logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 3

Aarav sedang duduk di kelas sambil membaca buku IPA, mata pelajaran kesukaannya apalagi tentang materi biologi.
Di saat sedang santai belajar, tiba-tiba Dennis datang dan memukulnya tanpa alasan, membuat Aarav merasa kesakitan. Dia memegangi bahunya yang terasa perih itu dan menatap Dennis dengan ketakutan. Jantungnya berdetak kencang merasa gugup dan kakinya gemetar. Keringat dingin mengucur membasahi rambut hingga tubuhnya.
Aarav menjadi sangat gugup. Apalagi saat Dennis melempar sebuah buku ke arahnya sambil tersenyum licik.
"Hei culun, tolong kerjain tugasku!" pinta Dennis dengan kasar pada Aarav.
Aarav hanya diam. Dia berusaha menolak permintaannya itu dengan menggelengkan kepalanya.
"Maaf, aku tidak bisa. Aku lagi sibuk soalnya, lebih baik kamu belajar mengerjakan soalnya sendiri," tolaknya halus.
Dennis memandang Aarav tak suka.
"Alasan kamu. Sudah sana cepat kerjakan! Atau aku akan memukulmu sekali lagi," ancam Dennis.
"Ta--tapi?"
_Plak_
Tiba-tiba saat Aarav ingin mengatakan sesuatu, Dennis justru kembali menamparnya dan membuat Aarav semakin kesakitan. Tanpa disadari, air matanya mulai menetes dan mengalir membasahi wajahnya. Hatinya benar-benar marah akan perlakuan temannya itu, ingin sekali dia memberikannya pelajaran, tapi tak mampu.
Akhirnya, Aarav pun terpaksa mengerjakan tugas Dennis tersebut, sedangkan Dennis hanya diam dan tersenyum licik melihat Aarav yang tidak berdaya itu.
***
Seorang gadis sedang berada di perpustakaan untuk membaca buku sembari bergurau bersama teman-temannya.
Rambutnya yang lurus sebahu, matanya yang hitam. Senyumnya yang manis. Gadis itu terlihat sangat cantik.
Beberapa saat berlalu, teman gadis itu perlahan mulai menghilang dari pandangan. Sementara dia masih tetap berada di perpustakaan ini sambil memegang bukunya.
Karena merasa kesepian dan sedikit takut akibat sendirian, gadis itu pun memutuskan untuk kembali ke kelas.
Di tengah jalan menuju ke kelasnya. Tanpa disengaja dia melihat Aarav sedang duduk termenung di taman sambil terus menundukkan tatapannya. Pandangannya kosong seperti tidak ada semangat bahkan harapan.
Gadis yang melihatnya seperti itu hanya diam dan tersenyum kecil. Dia lalu berjalan menghampiri Aarav.
"Hai," sapanya sambil menepuk bahu Aarav.
Aarav mengedipkan matanya dan mulai tersadar dari lamunannya. Dia memandang gadis yang ada di depannya itu dengan heran.
"Iya? Ada apa?"
"Kau baik-baik saja 'kan? ku lihat tadi wajahmu terlihat cemas, ada masalah apa? Sini cerita," ucap gadis tersebut. Dia tersenyum kecil, berusaha untuk menenangkan Aarav yang tegang akibat kejadian tadi pagi.
Aarav menggelengkan kepalanya pelan.
"Tidak ada. Aku baik-baik saja, kau salah paham. Tadi aku hanya kelelahan," bantah Aarav.
"Serius?"
Aarav menatap gadis yang ada di depannya itu dengan kesal membuatnya merasa gugup. Dia pun berusaha meminta maaf padanya, tapi saat bibirnya ingin mengucapkan sesuatu, Aarav justru memotong ucapannya itu dengan tertawa pelan.
"Hahaha. Kau pikir aku bohong? Aku jujur kok, lihat aku bahagia. Gak ada masalah apa-apa."
"Emm, ya sudah kalau begitu. Ngomong-ngomong, kau mau tidak jajan bersama aku? Di kantin?" ajak gadis itu. Aarav hanya diam dan menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Aku pergi dulu," tolaknya dengan nada halus tapi dingin. Dia lalu bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan gadis itu sendirian di taman.
Melihat kepergian Aarav, gadis itu menggeleng dan tersenyum kecil. Memang sudah jadi kebiasaan pemuda itu berbohong tentang perasaannya, dan ini bukanlah masalah baru bagi gadis itu. Dia hanya heran, kenapa Aarav selalu memanipulasi orang-orang di sekitarnya dengan tersenyum dan berbohong, terutama padanya. Bahkan dia juga tidak pernah menghargainya. Sehingga membuatnya merasa sedih.
Meskipun Aarav sering bersikap dingin pada orang-orang terutama pada perempuan tidak membuat gadis itu putus asa. Dia justru semakin menyukai Aarav dan mulai tulus mencintainya tanpa sepengetahuan Aarav sendiri.
_kring kring kring_
Lamunan gadis itu seketika buyar saat mendengar suara bel sekolah. Dia segera bergegas masuk ke kelas untuk mengikuti pembelajaran.
***
Di kelas, Annisa, teman gadis itu bertanya pada padanya, "Ada apa? Kenapa kau terlambat?"
Gadis itu tersenyum kecil menatap Annisa.
"Dengar ... tadi aku baru saja bertemu Aarav dan dia--"
"Aarav lagi Aarav lagi. Sampai kapan kau akan mengagumi dia seperti ini? Sudah cukup Ra. Kau tidak harus memaksa dirimu untuk tetap mencintai Aarav. Kau juga berhak bahagia, jangan siksa dirimu sendiri dengan melakukan hal ini. Mencintai seseorang yang bahkan tidak menghargai mu," tegur Annisa.
Gadis bernama Tiara itu hanya diam dan tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak bisa Nis. Kalau aku diam dan berusaha melupakannya, hati aku justru semakin tersiksa. Apalagi kalau aku hanya diam.."
Annisa memegang dahinya dan menggelengkan kepalanya pelan. Dia benar-benar tak habis pikir dengan temannya itu. Sedangkan Tiara hanya tersenyum.
-----

Ana sedang membersihkan ruang keluarga. Di sana dia melihat Angga sedang duduk sambil fokus bekerja dengan menggunakan laptopnya. Dia terus mengamati majikannya itu sambil menyapu lantai.
Samar-samar, saat sedang menyapu, tanpa disengaja Ana mendengar percakapan Angga yang sedang bertelepon.
Suara Angga saat itu terdengar sangat emosi dan cemas, membuat Ana menjadi penasaran akan percakapan mereka. Karena penasaran, dia pun mencoba untuk menguping pembicaraan Angga di belakang sofa sambil pura-pura menyapu agar tidak menimbulkan rasa curiga.
"Apa? Aku gak bisa ke sana. Aku lagi sibuk. Lain kali saja," tolak Angga pada si penelpon.
"Tidak bisa, Pak. Anda harus datang. Ada hal penting yang harus saya bicarakan," desak penelpon.
Angga memegang dahinya dan menundukkan tatapannya. Dia mengembuskan napasnya kemudian melanjutkan obrolannya.
"Baiklah kalau begitu. Saya akan ke sana," pungkas Angga. Dia lalu mematikan teleponnya dan juga laptopnya. Kemudian beranjak dari sofa untuk merapikan diri. Sedangkan Ana yang melihat kepergian Angga hanya diam dan merasa kesal. Dia semakin penasaran dengan apa yang terjadi.
Ana menggaruk rambutnya pelan sambil bergumam, "Hemm. Kira-kira ada apa ya? Kenapa Tuan terlihat kesal?"
Diam-diam, tanpa sepengetahuan Ana, Tobi ada di belakangnya sambil memperhatikan dirinya dan memegang bahunya.
"Baa!!"
Ana yang mendengar ucapan Tobi menjadi kaget.
Dia berbalik dan memandangi Tobi dengan kesal.
"Iiih! Tobi! Kau buat kaget saja."
Tobi tertawa kecil.
"Iya, maaf. Lagian kau terlihat serius tadi. Kenapa?"
Ana menggeleng pelan.
"Bukan urusanmu."
Dia pergi meninggalkan Tobi sendirian dan bergegas ke dapur untuk memasak makan malam nanti.
Tobi yang merasa dicuekin itupun juga pergi ke dapur untuk mendekati Ana.
Dia berpura-pura mengamati barang yang ada di dapur dan mengambil sebuah botol berisi garam.
Ana tidak menghiraukan Tobi. Dia asyik mengaduk sayuran yang direbusnya itu sambil tersenyum. Baunya yang harum membuat orang menjadi lapar dan ingin cepat makan.
Ana mengambil kuah supnya untuk dicicipi. Dia mengerutkan keningnya.
"Sepertinya ada yang kurang," ujarnya.
Tobi tersenyum kecil. "Kurang garam bukan?" tanyanya sambil tertawa kecil.
Ana mengangguk. Dia menatap Tobi dengan tersenyum.
"Iya, kenapa kau bisa tahu?"
"Ya karena, tadi waktu kau masak. Kau tidak memberikan garam, jadi mungkin sup nya terasa hambar," jelas Tobi.
Ana mengangguk pelan.
"Oh ya, kau tahu sup nya kekurangan garam. Aku juga sebenarnya ingin memasukkannya, tapi garamnya tidak ada. Dan sekarang tiba-tiba ada di tanganmu, kenapa?"
"Itu karena tadi---"
"Sudah. Aku tidak ingin mendengarkan alasanmu. Mana garamnya?" .
Tobi memberikan garamnya pada Ana.
Ana yang merasa Tobi selalu mengikutinya menjadi tidak nyaman. Dia menatap pria yang ada di depannya ini dengan kesal.
"Dari tadi kau mengikutiku? Pergi sana! Ganggu saja," usirnya.
"Iya baik-baik. Aku pergi, dadah sayang," pamit Tobi dengan senyum manisnya.
Ana yang melihatnya hanya diam. Dia merasa geli, tapi juga suka dengannya. Tingkah Tobi yang menggemaskan selalu berhasil membuat Ana tertawa meski pun tawanya pelan dan sedikit. Tapi dalam hatinya dia merasa sangat senang.
Karena rasa kesalnya dengan Tobi barusan, membuat Ana lupa akan hal yang baru saja dia pikirkan, tentang masalah Angga. Dia tidak menghiraukannya lagi dan melanjutkan pekerjaannya.
***
Seorang wanita berdiri sambil memandangi Angga dengan sinis dari balik kaca mata hitam yang dipakainya. Dia melebarkan senyumnya seolah merasa bahagia akan kedatangan sosok pria yang dia tunggu.
Angga mengerutkan keningnya. Memundurkan langkahnya ke belakang untuk menghindari wanita yang ada di depannya itu yang setiap saat membuatnya gelisah karena terus mengejarnya.
Angga menatap wanita itu dengan kesal.
"Katakan, apa yang kau inginkan? Apa kau tidak puas dengan apa yang terjadi?" tanya Angga emosi. Wanita itu terkekeh.
"Hahaha. Aku memang tidak puas. Masalah itu baru seberapa, aku masih ingin hal yang lebih," jawabnya.
Angga yang mendengar ucapan wanita tersebut menjadi semakin kesal. Dia mengembuskan napasnya berat kemudian kembali menatap wajah wanita yang sedang tersenyum di hadapannya.
"Apa yang kau mau?"
Wanita itu tersenyum kecil.
"Aku itu hanya ingin kau.."
Angga terkejut mendengar permintaannya. Dia menatap wanita itu tak percaya dan menamparnya dengan penuh amarah.
Sorot matanya terlihat merah. Sedangkan wanita itu hanya diam dan memegangi pipinya karena sakit.
"Dengar ya! Aku sudah menikah. Lain kali jaga omonganmu. Atau lebih baik kau diam saja," tegur Angga dengan emosi.
"Sayang ... Kenapa kau marah? Aku kan hanya ingin kita bersama. Oh ya, sekalipun aku tidak mengganggu mu seperti ini, kau juga akan tetap gelisah. Aku tahu itu karena ........." Wanita itu lalu menjelaskan apa yang dia alami tentang dirinya dan Angga di masalalu.
Angga yang mendengarnya menjadi terkejut dan merasa bersalah.
"Dengar sayang, aku sudah memaafkan kesalahan mu itu. Jadi ayo menikah denganku, demi anak kita ini," bujuk wanita itu sambil menunjuk seorang anak kecil yang ada di dekat mobil hitam miliknya. Dia berjalan mendekati Angga dan berusaha memeluknya, namun Angga dengan cepat menghindarinya dan menjauh.
"Tidak. Aku tidak bisa menikah denganmu, maafkan aku," tolak Angga. Dia menundukkan tatapannya karena merasa tidak nyaman.
"Tapi?"
"Aku masih cinta sama istriku, Far. Jadi tolong mengertilah, aku tak mungkin menikahimu," pungkas Angga kemudian berbalik pergi meninggalkan Farah sendirian di sana.
Farah memutar bola matanya malas. Dia merasa jengkel. Kakinya menendang sebuah botol di depannya sebagai pelampiasan kekesalannya.

Bình Luận Sách (34)

  • avatar
    Nia Fitriyani

    semakin penasaran untuk membacanya

    12d

      0
  • avatar
    WisnonoAgus

    cerita yang seru

    16d

      0
  • avatar
    RusmiyatiFransisca

    bagus

    04/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất