dia masih jomblo. Moses masih menyenangi perannya sebagai playboy sekolah.
Usai sholat berjama'ah, Moses segera memakai seragam dan siap-siap untuk pergi ke sekolah. Biasanya, dia sarapan pagi dulu, kemudian pergi ke sekolah.
"Kenapa lagi lo? Putus lagi sama cowok?" kekeh Moses dengan nada mengejek sembari melirik ke arah adik perempuannya, Keyla. Moses dan Keyla hanya berjarak satu tahun. Moses di kelas sebelas, Keyla di kelas sepuluh.
Untuk berbagai alasan, Moses memang sering memata-matai adiknya itu dari cowok-cowok jomblo plus genit yang mengejar-ngejar adik tercintanya itu di sekolah. Abangnya pangeran, tentulah adiknya seorang tuan putri. Apalagi, wajah mereka begitu mirip dan kepribadiannya tak jauh-jauh berbeda. Hanya saja, Keyla memiliki kepribadian yang terlalu mudah tertipu daya laki-laki playboy di sekolahnya. Sedangkan Moses, lelaki itu tak memiliki satupun gadis yang dipercayainya.
"Udah Abang bilang, jangan percaya deh, sama mulut manis cowok kaya gitu. Lagian, cowok lo jelek-jelek semua, kok," kekeh Moses terus melanjutkan ejekannya.
Nyiung!
Sendok yang sedaritadi dipegang Keyla akhirnya dilemparkannya ke mulut Moses yang bawel itu.
Moses menelan ludah.
Untung meleset, batinnya.
"Maa, Abang tuh, Maa!" teriak Keyla mengadu kepada mamanya yang tengah sibuk berbincang-bincang dengan sang suami.
"Abang jangan jahilin Adek terus, dong," bela Papa ditimpali dengan anggukan kecil oleh Mama yang ada di sampingnya. Moses menahan tawa.
"Lagian Adek bego banget, Pa. Masa pacarnya udah jelek-jelek, playboy karatan lagi!" kata Moses. Keyla yang mendengar itu hanya cemberut.
"Kalau playboy tapi ganteng kayak Abang sih, gak masalah. Ini ya Allah, ya Rabb,"
"Biarin, emangnya Abang punya cewek? Gak, kan? Abang tuh gak laku," ujar Keyla membalas. Moses menyeringai.
"Abang bukannya gak laku, Abang cuma males berurusan sama cewek-cewek bego," kata Moses dengan angkuh.
"Lagian, Adek keturunan siapa sih, yang ditipu mulu oleh cowok jelek?" Moses melirik ke arah mamanya.
"Loh, kenapa? Ngapain Abang ngelirik Mama kayak gitu? Abang pikir sifat Adek turunannya dari Mama gitu? Iya, gitu?" tanya Mama dengan tatapan mematikan. Moses menggeleng cepat.
"Yang bilang turunan dari Mama siapa, coba?" jawab Moses cengengesan.
"Ehm, kalau gitu, Abang pergi dulu ya, Ma, Pa," Moses bangkit dari kursinya, begitu pula dengan Keyla.
"Eh, tunggu dulu, Nak," Moses yang awalnya sudah berjalan menuju pintu depan diikuti oleh Keyla, kemudian kembali menoleh ke arah mama dan papanya ketika mendengar panggilan dari Papa.
"Ini, tolong nanti Abang anterin sama Tante Clarissa, ya. Yang ada di alamat ini, loh," ujar Mama menyodorkan berbagai buku resep makanan dan kertas putih bertuliskan alamat yang mama tuju. Moses mengernyitkan dahinya.
"Kok harus Abang sih, Ma?"
"Emangnya kalau bukan Abang, siapa lagi?"
"Kan bisa suruh Pak Karyo,"
"Jangan ngelawan. Udah gih sana, nanti telat lagi."
***
"HAH? Ogah ah, enak aja. Tadi gue gak ngasih dare yang aneh buat lo. Masa lo enak banget ngasih dare aneh tingkat dewa buat gue?" celetuk Ojan sambil membuang tangkai permennya ke lantai.
"Yaelah, aneh apanya? Lo tinggal pura-pura gak sengaja nyenggol bokongnya Buk Arni, selesai, kan?" kekeh Moses sambil melipat kedua tangannya angkuh.
"Tau, gitu aja kok susah," timpal Fathan.
"Udah lah, sini gue aja yang gantiin, cemen banget lo, Jan!" Kali ini Ivan yang bersuara.
Moses, Ojan, Fathan, dan Ivan memang terkenal sebagai empat pangeran paling hits di sekolah. Udah ganteng-ganteng, kaya-kaya, pandai ngelawak lagi orangnya mereka itu. Idaman, deh.
Tapi, walaupun ganteng, mereka juga terkenal sebagai empat cowok omes di sekolah. Asal ada cewek bohay lewat, pasti langsung disiulin atau digodain. Bisa dibilang, tak jauh-jauh banget dari kata gila.
Apakah mereka udah punya pacar? Pertanyaan bagus.
Ivan, masih setia terhadap statusnya yang sebagai playboy keparat. Fathan, juga sejenis dengan Ivan. Ojan, atau nama aslinya Fauzan, setia dengan status jomblonya dan memiliki kepribadian agak dingin. Dan Moses, cowok playboy yang sama dengan Fathan dan Ivan, namun yang paling ganteng diantara mereka ber-empat. Pangeran semua gadis di sekolah, namun dia tak separah Ivan dan Fathan, dan masih bisa dikatakan jinak.
"Oh. Di sini ya, kalian?" mereka berempat langsung menoleh ke arah suara sekaligus suara derap kaki yang mengarah ke arah mereka.
Mereka berempat hanya saling pandang sambil menaik-turunkan alis ketika melihat seorang gadis yang berteriak ke arah mereka tadi.
Mereka, Tari dan Letta. Dua murid cewek yang menjadi kepercayaan Pak Rudi, si guru BK pemarah yang tak pernah bosan memata-matai anak-anak nakal seperti Ivan, Fathan, Ojan, dan Moses.
Karena Pak Rudi tak mungkin bisa memata-matai setiap menit, maka dia menyuruh agar dua orang cewek tadi yang memata-matai empat cowok tersebut.
"Lo mau ngapain lagi?" tanya Ivan menaik-turunkan alisnya. Tari yang pas di hadapan Ivan, hanya bergidik najis.
"Lo berempat ada kelas, kan? Kenapa masih di sini?" tanya Tari membesarkan matanya ke arah mereka.
"Gurunya belom masuk," jawab Moses santai sambil bergerak untuk meraih tempat duduk di anak tangga.
"Tunggu guru di dalem kelas bisa kali," balas Tari.
"Lagian, lo ngapain sih, mata-matain kita mulu? Setia banget kayaknya sama Pak Tua itu," celetuk Ojan membetulkan letak jam tangannya. Ivan, Fathan, dan Moses mengangguk-angguk membenarkan ucapan Ojan.
"Bukannya setia. Cuma jalanin amanat," jawab Tari.
"Sosoan jalanin amanat lo. Tiru Letta, dong. Di antara kalian berdua, cuma Letta yang waras dan gak urusin masalah kami," kata Fathan. Ivan, Ojan, dan Moses mengangguk-angguk membenarkan.
"Letta?" Letta menunjuk dirinya sendiri.
Empat cowok itu tersenyum sambil mengangguk ke arah Letta dengan tatapan gemas.
Ya kali, gak ngurusin. Letta mana mau ngurusin orang. Ini juga cuma karena Tari temannya dan Tari harus mata-matai mereka.
"Banyak omong lo, yuk ikut kita ke kelas!" ucap Tari menarik kuping Ojan dan Ivan secara bersamaan.
"Adadaww, sakit Tar!" teriak Ivan sambil berusaha keluar dari Tari yang terkutuk ini. Tapi, semakin ia berusaha keluar, rasanya semakin sakit kupingnya.
"Udah deh, kasian merekanya," bujuk Letta ke Tari sambil menatap prihatin kepada Ivan dan Ojan yang meringis.
"Tuan putri!" teriak Ojan dengan mata berkaca-kaca ketika mendengar bujukan Letta.
"Biarin aja, Ta. Mereka daritadi protes terus," kata Tari terus menjinjing telinga Ivan dan Ojan yang sudah memerah menuju ruangan kelas.
Sedangkan Moses dan Fathan hanya cekikikan sambil terus mengikuti serta menonton dari belakang. Perasaan tadi Fathan deh yang terakhir ngomong, kenapa malah mereka berdua yang ditarik kupingnya?
"Ketawa lo, Goblok. Bantuin, kek!" teriak Ivan mengarahkan tinjunya ke arah Moses dan Fathan. Bukannya menolong, justru tawa mereka makin keras.
"Yak, udah dapat merekanya, Tari?" tanya Pak Rudi dengan gaya santai sambil berjalan memasuki kelas. Tari mengangguk.
"Duduk, gih!" suruh Tari mendorong Ivan dan Ojan menuju bangkunya yang di belakang.
"Dasar sarap," maki Ivan sambil bergegas menuju bangkunya. Tari hanya menahan tawa mendengar ucapan Ivan dan gerutuan Ojan dari sini.
"Gimana? Sakit, gak?" tanya Fathan masih dengan tawanya. Sedangkan Moses menenggelamkan wajahnya ke sela lipatan tangannya, agar bisa menahan tawa di sana.
"Sakit ndasmu. Menari di atas penderitaan orang lain!" ujar Ojan mengelus kupingnya yang merah menyala.
"Salah siapa, jadi orang kok goblok banget. Udah tau si Tari itu orangnya emosian, apa lagi dia itu pasukan dari guru terkiller sepanjang masa," kekeh Fathan.
"Pak Rudi, maksud lo?" bisik Ivan. Berhubung si empunya nama kini ada di depan sambil menjaga ketenangan kelas, jadi mereka juga harus hati-hati. Akibat guru yang seharusnya mengajar pelajaran sejarah tak datang hari ini, maka para murid hanya di suruh mengerjakan soal yang ditinggalkan, sambil dijaga ketertibannya oleh Pak Rudi, si guru BK yang rasanya pengen banget mereka tenggelamkan.
Dari sini, Tari terus-terusan memandang sinis kepada empat lelaki yang sedari tadi terus mengobrol tanpa melirik sedikit pun ke soal yang ditinggalkan Pak Didit, si guru pelajaran sejarah.
"Apa lo?" ujar Ivan tanpa suara sambil membesarkan matanya ke arah Tari.
Tari yang melihat gaya sok keren dari lelaki itu, menggores lehernya menggunakan telunjuknya, mengisyaratkan bahwa mereka akan ia bunuh satu persatu jika tak juga kunjung diam.
Iya sih, Tari itu selain mata-mata, juga ketua kelas dan ketua OSIS. Tegas iya, galak iya, cerewet iya. Badannya yang kayak donat gitu selalu mendapat ejekan dari rombongan Moses dan teman-temannya.
"Itu si bola kenapa lagi?" tanya Moses sambil mengangkat alisnya ke arah Ivan. Ivan mengangkat bahu.
"Daritadi marah mulu. Makanya, dia gak kurus-kurus," jawab Ivan seraya mengipaskan buku tulisnya ke arah keringatnya yang bercucuran.
Krik krik. Krik krik.
"Apa hubungannya kurus sama marah?" ucap Ojan beranjak untuk mengambil buku tulisnya di dalam tas. Moses dan Fathan mengangguk-angguk membenarkan ucapan Ojan.
"By to the way, kita harus nyusun rencana buat bisa liat bokongnya Sandra dengan puas," ucap Fathan. Moses, Ivan, dan Ojan hanya mengernyitkan dahi sejenak, lalu mengangguk-angguk.
Sedangkan, Tari masih saja memperhatikan mereka dari kejauhan. Mereka berempat memang sekelas dengan dua gadis itu, Tari dan Letta. Tapi meja mereka terpaut jauh. Si dua cewek ada di meja depan, sedangkan si empat cowok ada di meja belakang, makanya mereka bisa ngobrol.
"Liat bokong Sandra? Maksud lo dari luar, kan?" kata Ojan.
"Ah, iya, dong. Masa liat secara langsung?" ujar Fathan mematuk kepala Ojan. Rasanya, Ojan memang yang paling bego di antara mereka berempat.
"Gue juga heran, akhir-akhir ini dia jadi sering pakai rok abu-abu panjang. Padahal, biasanya kebalikannya," tambah Moses. Fathan mengangguk.
"Nah, makanya. Pas dia hang out bareng temen-temen ceweknya juga, dia jadi sering pakai celana jeans panjang, bukan rok mini lagi. Apa jangan-jangan dia tau ya, kalau selama ini kita selalu merhatiin dia karena hal itu?" tambah Ivan.
"Berarti kita ketahuan, dong?" celetuk Fathan.
"Woi, yang di belakang. Tolong kecilin volumenya!" teriak Pak Rudi sambil menutup novelnya. Walaupun udah tua dan punya wajah sangar, tapi Pak Rudi punya hobi yang aneh, yaitu suka banget baca novel bergenre romantis.
"Udah deh, Pak. Keluarin aja mereka. Daritadi ngobrol mulu, yang diobrolin gak masuk akal lagi," ujar Tari. Mereka berempat menatap Tari dengan tatapan nyolot.
"Tau apa lo?" kata Ivan. Tari bergidik.
"Semua orang juga denger, lo sama temen-temen omes lo bicarain soal bokongnya Sandra daritadi."
"Pak Rudi aja gak masalah, kenapa lo yang sibuk?" kini Fathan yang berbicara.
"Tau, tuh!" timpal Ojan dan Moses bersamaan.
"Yah, semua orang juga tau kalau Pak Rudi itu udah tua, telinganya juga udah pekak. Makanya, dia gak denger!" ujar Tari lagi.
"Salah, Tar. Mungkin Pak Rudi denger, tapi, gak mau larang, karena juga mau ikut liat bokong Sandra," kata Fathan. Tari hanya mangut-mangut.
"Iya kali, ya," tambah Letta.
"Heh, apa kalian bilang? Kalian pikir saya tuli, gitu? Kamu juga, Tari. Kamu gak memihak saya lagi? Sekarang, kalian semua yang terlibat pembicaraan itu hormat ke tiang bendera sampai pulang. Cepat!"
Tari menghitung orang-orang yang tadi ikut pembicaraan mereka. Yap, pas enam termasuk Letta.
Mereka ber-enam segera bangkit dari bangkunya masing-masing lalu berjalan menuju tiang bendera.
"Gara-gara lo pada, kita jadi dihukum, kan?" celoteh Moses menatap tajam kepada mereka.
"Ih, emang siapa yang ribut duluan? Kalau kalian gak ribut, ini semua gak bakal terjadi!" balas Tari.
"Tapi kalau kalian gak ikut-ikutan, Pak tua itu gak bakal tau," ujar Ojan lagi.

Bình Luận Sách (95)

  • avatar
    AfaniSitimudzalifah

    sangat bagus ceritanya dan alurnya susah di tebak

    31/07

      0
  • avatar
    Kelas CKarmila

    bgus

    07/08/2023

      0
  • avatar
    prvt_araa

    best gila

    06/08/2023

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất