logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 6 Benar-Benar Ta'aruf

"Ada-ada aja sih Ayah sama Ibu, masa aku mau dita'arufin. Kan mereka tahu sendiri aku gak percaya sama ta'aruf. Bagaimana bisa coba menikah dalam waktu singkat. Aku sama Valdi aja butuh waktu lama untuk nyaman,” gerutuku seraya menaiki tangga.
"Ah emang paling enak rebahan di kamar,” ucapku setelah merebahkan diri ke kasur.
Tutt..tutt..tutt.. sebuah panggilan masuk di ponselku.
Sebuah nama yang membuatku kembali tersenyum tertulis di sana. Akan tetapi, aku ragu untuk mengangkat telepon itu. Pesan kemarin yang ia kirim terus membuatku merasa cemas. Rasa percaya yang selama ini ku pupuk kuat kini menjadi rapuh.
Kenapa aku tidak bisa mempercayai Valdi? Kenapa aku terus berburuk sangka terhadapnya?
"Halo sayang,” sapa Valdi dari balik telepon.
"Udah pulang?" tanyanya.
Mulutku seperti tidak bisa bergerak. Aku ingin bicara seperti biasanya, mengucapkan kasih sayang tanpa ada rasa ragu seperti ini. Akan tetapi, sejak membaca pesan itu, mulutku terkunci. Aku tidak ingin berlama-lama bicara padanya.
"Iya, ini baru sampe rumah. Aku gak bisa tidur di rumah Sinta, jadi masih ngantuk hooaaammmm,” jawabku berpura-pura.
Aku memang masih mengantuk tapi alasan terbesarku adalah aku tidak ingin bicara pada Valdi. Menurutku dia egois sekarang.
Saat dia meninggalkanku tanpa mendengar ucapan dari ku di caffe itu, saat aku meminta maaf dan dia tidak meresponku serta saat pesan absurd yang ku terima. Dia kembali padaku seperti tidak ada yang terjadi.
"Uluh tayang, ya udah tidur aja lagi kan sekarang udah di rumah. Aku tutup dulu ya, dah sayang,” ucap Valdi lembut.
"Sayang..," ucapku sebelum Valdi menutup telepon.
"Ya, kenapa?"
Aku berpikir sejenak, haruskah aku menanyakan hal itu? Tetapi, aku mengurungkan niatku. Ada hal yang lebih mendesak daripada itu yang harus aku urus terlebih dahulu yaitu calon suamiku.
“Ya, lebih baik aku menyingkirkannya terlebih dahulu. Setelah itu baru aku akan bahas masalah ini dengan Valdi,” batinku.
"Enggak jadi deh. Hehehe. Ya udah aku aja ya yang tutup. Dahhh." Aku menutup telepon dari Valdi.
Niatku ingin memberi tahu Valdi mengenai apa yang Ayah dan Ibu katakan tadi. Tapi sudahlah, calon kali ini juga pasti tidak serius seperti yang sudah-sudah. Kalaupun serius aku tinggal lakukan hal biasa aja biar gagal seperti yang sebelumnya, toh ini bukan yang pertama kalinya untukku.

Dijodohkan seperti ini sudah menjadi rutinitasku selama dua tahun belakangan. Ayah dan Ibu menginginkanku untuk menikah muda, agar ada yang menjagaku ketika mereka sedang tidak ada. Selama ini, sudah sekitar tiga calon yang sudah gagal. Berbagai macam cara aku lakukan untuk membuat mereka mundur.
Aku pura-pura gila, pura-pura tuli, dan aku sengaja berprilaku tidak sopan. Semuanya berhasil, kali ini aku pun akan melakukan hal yang sama.
Padahal aku sudah pacaran dengan Valdi. Ayah juga pasti sudah tahu, aku yakin itu. Kenapa Ayah selalu berpura-pura tidak tahu dan selalu mengalihkan pembicaraan ketika aku menyinggung Valdi.
"Apa Ayah segitu tidak sukanya dengan Valdi? Padahal Ayah tahu aku dan Valdi pacaran. Kenapa ya Ayah selalu menentang hubunganku? Apa Ayah bisa menjamin aku akan bahagia ketika mengikuti apa yang Ia mau?. Padahalkan ini hidupku, bukan hidup Ayah. Aku juga berhak bahagia dengan pilihanku,” ucapku marah.
Jika dipikir-pikir Ayah, Ibu, dan juga sahabat-sahabatku tidak ada yang mendukung pilihanku. Jika memang ada alasannya, setidaknya mereka harus memberitahuku.
***
(Besok pagi)
Aku bangun shalat subuh dan joging disekitar rumah.
"Ah memang olahraga bisa menjernihkan suasana hati,” batinku.
"Pagi, sayang,” sapa Ibu dengan senyum simpul di wajahnya ketika aku tiba di rumah.
Senyum paling manis yang pernah kulihat, nyaman dan tenang.
"Pagi. Sarapan apa, Bu?" tanyaku dengan riang seperti biasanya.
"Ibu buatin nasi goreng kesukaan Putri sama Ayah. Sini duduk makan."
Aku duduk dan melahap nasi goreng yang menggoda itu tanpa menunggu Ayah.
"Gak nungguin Ayah?" tanya Ibu.
"Putri buru-buru mau ngerjain tugas."
Sebisa mungkin aku menghabiskan makanan sebelum Ayah datang.
"Putri, habis olahraga?" tanya seseorang dengan suara berat dan terdengar tegas namun hangat.
Suara familiar yang sangat sering kudengar. Ah, sudah secepat kilat rasanya aku menghabiskan makanan tapi tetap saja tidak bisa lepas dari Ayah.
"Iya, Yah. Tadi Putri habis olahraga," jawabku sekedarnya.
Aku ingin cepat-cepat masuk ke kamar karena Ayah pasti akan membahas mengenai ta’aruf itu lagi.
"Putri ada kegiatan apa hari ini?" tanya Ayah.
Aku sudah hafal dengan kalimat ini. Jika Ayah sudah mulai bertanya dengan hal-hal biasa yang sangat jarang Ayah tanyakan, pasti ujung-ujungnya Ayah memintaku untuk bertemu dengan lelaki itu.
"Banyak tugas Yah, jadi seharian ngerjain tugas,” jawabku.
"Nanti jam 10 calon kamu mau datang ke sini, jadi siap-siap ya."
Deg, deg, deg rasa tidak nyaman menyelimuti tubuhku. Aku kira ketika aku memberikan alasan dengan tugas, Ayah akan membatalkannya. Ternyata, oh ternyata. Ayah tidak mendengarkan pendapatku sama sekali.
"Calon? Calon apaan? Kalau begini cara main Ayah, oke! Putri akan turutin," batinku.
"Yah ini masih pagi, apa gak bisa bahas itu nanti dulu? Lagian Putri punya banyak tugas kampus. Hari ini aja Putri harus ke caffe buat ngerjain,” ucapku berusaha merubah lokasi pertemuan.
Jika bertemu di luar, aku bisa sekalian mengerjai lelaki itu semauku.
"Pagi, siang, atau kapanpun itu sama aja. Kamu bisa ngerjain tugas sama dia nanti, dia pasti bisa bantuin kamu."
"Ayahhhhhhh..," ucapku sedikit marah.
"Kamu jangan beralasan lagi, Ayah gak mau terima alasan konyol kamu atau perlakuan kamu sebelum-sebelumnya. Kamu pasti sengaja kan biar bisa ketemu di luar. No, Putri! Ayah sama Ibu tidak akan tertipu lagi. Kami akan ada di sini mengawasi kamu," ucap Ayah kemudian diakhiri dengan senyumnya.
"Mati aku, bagaimana bisa aku menjalankan misi untuk pura-pura gila di dalam rumah. Lagian kenapa di rumah sih, sebelum-sebelumnya juga ketemu di luar. Ayah sama Ibu sepertinya sudah tahu cara mainku,” batinku.

"Ayah bilang Putri punya privasi, jadi Putri boleh ketemu di luar dong,” ucapku.
"Oh, No!” Ayah menggerakkan jari telunjuknya.
“Kamu gak bisa bohongin Ayah lagi. Ingat terakhir kali kamu ketemu anak teman Ayah kamu pura-pura tuli. Sembilan bulan sebelumnya kamu pura-pura pincang. Sekarang Ayah gak mungkin tertipu lagi,” ucap Ayah bangga.
"Ibuuuuu..," satu-satunya harapanku adalah merengek ke Ibu berharap Ibu memihak kepadaku, tapi..
"Ikutin aja nak, Ibu juga mau lihat calon kamu."
"Calon apa!” ucapku sedikit kesal, semakin kesal melihat Ibu dan Ayah tersenyum kecil di depanku.
"Tapi tenang bukan Putri namanya kalau gak punya ide. Tunggu aja, aku bakal selesain semuanya dengan cepat. Di rumah atau di luar sama saja,” batinku.
Aku juga bisa tertawa kecil seperti Ayah dan Ibu hanya saja kini aku menggunakan topeng sehingga Ayah dan Ibu tidak akan melihat rencana dari Putri kecilnya ini.
Bersambung...

Bình Luận Sách (176)

  • avatar
    Wulann1Lintang

    sip

    30/07

      0
  • avatar
    ZaidiAinaa

    BESTTTTTT!!!

    11/07

      0
  • avatar
    NyllNyl

    konyol

    10/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất