logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

02 - Alice, August 13

Alice, August 13
Sekolah baru lagi. Aku menatap pintu utama bangunan super besar yang menyerupai mega mansion modern di hadapanku. Gedung dua sayap itu berbentuk sangat unik dengan atap-atap yang didesain bertumpuk menyerupai daun-daun yang saling bertindih. Mengingatkanku pada bangunan Wuxi Grand Theater di China. Aku memasuki pintu utama yang ada di tengah kedua sayap gedung itu.
Akan berapa lama aku bertahan di sini? Ah, aku rasa aku harus berubah. Aku harus bisa mencari sahabat, jika perlu aku harus menemukan pacar di sekolah ini. Aku rasa aku harus mempunyai sebuah ikatan agar bisa menumbuhkan rasa memiliki pada sekolah baru ini. Aku beruntung tak ada yang mengenal reputasiku di sini. Aku harus mengendalikan diri dan berhenti menjadi gadis pembuat masalah.
Kulihat di sepanjang koridor, semua anak mengenakan dresscode. Ya, dresscode. Bukan seragam. Kami diberi kain tartan berwarna dasar hitam dengan aksen merah gelap dan garis kecil berwarna kuning pucat. Selanjutnya terserah akan kami jadikan baju seperti apa kain kami. Aku menjadikan kain itu rok lipit, lalu memadukannya dengan kemeja warna mentega lengan pendek dan sebuah blazer Chanel berwarna mahogany. Senin hingga Kamis kami mengenakan dresscode, Jumat pakaian kasual.
Sebagian dari anak-anak di koridor memandangiku yang berjalan tenang di atas heels Manolo Blahnik berwarna hitam. Aku bisa merasakan mata mereka menyapu penampilanku dari ujung kepala hingga jempol kakiku yang sedikit menyembul dari ujung sepatu peep-toe.
Akhirnya kutemukan kelas Geometri milik Mrs. Vidgerson. Beberapa siswa menyadari kehadiranku dan mereka memandangiku tanpa berkata-kata. Seperti yang terjadi di koridor, mereka pun memandangiku dari kepala hingga kaki. Lalu muncul seseorang wanita, aku asumsikan dia adalah Mrs. Vidgerson.
"Siapa kau?" wanita itu menanyaiku, dahinya mengkerut. Guru berusia di akhir empat puluhan itu juga memandangiku dari atas ke bawah, seakan dia baru bertemu musuh di masa lalunya.
Sebelum aku sempat menjawab, Mr. Henry muncul dari belakangku. Sebelumnya aku sudah bertemu kepala sekolah itu. Dia orang yang ramah. Dan pada pertemuan pertama kami, aku merasa dia begitu bahagia melihatku. Entahlah, mungkin aku hanya berimajinasi.
"Ah, kau sudah ada di sini," kata Mr. Henry. Senyumnya begitu lebar ketika memandangku. "Mrs. Vidgerson, ini adalah Alice Ritholz. Dia baru saja transfer dari The Spence School, Manhattan. Dia adalah gadis New York!"
Aku tersenyum dan menggeleng. "Tidak, aku pemegang paspor Glassvale," kataku. Aku memang tumbuh di New York, tapi orang tuaku tak pernah melepas kewarganegaraan Glassvale anak-anaknya. Aku telah meninggalkan Glassvale sejak usia dua tahun. Mungkin sesekali saja aku berkunjung ke negara ini sejak saat itu.
Mr. Henry tertawa. "Dengan aksenmu itu, kau seperti bukan orang Glassvale. Baiklah ikuti pelajaranmu dengan baik, Alice!" kata Mr. Henry lalu meninggalkan kami.
"Ambil tempat dudukmu, Alice!" ujar Mrs. Vidgerson. Dia tak lagi memandangku dengan pandangannya yang penuh curiga.
Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan itu. Di sekolah ini, siswa tidak duduk seorang diri. Satu meja diisi empat orang, satu orang di setiap sisinya. Aku berasumsi kelas ini berisi campuran antara anak-anak sophomore dan junior. Kulihat hanya tersisa satu kursi, di belakang bersama para murid lelaki. Aku tak peduli, aku duduk di sana.
Siswa lelaki di sampingku memandangiku tanpa berkedip. "Kau bisa memperkenalkan dirimu daripada memandangiku penuh curiga," kataku sambil mengeluarkan buku dari dalam tas.
Siswa itu itu tampak salah tingkah lalu tertawa. "Aku tidak mencurigaimu. Aku Frank, selamat datang di Clementine Private School," ujarnya ramah. Siswa itu tampak begitu menawan dengan dresscode yang pas dengan tubuhnya. Dia tampak seperti seorang pemurung, namun tawa ramahnya segera membuyarkan asumsi itu.
Aku tersenyum. "Terima kasih, itu terdengar lebih baik." Lalu dua teman Frank lainnya memperkenalkan diri. Mereka adalah Tom dan Bass.
***
Menu makan siang di sekolah baru ini sungguh luar biasa. Aku bisa betah makan di kafetaria ini tanpa bersekolah. Kafetaria berdesain modern dengan kursi empuk dan dinding kaca yang menghadap kolam renang. Suasana di tempat itu mengingatkanku pada sebuah restoran mewah yang pernah aku kunjungi di Copenhagen.
Aku membawa nampanku dan merasa ragu akan duduk di mana. Tempat duduk di kafetaria selalu sudah terpetakan. Meskipun aku tak peduli siapa yang akan menjadi teman makan siang sepanjang tahun nanti, aku tak ingin salah pilih di hari pertamaku di sini. Puluhan pasang mata memandangiku. Aku menatap mata setiap orang yang aku lalui dan kurasa mereka berharap aku bergabung di meja mereka. Lalu kulihat wajah-wajah familiar dan kuhampiri mereka.
"Tempat ini kosong?" Aku duduk sebelum mereka berkata apa pun. Frank, Tom, dan Bass hanya melongo melihatku.
"Tentu saja. Duduklah!" balas Frank. Suaranya begitu ramah, namun terdengar tegas. Terlebih senyumnya yang terlihat begitu hangat.
Aku memandang mereka satu per satu. Tom dan Bass memandangiku seakan tak percaya bahwa aku duduk bersama mereka. "Apa aku berada di tempat yang salah?" Aku khawatir aku tak seharusnya di sana.
"Tidak, tidak!" kata Bass cepat. "Kami bebas, tidak terikat pada aturan kafetaria. Duduklah!" Bass menatapku, seakan tak ingin aku berubah pikiran dan meninggalkan mereka.
"Tapi satu hal, aku merasa kau tak cocok berada di sini," kata Tom. Alisnya mengernyit dan pandangannya tak lepas dariku.
"Mengapa tidak?" tanyaku, sama sekali tak merasa ada yang salah dengan duduk di sudut ruangan bersama para siswa ini. Para siswa yang berpakaian tak terlalu rapi meskipun aku bisa melihatjahitan dresscode mereka yang tampakmahal. Aku menyuap salad tuna ke dalam mulutku.
"Lihat di sana!" Tom menunjuk satu meja yang berisi gadis-gadis cantik. Aku mengikuti arah jari Tom. Di meja tepat di tengah ruangan itu, duduklah tiga gadis cantik. Seorang berambut blonde dengan bibir yang manis dan hidung mancung. Dagunya tampak begitu tegak dan berwibawa. Seorang lagi dengan rambut hitam dengan badan yang tegak dan berotot khas atlet wanita. Terakhir, seorang gadis yang memakai bando di rambut coklat tuanya dengan senyuman manis dan penampilan yang chic.
"Siapa mereka?" tanyaku. Aku berasumsi bahwa para gadis cantik itu adalah klik gadis populer di sekolah ini.
"Mereka adalah The Butterflies," jawab Bass.
"Queen bee Clementine ada di sana. Britney Greaves. Gadis berambut pirang. Dia putri walikota Neplines," kata Frank. Aku memerhatikan tiga gadis yang sedang bercakap di dunia mereka sendiri itu. Apakah sebuah sekolah selalu membutuhkan seorang queen bee?
"Oh. Jika aku berada di sana, maka aku akan menjadi minion. Bukan begitu?" tanyaku sambil membayangkan bahwa mereka tak akan serta merta membuatku menjadi member yang mencolok.
"Kecuali kau bisa mengkudeta queen saat ini," balas Frank. Aku masih juga menyukai sunyuman manis anak itu. Dan sesaat, ide untuk kudeta terdengar menarik.
"Kalau begitu lebih baik aku di sini dan menjadi ratu di antara kalian," kataku sambil memandang Frank. Frank memang yang termanis di antara mereka bertiga.
Selanjutnya mereka menjelaskan peta kafetaria padaku. Sedikit berbeda dari sekolah umum di mana ada meja anak-anak Asia, meja atlet, meja kutu buku, meja artis, dan meja karakteristik siswa lainnya; di sekolah ini semua tampak seragam. Masing-masing meja terisi dengan remaja berpenampilan mewah dengan body language khas orang-orang manja. Sesuatu yang tidak terlalu aku pusingkan karena aku jenis yang tidak pernah terikat pada satu meja. Atau lebih tepatnya, aku sering diusir dari sebuah meja. Seperti yang terjadi di sekolah-sekolahku sebelumnya.
Aku kembali memerhatikan anak-anak laki-laki yang semeja denganku. Frank dan Bass mengenakan hoodie di atas seragam mereka. Sedangkan Tom mengenakan sebuah jaket ripped jeans. Mungkin mereka terlihat sedikit berantakan dibandingkan penghuni meja-meja lain. Namun aku tetap bisa melihat kualitas pakaian mereka dan membayangkan harganya.
"Apakah meja ini berlabel?" tanyaku santai, mencoba tak akan terkejut dengan apa pun yang akan mereka sebutkan.
Tom, Frank, dan Bass saling pandang. "Sebenarnya mereka menyebut kami... skater boys," kata Tom ragu-ragu.
Aku mengangkat alisku. Kupikir Clementine Private School adalah sekolah elit. Tapi ada skater boys juga di sini? Jadi aku duduk bersama anak-anak nakal? Kuharap skater boys di negara ini bukanlah cowok-cowok pembuat onar. Aku ingin menjadi gadis baik, Tuhan. Jangan papari aku dengan kenakalan.
"Tidak, tidak!" seru Frank seakan bisa membaca pikiranku. "Kami bukan anak nakal. Kami bahkan tak pernah melanggar peraturan. Kami hanya penyuka skateboard dan memainkan musik punk."
"Ah." Aku lega mendengarnya. Paling tidak pengakuan Frank bisa membuatku tenang sekalipun dia mengucapkan kebohongan. Tapi aku punya perasaan bahwa Frank bukanlah seorang penipu.
Lalu kulihat sekelompok siswa memasuki kafetaria. Tak bisa aku pungkiri, yang aku lihat adalah sekumpulan siswa dengan wajah yang bisa membuat seorang gadis terbuai. Dan mereka ada tiga!
Seorang siswa dengan rambut coklat muda dan rahang yang tegas. Mata birunya tampak tajam, bisa membuat seorang gadis pingsan. Meski tanpa senyuman, wajahnya bisa membuat siapa saja terpukau. Lalu seorang dengan rambut hitam dan tebaran senyum yang begitu memukau. Dia tampak begitu ramah, bahkan terlalu ramah hingga setiap gadis disapanya. Dan seorang lagi dengan rambut coklat tua dengan senyuman yang begitu meneduhkan. Dia berjalan dengan membawa sebuah buku.
"Mereka adalah The Gods of Clementine," kata Frank. Sekali lagi aku merasa Frank bisa membaca pikiranku.
"Para manusia rupawan yang tak tersentuh." Bass melanjutkan perkataan Frank.
Aku masih memandangi tiga siswa yang baru masuk itu. Aku bisa memahami bagian para manusia rupawan. "Mengapa mereka tak tersentuh?" tanyaku.
"Seperti mereka ada pada kasta tertinggi, tidak banyak yang bisa memasuki pertemanan mereka. Dan mereka kebal terhadap peraturan sekolah," kata Tom. Dia mengatakan itu dengan serius. Begitu serius hingga alisnya nyaris bertemu satu dan lainnya.
"Siapa mereka?" tanyaku penasaran. Aku masih juga memandangi mereka. Ketiga siswa itu duduk di tempat yang sedari tadi tak disentuh oleh siswa lainnya.
"Yang sedang berbicara dengan gadis adalah Alex Miller. Dia adalah seorang playboy. Ayahnya adalah CEO Estatell, salah satu jaringan real estat dan konstruksi milik C&T," kata Frank. "Aku yakin jika dia melihatmu, dia ingin segera menidurimu."
"Ketika kau menjadi seorang yang tampan, kenapa tidak?" kataku dan disambut tatapan sinis ketiga cowok di dekatku. Aku memerhatikan tingkah Alex. Senyumnya memang tampak sangat ramah. Tapi karena Frank bilang dia adalah seorang player, maka segera saja otakku melabeli senyuman Alex itu sebagai sebuah senyuman genit.
"Lalu yang sedang membuka buku itu adalah Daniel Ferland. Ayahnya adalah CEO di C&T Media. Paling santun di antara yang lainnya. Tapi dia masih berduka karena kematian pacarnya tahun lalu," lanjut Frank.
Tiba-tiba aku merasa bersimpati luar biasa pada Daniel. "Sepertinya aku ingin berteman dengan Daniel. Siapa yang satu lagi?" Kupandangi salah satu the gods yang kupikir seharusnya berkarir sebagai model itu.
"Dia adalah the god of the gods. Orang paling tak tersentuh di antara yang lainnya. Dia tidak banyak bicara, tapi paling temperamental. Dia adalah Anthony Zedeck," jawab Bass. Suaranya terdengar sangat misterius ketika mengatakan itu, seperti pada sebuah trailer film. Belum lagi mimik wajahnya yang seolah dia sedang membicarakan hal yang sakral.
Zedeck? Kurasa itu nama yang familiar. "Maksudmu dia berafiliasi dengan Clementine & Theodore Groups? C&T?" tanyaku. Sebuah nama perusahaan yang sering aku dengar karena Ayah berulang kali memperbincangkan tentang mereka, terutama George dan Miriam Zedeck sang pemilik perusahaan.
"Ya," kata Tom tak kalah misteriusnya seperti Bass. "Dia adalah anak pemilik sekolah kita. Karena itu dia kebal segala aturan."
"Jika kau punya wajah yang pantas untuk direkrut menjadi Dewa Yunani, terlebih kau memiliki setumpuk kekayaan, maka wajar saja jika kau menjadi sombong," kataku. Aku tersenyum geli saat mengatakan itu.
"Temperamennya memakan banyak korban. Jadi aku sarankan untuk tidak dekat-dekat dengannya," kata Bass. Suara misteriusnya masih belum juga hilang.
Aku tersenyum sambil menatap cowok yang sedang mereka bicarakan. Sebuah pikiran nakal segera menyala di benakku. "Ayo kita coba!" kataku.
Lalu aku bangkit dan berjalan menuju dispenser jus jeruk. Ketiga cowok tadi tampak sangat terkejut dan juga khawatir. Mereka seperti ingin menghentikanku, tapi tak bisa.
Aku mengambil segelas jus dan sesaat memerhatikan keadaan di kantin itu. Sekolah swasta yang katanya elit ini ternyata juga memiliki aturan-aturan tak tertulis yang sama kacaunya seperti sebuah sekolah umum. Keturunan pemilik yayasan menjadi penguasa? Aku bisa saja segera menjadikannya bukan siapa-siapa di sini. Mungkin secara teknis aku tak bisa. Tapi Ayahku pasti bisa.
Aku kembali menuju mejaku, dan aku sengaja berjalan pelan melewati meja Anthony Zedeck. Aku berpura-pura terjatuh dari heels-ku, jus jeruk berhamburan membasahi punggung Anthony. Sepersekian detik aku terkejut dengan perbuatanku sendiri. Apa yang aku lakukan? Bukankah aku sudah berjanji tidak terlibat masalah? Ada sedikit perasaan menyesal melakukannya. Tapi hanya sedikit. Sedikit sekali.
Seketika Anthony bangkit dan meraih lenganku dengan kasar. Bisa kulihat kilatan kemarahan di matanya. Tuhan, jika tadi aku berkata tentang Dewa Yunani, maka kupikir para dewa itu akan iri pada siswa ini. Namun, seseorang menarikku, dan Anthony juga ditarik menjauh dariku.
"Aku tak pernah melihatmu," kata orang yang memegangiku. Aku menoleh padanya, dia adalah Alex Miller dengan senyuman super manisnya. Jika saja tadi Frank tidak memberitahuku bahwa dia seorang player, mungkin saja aku sudah terpesona.
Aku tersenyum. "Ini hari pertamaku di Clementine. Aku mohon maaf, kakiku tergelincir!" kataku pelan dengan berusaha membuat suaraku semanis mungkin. Aku meringis sambil berusaha meraih pergelangan kakiku.
Alex tampak terpana memandangiku. Dia mengamati segala yang ada padaku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mulutnya menganga namun senyumannya tak sirna. Itu membuatku bergidik. "Anthony baik-baik saja. Duduklah!" kata Alex. Dia membimbingku duduk di meja mereka.
"Alex!" bentak Anthony. Terlihat sangat jelas bahwa cowok itu sama sekali tidak menginginkanku duduk semeja dengannya.
"Sebentar saja Ant!" kata Alex. Dia memijit pergelangan kakiku. Seisi kantin rasanya memandangku karena insiden itu. Beberapa siswa berdiri dari kursinya untuk melihat ke arah kami. Untuk sesaat ruangan itu begitu hening.
"Siapa namamu?" tanya Daniel. Dia tampak masih siaga menjaga Anthony. Bisa kukatakan senyuman anak ini pun bisa saja memikatku. Senyumnya begitu ramah dan hangat, tapi kabar tentang rasa dukanya membuatku ingin berempati padanya.
"Aku Alice. Alice Ritholz," jawabku pelan. Aku mencoba berbicara selembut mungkin. Tidak terasa sulit karena aku paham betul caranya berpura-pura.
"Ritholz?!" seru Alex dan Daniel bersamaan. Aku terjingkat mendengarnya. Anthony menatapku, namun tak bisa kutebak apa yang dia pikirkan tentangku. Mereka semua tampak tercengang.
"Apa ada yang salah?" tanyaku heran dan salah tingkah. Apakah di Glassvale merupakan sebuah kejahatan ketika kau bernama Ritholz? Apakah Ayahku terlibat tindakan kriminal sehingga orang-orang di sana terkejut mendengar namanya belakangnya? Namun, Frank dan yang lainnya tidak seterkejut mereka!
"Tidak ada yang salah, sayang. Mulai besok duduklah bersama kami!" kata Alex. Dia memandang mataku dan aku pun seakan terhipnotis oleh pandangannya yang bisa membuat siapapun terbuai.
"Jangan ada gadis di sini, Alex!" kata Anthony dingin. Hell, apa yang membuatnya alergi pada gadis? Apa salahku padanya? Bahkan dia juga tak tahu kalau aku tadi tidak sungguhan terjatuh.
"Dia Rithloz, Ant. Kupikir kita bisa membuat pengecualian," kata Daniel. Suaranya terdengar berwibawa. Bukan, sepertinya lebih terdengar kagum.
"Tidak!" kata Anthony. Dia tampak marah dan sama sekali tak terkesan dengan nama belakangku.
"Jika kau bisa membuat pengecualian untuk Cathy, mengapa tidak untuk Alice?" tanya Alex. Dia berbicara dengan tenang, namun lebih terdengar sedang memprotes Anthony. Dan siapa Cathy?
"Tidak!" kata Anthony tegas. "Bawa dia pergi dari sini!"
"Baiklah, baiklah," kata Alex. Dia menoleh padaku dengan tatapan matanya yang lembut. Oh wow, mungkin itu salah satu modal yang dia miliki untuk menjadi seorang player. "Kakimu masih sakit?"
"Masih terasa nyeri," kataku dengan sedikit meringis. Aku berbohong.
"Biarkan aku membantumu. Kita ke klinik sekolah," kata Alex. Aku mengangguk dan dia menggendongku. Seisi kantin terdiam melihatku.
Hai, aku adalah Alice Ritholz. Saat ini, orang tuaku adalah pemilik perusahaan dengan aset dan profit terbesar di negara Glassvale.
***

Bình Luận Sách (26)

  • avatar
    DiasParta

    bagus

    02/08

      0
  • avatar
    PutraReblors

    lumayan bagus

    16/07

      0
  • avatar
    RamadhanRiski

    bagus

    07/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất