logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 7 Reuni Kampus Dania

Tak terasa sampailah kami di rumah. Aku membuka pintu pagar, kemudian pintu garasi. Mas Adnan memarkirkan mobil pajero sportnya di samping mobil honda jazzku.
Sampai rumah pas Maghrib, kemudian kami beberes. Kusiapkan keperluan Mas Adnan untuk ke Masjid.
Adzan berkumandang, “Adit, ke Masjid sana, sama Papa!” perintahku. Adit yang sedang mainan hape milik Papanya dengan malas segera beranjak.
Mas Adnan dan Adit ke Masjid bersamaan.
Kulihat sebentar story WA sebelum mengambil air wudhu.
“Bersyukur dengan apa yang telah Allah anugerahkan.”
Begitu isi statusnya Khamila. Tumben bener, jangan-jangan lagi ada masalah dengan Burhan. Ah, bodo amat.
Setelah ini aku wudhu dan bersiap untuk sholat.
Setelah sholat, tilawah bareng dengan Mas Adnan dan juga Adit.
Ya Allah, bersyukur sekali mendapat suami seperti Mas Adnan. Kalau dipikir, hadirnya Khamila ada hikmahnya juga. Mungkin jika tidak ada dia, aku tidak akan menikah dengan Mas Adnan.
Bikin status dulu, ah.
“Thank you Allah for this gift.” Sembari ku upload gambar kita saat tilawah bersama.
Adzan Isa berkumandang, Mas Adnan dan Adit bersiap ke Masjid, sedangkan aku bersiap untuk sholat di rumah.
Setelah sholat, kupersiapkan makam malam sembari menunggu cintaku pulang dari Masjid.
Setelah mereka pulang, kami berkumpul di meja makan.
“Mas, kayaknya aku butuh asisten rumah tangga, deh,” rengekku pada Mas Adnan.
“Dulu katanya nggak mau,” balasnya sembari memasukkan makanan kedalam mulut.
“Ehm, capek, Mas. Rumah segede ini, dua lantai harus aku bereskan sendiri.”
“Ya sudah, sana kamu cari sendiri. Kalau bisa orang kampung. Coba tanya Mbah Uti.” (Sebutan untuk memanggil orang tua perempuan.)
“Iya, deh, nanti aku telpon Ibu.”
Ting ….
Notifikasi pesan masuk, nomer tak dikenal. Profilnya gambar anak kecil seumuran Adit.
[Hy Dania, apa kabar? ]
[Baik, ini siapa, yah] balasku penasaran karena tidak ada namanya.
“Dari siapa, Ma,” tanya Mas Adnan. Mungkin karena melihat wajahku yang penuh tanda tanya.

“Nggak tahu, Pa.”
[Dania, ini aku, Atika. Ingat? Aku teman kampusmu dulu.]
“Oalah, Si Atika, Pa, ia temen kampusku. Dulu sering ikut kegiatan bareng, climbing, dan yang lainnya.”
Sepuluh tahun semenjak lulus, Atika merantau ke Bogor, sedang aku ke Tangerang bersama Burhan waktu itu hingga hampir menikah. Namun ketika Khamila manggagalkan pernikahan kami, aku langsung keluar Propinsi ikut Budhe.
[Atika … apa kabar? Sumpah aku kangen banget sama kamu. Kapan kita ketemu? Kamu di mana?]
[Sama, aku juga kagen banget sama kamu. Aku masih di Bogor dan punya rumah di situ. Eh, ada reuni kampus, yuk ikut.] Balas Atika.
[Serius? Aku ikut, ya! Kapan?]
Bakalan seru, aku bisa ketemu Atika, sohibku yang paling rame, gokil dan paling mengerti aku. Iapun dulu yang mengatur pertemuanku dengan Burhan ketika pendekatan.
[Oke, aku daftarkan, ya. Kenapa kamu nggak ikut grup alumni, sih, aku masukkan, ya] balas Atika.
[Oke, aku didaftarkan, ya. Grupku sudah banyak, nanti aja, jangan masukkan grup. Oya, reuniannya kapan dan di mana? ]
[Minggu besok jam 09.00 di taman mini anjungan Jawa Tengah, iuran seratus ribu bisa transfer ke panitia. Nomer rekeningnya menyusul. Nanti sekalian rekreasi. ]
Asyik, aku bisa bawa Mas Adnan sama Adit.
[Baiklah, sampai ketemu besok.] balasku sembari kukasih emot love.
“Pa, alumni angkatanku mau ngadain reuni Minggu besok di taman mini, Papa ikut, ya.”
Kuberitahu Papa tentang rencana reuni alumni kampusku pada Mas Adnan. Ia hanya mengangguk.
“Horeee, kita mau jalan-jalan,” sahut Adit.
Akupun memeluk Adit dan menciumnya.
“Kita piknik keluarga,” balasku masih memeluk Adit.
Sementara Mas Adnan hanya senyum-senyum doang.
“Ok, Minggu kita piknik.”
.
.
===
Akhirnya hari Minggupun tiba ….
Minggu pagi semua pekerjaan telah beres. Semua sudah kupersiapkan dari kemarin karena hari ini ada acara.
Setelah semua sarapan, akhirnya kami berangkat. Tepat jam tujuh, kami keluar rumah. Kebetulan jarak rumah sampai ke Taman Mini Indonesia Indah dapat ditempuh selama dua jam.
Mungkin karena hari Minggu, maka tidak terlalu macet, juga karena pengaturan jalan yang sedemikian rapi, sehingga tidak menemui kemacetan.
Akhirnya sampailah kami di TMII. Lama nian tidak kesini, tapi tidak ada yang berubah.
Aku dan suami serta Adit, langsung menuju ke arah anjungan Jawa Tengah. Setelah sampai di sana rupanya telah banyak orang. Mungkin panitia.
“Ma, nanti selama Mama di acara, Papa sama Adit jalan-jalan,” ucap Mas Adnan.
Akupun mengangguk.
Saat aku mau melangkah aku dikegetkan oleh sosok yang tak asing.
‘Burhan?’ Astaghfirullah …, ternyata dia diundang juga. Meski kami satu komplek di perumahan, tetapi aku sama sekali tidak pernah menemuinya atau sekedar menyapa. Karena memang tidak pernah bertemu.
“Lho, Ma, itukan Pak Burhan,” ucap Papa.
Aduh, kenapa harus ketemu dia sama Mas Adnan, sih.
Mas Adnan mendekati dan menyapanya. Kalau Mas Adnan memang sering bertemu dengannya ketika kegiatan di perumahan. Kadang pas acara tenis meja atau bulu tangkis.
“Pak Burhan, njenegan ikut juga? Berarti dulu satu almamater dengan Dania?” tanya Mas Adnan. Sungguh, Mas, kamu tidak tahu kalau pria yang membuatku hampir gila itu adalah Si Burhan.
“Eh Pak Adnan, kok bisa pas banget, ya,” ucap Burhan sambil memandangku. Pandangan matanya menyiratkan rasa sesal yang dalam karena menghianatiku.
“Iya, nganter Mamanya Adit,” balas Papa dengan polosnya.
“Dulu kami satu kampus, bahkan satu angkatan.”
“Oalah. Ya sudah, saya jalan-jalan dulu, acara sudah dimulai, kan?”
Setelah bicara seperti itu, Mas Adnan pamit padaku dan mengajak Adit jalan-jalan. Sementara itu, Burhan memandangku tajam.
Astaga, sial. Pandangannya itu, lho.
“Dania,” panggil Burhan lembut.
Tak kuhiraukan panggilannya. Aku sibuk mencari temanku Atika yang katanya bentar lagi sampai.
“Dania,” panggil Burhan lagi.
“Ada apa Papa Azzah. Maaf, saya mau cari teman.”
“Kamu mau cari Atika, kan? Aku juga janjian dengannya.”
Waduh.
“Dari dulu sampai sekarang kamu tidak berubah. Masih cantik. Bahkan sekarang lebih cantik meski telah memiliki anak.”
“Cukup, Han, jangan lanjutkan gombalanmu itu, nggak mempan.”
“Terang saja nggak mempan. Kamu beruntung dapet Pak Adnan. Baik, kaya, sholeh. Nggak seperti aku.” Wajahnya tertunduk.
“Alhamdulillah, memang aku merasa begitu. Mas Adnan adalah lelaki yang sangat bertanggung jawab. Kalau kamu dengan Khamila, itu sudah pilihanmu dan juga takdirmu.”
“Tapi Dania, Khamila itu ….”
Belum sempat Burhan melanjutkan kata-katanya, Atika tiba-tiba datang. Aku pangling melihatnya, sekarang berubah. Dulu langsing dan tomboi, sekarang gemuk dan terlihat pendek.
“Atika ….” Pekikku. Kami saling berpelukan. Cium pipi kanan dan kiri.
“Dania, kamu masih seperti yang dulu, cantik, langsing dan terawat, tidak sepeti aku,” ucap Atika.
“Makasih, jangan memujiku seperti itu.”
“Hay Burhan! Ceile,” ledek Atika sembari melihat kearahku dan Burhan secara bergantian.
“Kebetulan saja, sudah, ah, yuk!” ajakku.
“Lho, itu Si Burhan kok ditinggal,” ucap Atika. Mungkin ia mengira kalau aku menikah dengannya.
Aku bersama Atika masuk ke dalam mengikuti acara. Di dalam bukannya mengikuti acara, tetapi mengobrol.
“Anakmu berapa, Dania?” Tanya Atika.
“Baru satu, say, kamu berapa?” tanyaku balik.
“Anakku sudah tiga. Makanya lihat, nih, badanku melar, hahaha,” jawab Atika.
“Eh, kamu bener nikah sama Burhan apa enggak, sih, kok sikap kalian beda,” lanjut Atika.
Aku terdiam sejenak lalu kuceritakan semua kejadian yang menimpaku dulu. Mendengar ceritaku, Atika terkejut.
“Yang bikin eneg lagi, Burhan itu satu perusahaan sama Mas Adnan—suamiku, satu komplek pula. Coba bayangin, aku harus ketemu sama Khamila yang menyebalkan itu.”
“Astaga! Serius?” tanya Atika.
Aku mengangguk. “Hahaha.” Atika tertawa.
“Gini aja, kamu tunjukin ke Burhan sama istrinya, kalau hidupmu lebih baik dari mereka, biar menyesal,” saran Atika padaku.
“Nggak perlu aku tunjukkan juga mereka sudah tahu. Cuma istrinya Si Burhan itu bikin eneg nggak habis-habis. Sombongnya na’udzubillah.”
“Lagi ngomongin aku, ya,” tiba-tiba Burhan mendatangi kami. Aku akui dulu kami sangat akrab.
“Geer, kamu. Han, anakmu berapa?” tanya Atika basa-basi.
“Baru satu, kamu?”
Burhan tanya balik.
“Aku tiga,” jawab Atika. Burhan kaget. “Ish, mau bikin kesebelasan? Hahaha.”
“Paan, sih,” balas Atika kesal.
Aku ingat kemarin saat di mall, apa perlu aku tanyakan ke Burhan? Pantas nggak, yah.
“Kita foto-foto, yuk,” pinta Atika. “Buat kenang-kenangan.”
“Aku nggak mau, ah, kan aku sama dia sekomplek.”
“Nggak apa-apa, sih. Mumpung pas bertiga, ayolah.”
Atika merayuku.
“Yuk,” sahut Burhan.
“Aku nggak mau!”
“Ayo, nggak apa-apa, buat kenangan,” ajak Atika dan terus memaksaku.
Akhirnya kami selfi. Atika, aku lalu Burhan. Burhan berada dibelakangku. Posisiku sedang bersandar di bahu Atika.
Lalu bertiga berjajar, kemudian duduk bertiga dengan gaya bebas.
“Ini yang cantik orangnya apa kameranya yang jahat, sih,” ucap Atika ketika melihat hasil jepretannya.
“Dania, kamu memang terlihat cantik,” puji Atika dan disetujui oleh Burhan yang mengangguk tanda setuju.
“Atika, kirim fotonya, dong,” pinta Burhan.
“Jangan Atika, nanti istrinya cemburu,” ucapku khawatir.
Gawat kalau istrinya tahu, bisa-bisa diviralkan di medsos.
“Nggak, nanti kalau diviralkan, nggak bakal aku kasih jatah,” balas Burhan sambil tertawa.
“Oke, nih aku kirim ke kalian.”

Bình Luận Sách (23)

  • avatar
    HitamPellar

    setelah saya mengunduh aplikasi ini saya bisa mendapatkan uang dan saya lebih rajin lagi membacanya

    27/06

      0
  • avatar
    TasyaAnnass

    bagusssssssss

    17/06

      0
  • avatar
    Irham Jihh

    500

    13/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất