logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chapter 7 Tertangkap Basah 2

Rindi meneguk salivanya dengan kasar ketika mendengar pertanyaan dari wanita yang mengenakan jas putih khas seorang dokter. Wanita itu berdiri di samping Dokter Erlangga, sedangkan Rindi hanya mampu diam di tempat duduk tanpa menggerakkan badannya sedikit pun, bahkan bibirnya seakan sulit untuk bersuara.
Ya Allah, kasihanilah Rindi. Perasaan dari tadi ketemu sama penceramah mulu, batin Rindi.
Angkasa terkikik geli menatap wajah Rindi yang begitu ketakutan, bahkan tubuh gadis itu menegang. Gadis itu terus menundukkan kepala tanpa mau menatap ke arah wanita yang tengah bertanya kepadanya. Mungkin ia mengira jika yang mengajukan pertanyaan itu adalah sang mami, nyatanya bukan.
"Kenapa diem, Rind? Kenapa Mami nggak boleh tahu?" tanya wanita itu kembali.
Rindi masih diam tak bersuara. Dia bingung harus menjawab apa? Karena percuma menjawab, pasti ujung-ujungnya wanita itu juga akan kembali bertanya soal topik utama, yaitu bolos. Rindi lelah jika harus ditanya soal itu, bahkan mulutnya hampir berbusa karena berbicara soal pembolosan yang dilakukannya. Bayangkan saja, Angkasa dan papinya datang dengan pertanyaan yang sama. Untung dia punya stok kesabaran di ubun-ubun, makanya dia selalu bisa menjawab setiap pertanyaan dengan sabar dan santai.
Nggak sia-sia jadi orang yang sabar, kalem, dan pinter, ucap Rindi dalam hati.
Wanita itu mengembuskan napasnya dengan kasar. "Rindi," panggilnya.
Rindi mendongakkan kepala, lalu menatap ke arah wanita berjas putih itu dengan tatapan terkejutnya. Bahkan mulutnya sedikit terbuka, seandainya ada lalat yang masuk mungkin sudah tertelan. Rindi berdecak sebal sekaligus memutar bola matanya jengah.
"Loh, kok malah Mommy? Aku kira Mami, soalnya suaranya mirip banget sama suara Mami," ucap Rindi dengan tatapan tak percaya.
"Ck, kamu lupa? Mommy 'kan adiknya Mami kamu, wajar dong kita punya kemiripan." Wanita itu memutar bola matanya dengan malas. "Kalau Mommy mirip dengan Bi Minah, itu baru dipertanyakan, aneh."
"Sorry, Mommy Rain." Rindi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Rain Queensheila Abram. Mommy dari Dayina Alaya Baharsyah sekaligus adik kandung dari Mami Rindi—Ratasya Zeida Abram. Rain merupakan seorang dokter spesialis kandungan dan anak, sedangkan Tasya adalah dokter umum yang satu profesi dengan Dokter Erlangga. Daven Julian Melik—papi Rindi—juga seorang dokter spesialis bedah. Jika kalian ingin membedah, silakan datang ke rumah Rindi. Bedah novel, bedah hati, bahkan bedah rumah juga boleh.
"Mommy kenapa ada di sini?" tanya Dayina yang tengah duduk di sofa sambil mengemut permen lollipop kesukaannya.
Merasa ada yang bertanya kepada dirinya, Rain mengalihkan pandangan ke asal suara. Dia menatap malas ke arah Dayina yang sedang fokus pada lollipop juga ponselnya. Bertanya tanpa melihat? Dia kira mommy-nya ini siapa? Hantu?
Dasar anak hujan, tidak sopan. Nanya nggak natap gue, males banget jawabnya, gerutu Rain dalam hati.
"Siapa, sih, yang tanya tadi?" tanya Rain, pura-pura tidak tahu dengan orang yang bertanya.
Dayina mematikan layar ponselnya, lalu mendengkus kesal. "Ish, Mommy. Yang nanya tuh anak Mommy yang paling cantik, baik, dan tidak shombong."
"Tidak sombong dari mananya? Dari hongkong?" sahut Kimma yang lagi-lagi tengah memakan keripik kentang.
Rindi berdecak. "Lo emang nggak sombong. Tapi sayangnya, gue bohong," ejek Rindi, "ya kali lo nggak sombong, tadi yang ngomong ke neraka suruh bawa kipas angin siapa?"
"Emang Day salah bilang begitu?" tanya Dayina, membuat Rindi menjadi gemas.
Rindi mendesah, lalu menjawab, "Nggak, lo mah nggak pernah salah. Selalu bener. Gue yang salah nih, lahir jadi sepupu lo. Intinya, gimana kata lo dan keluarga lo yang metal-metal, gue sih yes aja."
Rain mendengkus sebal melihat perdebatan antara anak dan keponakannya itu. Dosa tidak, ya, kalau dia membuang mereka ke Antartika. Seandainya dia memiliki kekuatan seperti Raden Kian Santang, mungkin dia sudah menghilang. Namun, sayangnya dia takbisa, sedari tadi mulutnya kumat-kamit pun tak menghilang-hilang.
"Kenapa kalian malah jadi debat?" tanya Rain dengan kesal. "Udah, mending kalian pulang sana, daripada nanti ketahuan sama Mami Tasya? Kayak nggak tahu dia aja," lanjut Rain.
Daven menganggukkan kepala tanda mengiyakan ucapan adik iparnya itu. "Iya, mending kalian pulang. Bahaya kalau Mami tahu, kalian bakal diceramahin sampai berjam-jam."
"Ya udah, yuk kita pulang. Gue nggak mau diceramahin sama Mami Tasya," seloroh Renata sambil bergidik ngeri membayangkan ceramah Tasya yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam.
Ya, kelima gadis itu sedari kecil memang sangat takut pada Tasya. Bukan, bukan karena Tasya menakutkan atau suka memukul, tetapi wanita itu begitu tegas dan cerewet jika menyangkut hal-hal yang tidak disukainya, apalagi bolos. Tasya akan meminta kepada orang tua mereka untuk menghukum anak-anaknya dengan cara mencabut semua fasilitas serta memotong uang jajan mereka.
Mengapa orang tua mereka selalu menuruti perintah Tasya? Karena Tasya, usianya tiga tahun di atas ibu mereka. Bagi ibu keempat gadis itu, Tasya adalah leader sekaligus kakak. Karena itu mereka menghormati dan menurut pada Tasya.
"Ayo, pulang! Percuma kita punya alasan bolos juga, Mami tetep bakal hukum kita." Rindi memakai tas di punggungnya.
Dayina menatap polos ke arah Rindi. "Buat apa kita pulang?" tanya Dayina, membuat semua orang di sana hanya mampu mengelus dada dan meringis sedih.
Rindi menjitak kepala Dayina. "Lo dari tadi nggak nyimak?" Dayina menggelengkan kepala, sedangkan Rindi menepuk dahinya. "Ya kali, lo nyimak. Otak lo juga masih loading, lemot kok dipelihara. Bukannya melihara ayam," lanjut Rindi dengan kesal.
"Day 'kan cuma tanya, kenapa nggak jawab? Buat apa kita pulang?"
Rindi memegang tangan papinya. "Pi, jangan tahan Rindi. Lepasin tangan Rindi, Pi. Aku mau pukul Day." Rindi menggoyang-goyangkan tubuh dan tangannya yang tengah memegang tangan Daven. Apa yang dilakukannya itu seperti orang yang sedang emosi dan memberontak dari cekalan maupun pelukan seseorang.
"Kamu kenapa, sih? Yang megang tangan papi 'kan kamu? Kenapa harus papi yang lepasin?" tanya Daven dengan bertubi-tubi.
Rindi berdecak sebal, papinya ini tidak bisa diajak bercanda. "Ck, Papi. Ceritanya teh Rindi lagi akting. Ini Rindi lagi marah sama kelakuan Dayina, yang nguras emosi dan menambah dosa."
"Kirain kamu kesurupan hantu rumah sakit," pungkas Daven.
"Ya Allah, Pi. Ya kali hantu mau masuk ke tubuh Rindi yang wangi syurga. Insecure hantunya juga, Pi," sahut Rindi dengan asal.
Kimma memutar bola matanya dengan jengah. "Dukun yang manjur di mana, sih?" tanya Kimma.
Renata menggelengkan kepala. "Gue nggak punya kenalan dukun, Sorry. Kalau kenalan yang suka ruqiyah ada," jawab Renata.
Kimma menatap Renata. "Bolehlah tukang ruqiyah juga, tapi manjur nggak? Terus jangan mahal-mahal, soalnya duit gue sisa sepuluh rebu."
"Udah, ah. Gue mau pulang." Rindi mencium punggung tangan Daven, Angkasa, dan Rain secara bergantian.
Kemudian dia berdiri di hadapan dokter Erlangga yang sedang menatapnya dengan dahi berkerut. Semua orang di sana sangat terkejut dengan apa yang dilakukan gadis itu. Di sana, Rindi memegang tangan dokter Erlangga, lalu mencium punggung tangan pria itu sambil berkata, "Assalamu'alaikum, Calon Imam. Semoga besok Allah mempertemukan," ucap Rindi dengan senyum manisnya.
Gadis itu langsung keluar dari ruangan dokter Erlangga dan diikuti oleh keempat sahabatnya yang sudah berpamitan. Daven menatap Angkasa dan Rain secara bergantian, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
"Bukan anak gue," seloroh Daven sambil menutup wajahnya dengan bantal sofa.

Bình Luận Sách (69)

  • avatar
    CHANRIORIOCHAN

    bagus banget

    07/07

      0
  • avatar
    Diva

    saya suka cerita ini

    16/06

      0
  • avatar
    GegeRayy

    bagus

    15/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất