logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 4 Bully (1)

Hari ini, Sadin dapat berangkat lebih pagi karena ia bangun sejak pukul dua pagi. Itu semua dikarenakan dirinya yang langsung jatuh tertidur setelah menangis kemarin sore. Tidak ada yang mau repot-repot membangunkannya sekalipun gadis itu tidak makan. Apalagi malam itu semua anggota keluarga di rumah Sadin pergi makan ke luar.
"Pagi, Pak!" sapanya ke arah Pak Mukhlis selaku satpam yang berdiri di depan gerbang. Sadin agak melambatkan laju motornya untuk mengucapkan salam.
"Tumben udah sampe sekolah, Din," celetuk Pak Mukhlis santai. Gadis itu hanya tertawa lalu masuk ke dalam lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah masih sangat sepi. Masih pukul 06.15, wajar kalau belum banyak orang yang datang. Sesampainya di kelas, hanya ada dua orang di dalam sana. Seorang perempuan yang duduk di pojok belakang sebelah kanan dan Rajaka yang duduk di pojok kiri.
"Pagi, Jaka. Apa kabar hari ini?" sapa Sadin dengan nada jail. Rajaka yang sedang berkutat dengan buku fisikanya hanya melirik Sadin sekilas lalu kembali ke bukunya.
"Anjir, songong amat," gerutunya. Ia memilih untuk menghampiri gadis yang berada di pojokan untuk menyapa gadis itu.
"Pagi. Rajin amat pagi-pagi udah belajar, Neng." Gadis itu mengangkat kepalanya, menatap Sadin sambil tersenyum, lalu kembali fokus ke bukunya. Ada yang aneh di sini. Sadin melihat ada beberapa buku tulis dengan dua tumpukan berbeda di atas meja dengan tumpukan sebelah kanan berisi dua buku, sebelah kiri tiga buku, dan buku yang sedang ia kerjakan menampilkan rumus-rumus fisika berada di tengah meja. Bukan hal aneh jika hanya ada satu nama, tapi ada lima nama orang yang berbeda dengan satu mata pelajaran. Iseng-iseng, Sadin mengambil salah satu buku dari sisi kanan meja. Semua jawaban dari PR sudah terisi penuh. Sementara salah satu tangannya juga mengambil buku di sisi kiri meja dan hasilnya masih kosong.
"Tolong balikin," cicitnya. Dari gayanya, Sadin sudah dapat menebak kalau gadis itu tipe gadis yang mudah dibully.
"Jangan bilang lu disuruh kerjain ini semua?" tembak Sadin telak. Rupanya perkiraan Sadin tepat. Ia langsung membeku begitu saja.
"Siniin bukunya," perintah Sadin seolah tak ingin dibantah. Pada dasarnya, gadis itu bukan orang yang berani melawan. Tentu berhadapan dengan Sadin jauh lebih menakutkan karena image gadis itu yang terkenal sebagai perusuh daripada orang-orang yang menyuruhnya mengerjakan tugas.
"Ta-tapi, kamu mau apa?"
"Nama lu siapa?" tanya Sadin tiba-tiba. Tidak ada yang tidak mengenal dirinya, tapi dirinya bukanlah orang yang mudah mengenal orang lain.
"Lala. Antika Putri Alanda."
"Oke, Lala. Buku-buku itu gua pinjem sebentar, ntar gua balikin lagi. Nanti, kalau udah ada gurunya, lu aja yang kumpulin. Kalau ditanya sama yang punya, bilang aja lu belum selesai semua dan biar lu aja yang ngumpul sekalian. Lu paham, kan?" Landa mengangguk ragu. Entah kenapa perasaannya bercampuran antara lega sekaligus takut. Ia lega karena ada harapan untuk lepas dari lingkaran setan pembullyan itu, tapi ia juga takut kalau orang-orang itu makin aktif memburu dirinya.
Sadin mencoret-coret kelima buku tulis itu, baik yang sudah dikerjakan maupun yang belum dikerjakan. Setelahnya, gadis itu mengembalikan buku-bukunya kepada Landa dan meminta gadis itu untuk tidak membuka bukunya dan berakting seolah tidak ada apa-apa.
Tepat setelah bel masuk berbunyi, Pak Agus selaku guru fisika masuk ke dalam kelas. Meskipun ini masih hari kedua setelah pertukaran kelas, PR tetap sudah ada. Diberikan ketika jam pelajaran terakhir kemarin. Sadin sendiri sudah mengerjakannya tadi pagi. Awalnya ia berniat mengerjakan tugas untuk kembali tertidur, tapi, bukannya tertidur, justru mata semakin melek karena tingkat kesulitannya membuat otak berpikir keras.
"Tugasnya sudah pada selesai?" tanya Pak Agus.
"Sudah, Pak." Kebanyakan suara sahutan ini berasal dari penghuni asli MIPA 1.
"Ya sudah, kumpulkan sini. Biar bapak koreksi. Yang mau maju buat ngerjain ke depan, bapak kasih tambahan nilai." Berbondong-bondonglah anak-anak penghuni asli MIPA 1 maju ke depan untuk mengerjakan kembali PR di depan kelas. Mereka menyalin terlebih dahulu soal ke papan tulis, lalu bukunya dikumpulkan untuk dinilai. Dalam pengerjaan ini, mereka tidak diperbolehkan melihat buku.
Dari bangku belakang, Sadin memperhatikan raut wajah Pak Agus yang mendadak menggelap saat mengoreksi buku tugas. Tangannya segera mencari buku lain untuk memastikan sesuatu, hingga lengkap lima buku ditumpuk di tumpukan tersendiri. Selesai sudah para siswa mengerjakan lima soal di papan tulis sebelum akhirnya pada duduk kembali ke tempat duduknya masing-masing. Pak Agus yang memiliki raut wajah garang dan tegas terlihat makin gelap auranya. Sadin sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.
"Veera Andari, Marisa Ulfa, Nofia Nawang Wulan, Rinda Wardani, dan Lutfia Putri Bianca, kalian maju ke depan!" Ah, permainan dimulai.
"Kalian tahu kenapa kalian dipanggil?" Suara Pak Agus terdengar sangat rendah, cukup untuk membuat siapa pun yang mendengarnya merinding.
"Tidak, Pak." Mereka serempak menggeleng sok polos. Sadin masih dengan senyum tengilnya, sementara Rajaka meliriknya tanpa ekspresi.
"Bisa kasih tahu saya, siapa yang mengerjakan tugasmu hari ini?" tanya Pak Agus dengan tatapan mengintimidasi. Jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan nada konstan. Ruang kelas menjadi sangat hening seiring dengan aura menyeramkan itu keluar, membuat seisi kelas takut untuk sekadar bernapas lega. Sadin pengecualian. Bahkan Lala kini menunduk dengan tangan yang saling bertautan dan ibu jarinya bergerak gelisah. Sadin tahu kalau gadis itu takut semua semakin buruk. Tapi, hei, siapa yang kuat jika terus-menerus di-bully?
"Ka-kami kerjain sendiri kok, Pak. Tapi kemaren berkelompok kerjainnya," cicit Rinda. Yang lain mengangguk kencang.
"I-iya, Pak. Kami ngerjain sendiri, makanya jawaban kami bisa sama persis." Marisa menimpali.
"Aah, benar sekali. Jawaban kalian sama persis. Bisa kasih tahu saya jawaban nomor tiga?" Pak Agus memang tersenyum saat bertanya, tapi Sadin bisa melihat kalau matanya sedang menahan amarah.
Kelima anak ini terdiam. Takut-takut, Veera hendak menoleh untuk melihat jawaban di papan tulis, tapi, sebuah gebrakan membuat hampir seisi penghuni kelas terlonjak kaget. Begitu pun kelima anak yang ada di depan kelas.
"Jawab! Jangan lihat yang di papan tulis! Kalau memang kalian mengerjakan, atau setidaknya menyalin jawaban dari teman lain, paling tidak kalian ingat jawabannya. Tapi apa ini? Saya hanya bertanya jawaban akhir, bukan cara penyelesaiannya." Semakin hening. Bahkan Rajaka menjadi sangat fokus melihat Pak Agus.
"Kalian tahu apa alasan kalian dipanggil?" tanya guru itu dengan nada sedikit melunak.
"Tidak, Pak. Kami tidak tahu apa kesalahan kami. Kiranya bapak berkenan memberitahu." Kali ini Putri yang angkat bicara.
"Ooh, kalian nggak tahu? Nggak tahu, atau pura-pura nggak tahu? Oke, saya kasih tahu di depan teman-teman kalian. Ah, sebelum itu, biar saya beritahu satu hal. Saya tidak pernah mempermasalahkan kalau jawaban satu dan yang lain sama. Mau kalian mengerjakan sekelas bersama-sama juga saya tidak pernah mempermasalahkannya. Bahkan satu jawaban untuk sepuluh anak juga bukan masalah, asal kalian mengerjakan tugas." Pak Agus kemudian mengubah arah pandang dari mereka berlima ke arah seluruh penghuni kelas. "Teman kalian ini, lima anak di depan ini, sepertinya sering sekali melakukan pembullyan. Apa kalian tahu akan hal ini?"
"...."
"KENAPA KALIAN DIAM? JAWAB SEKARANG!"
"Ta-tahu, Pak," jawab sebagian anak asli MIPA 1.
"Kalau tahu, kenapa kalian diam, ha?! Apa kalian menormalisasi tindakan pembullyan? JAWAB!"
"Ti-tidak, Pak. Kami tidak berani untuk melarangnya. Dia mengancam akan mempersulit kami kalau kami mengganggu." Seorang siswi paling depan mencoba menjawab meskipun takut-takut. Ah, Sadin ingat anak itu. Namanya Fauziah Nur Aini. Gadis dengan jilbab lebar dan ikut organisasi rohis itu termasuk dalam golongan orang yang tak akan Sadin ganggu. Biar bagaimanapun, sifat gadis itu benar-benar lemah lembut dengan wajahnya yang ayu. Seolah nama dan imejnya sesuai dengan sikapnya sendiri. Meskipun begitu, gadis itu tetaplah anak SMA yang ingin sekolah dengan tenang. Wajar jika ia mengambil tindakan untuk tidak berbuat jauh. Tapi, setelah Sadin pikir lagi, Fauziah tidak benar-benar mendiamkan Lala seperti teman lainnya. Gadis itu pernah melihat Fauziah membantu Lala saat disuruh membelikan mereka makanan. Bisa dibilang ia membantu dalam diam.
"Nah, Fauziah, sini maju dulu. Bacakan ini dengan lantang." Pak Agus memberikan salah satu buku dari tumpukan tersendiri. Rinda yang sadar kalau itu adalah bukunya mendadak pucat pasi. Fauziah menurut saja apa yang diperintah Pak Agus. Ia maju dan membuka halaman tempat soal buku ditulis.
"Saya, Rinda Wardani, hendak membuat sebuah pengakuan. Saya mengaku bahwa saya sering membully salah satu teman sekelas saya. Lalu, saya berjanji tidak akan meminta Antika Putri Alanda untuk mengerjakan tugas saya lagi. Jika saya melanggarnya, saya siap untuk dihukum dengan hukuman yang berlaku. Tertanda, Rinda Wardani." Tepat setelah Fauziah selesai membaca, seisi kelas saling melirik satu sama lain. Seolah saling bertanya siapa pelakunya. Sementara Lala semakin menyembunyikan wajahnya dari teman sekelas yang menatapnya ingin tahu.
****

Bình Luận Sách (31)

  • avatar
    FarahYui

    bagus

    20/08

      0
  • avatar
    VidiaSelvi

    seru

    19/08

      0
  • avatar
    Fitriana Tobing

    keren

    10/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất