logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 5 ke Jakarta

Mereka sudah sampai tujuan. Sebuah rumah besar dengan pagar tinggi terbuka lebar. Dua orang satpam membukanya.
Anggasta memerintahkan Anneke turun. Gadis itu sedikit gugup untuk hal yang lebih menakutkan yang ia pikirkan sedari dalam perjalanan, bayangan akan dihabisi sesaat setelah mobil terparkir membuatnya sedikit gemetar.
*****
Memasuki rumah yang sangat luas, gadis itu sedikit berdacak kagum dalam hatinya, pada dekorasi yang cantik tertata serta interior yang terlihat mewah.
Dihiasi lampu cristal besar begitu gagah. Ruangan bercat putih gading itu sungguh memukau Anneke. Anggasta membawanya ke atas lalu menyuruhnya masuk dan beristirahat. Dia tidak mengetahui dia berada di kawasan mana.
Anggasta membuka pintu, lalu melihat Ibunya duduk sambil melihat jendela.
"Bu, aku pulang."
Wanita itu berbalik dan tersenyum.
"Anakku, ibu kangen, kamu jangan pergi lagi," lirihnya.
Anggasta memeluk ibunya sambil menghiburnya.
"Iya, aku enggak akan pergi lagi. Ibu makan dulu, akan aku ambilkan."
Anggasta turun ke bawah, dia sengaja memasak sendiri karena ibunya hanya akan makan makanan yang dimasak olehnya.
Asisten rumah tangganya, Yumi menghampiri dan ingin membantunya.
"Saya bantu, Mas Angga."
"Enggak usah, makasih, biar saya saja."
"Tapi Bibi di sini enggak ada kerjaan."
"Terserah Bibi mau ngerjain apa, asal jangan keluar dari sini buat jaga ibu saya," pinta Anggasta pada wanita berusia empat puluh tahun itu.
"Kasihan Nyonya Mita jarang makan kecuali minum air saja."
Anggasta tersenyum sambil mengiris daun bawang dan bawang Bombay.
"Bibi istirahat saja atau mau jalan ke luar juga enggak apa-apa."
Yumi pamit keluar.
Lelaki itu kemudian memotong kentang dan mengiris dadu. Lelaki itu sudah terbiasa memasak.
*****
Anneke duduk memandang jendela. Setelah sebelumnya membersihkan dirinya. Dia mulai merasa lapar. Tidak lama kemudian Anggasta datang membawa makanan. Lalu dia ke kamar Ibunya lalu menyuapinya.
Anneke melihat hidangan di depannya. Dia segera mencicipinya.
"Enak juga."
Anneke makan dengan dengan perlahan karena uap masih mengepul. Sup kentang yang terlezat yang pernah ia santap.
Anggasta kembali masuk membawa satu teko dan gelas.
"Kalau kau haus tinggal ambil saja, nanti kalau habis, Bi Yumi akan mengisinya."
Anneke mengangguk. Setelah Anggasta keluar dia mengunci kamarnya.
"Aneh sekali, di sini dia terlihat baik. Saat di sana dia kasar!"
Anneke melihat pemandangan taman dari jendela. Dia sangat kagum pada taman yang tertata rapi dan penuh bunga mawar dan matahari. Dia ingin turun ke bawah tapi ada rasa takut pada lelaki yang telah menculiknya itu.
Dia menyentuh jendela lalu membukanya perlahan.
Pintu digedor keras, lalu Anneke segera menutup jendela menuju pintu.
"Apa yang kau lakukan, jangan coba untuk kabur karena aku pasti akan menemukanmu!"
"Aku tidak kabur, aku hanya mengunci saja, memangnya kamu ada apa?"
"Aku yang akan mengunci dari luar!"
Anneke terdiam. Anggasta meraih kunci lalu mengunci dari luar.
Gadis itu kemudian membuka jendela lagi dan memandang bunga-bunga itu.
"Aneh sekali gadis itu, apa dia tidak takut lagi padaku?!"
Anggasta bergegas masuk kamar dan menghubungi Prima. Wanita itu langsung mengangkatnya.
"Ada apa, sayang?"
"Jangan sebut aku sayang, wanita hina!"
"Kenapa kau marah?"
"Sudah cukup kita tidak akan bertemu lagi, dan kau jangan hubungi aku lagi!"
"Tapi kenapa? Kau memblokir akunku juga, kenapa?"
"Sudahlah, lupakan saja tapi aku berterima kasih padamu karena telah memudahkan aku menculik putrinya."
Anggasta memutus sambungan.
Prima lagi-lagi membanting ponsel untuk kedua kalinya. Wanita itu segera ke bawah dan meminta Woko untuk membeli ponsel baru lagi.
"Aneh sekali Bu Prima itu dua kali beli hape, hehe!"
Woko tertawa sendiri saat meninggalkan rumah menuju toko ponsel.
*****
Pingkan menyantap mie instan di kosannya. Gadis itu sudah pulang bekerja. Dia membuka album foto. Kenangan keluarga utuh itu masih tergambar dari sebuah potret.
Dia, ibu dan seorang pemuda ketika berusia tiga belas tahun. Anggasta memarkirkan mobilnya di depan kosan Pingkan tapi dia tidak berani turun.
Terlihat gadis itu keluar membuang sampah di depan gerbang kosan. Jauh dilubuk hatinya, ia sangat merindukan adik kandungnya itu yang telah lari dari rumah.
Prima keluar rumah dan terus berupaya menghubungi Anggasta dengan nomor barunya. Anggasta yang dingin tidak memedulikan nomor yang masuk. Beberapa kali wanita itu terus berusaha agar bisa berbicara dengan kekasihnya itu.
Johan memanggil Woko dan menanyakan keberadaan Prima.
"Saya enggak tahu, cuma tadi saya lihat ke belakang rumah."
"Oh, ya sudah, suruh dia kemari saya mau ke kantor polisi lagi."
"Ya, Pak sebentar saya susul."
Woko memanggil majikannya itu untuk menemui suaminya di dalam. Prima yang sedang kesal lantas menuju ke dalam.
"Ya, sayang kenapa?"
"Aku mau ke kantor polisi lagi, kamu mau ikut?"
"Enggak sayang, aku lagi nunggu temanku mau ke sini kasihan sudah janjian di sini."
"Ya sudah kalau begitu, aku berangkat dulu."
Prima tersenyum lalu mencium punggung tangan suaminya.
"Ah sialan, mau apa lagi dia ke kantor polisi, jangan-jangan polisi sudah mendapat petunjuk."
Prima bergegas ke atas dan dia menghubungi lagi Anggasta. Kali ini pria itu menerimanya.
"Hallo, apa kau Prima?"
"Ya, sayang. Aku cuma mau kabari kalau barusan Johan ke kantor polisi, mungkin polisi telah mendapatkan petunjuk."
"Tenang saja, aku akan mengurusnya, mereka tidak akan bisa menemukanku."
"Aku hanya khawatir padamu, sayangku."
"Sudahlah jangan bersandiwara, kau sangat murahan. Kau pelihara banyak pria muda 'kan?"
Sambungan terputus. Prima kesal sekali karena rahasianya terbongkar.
Anggasta tersenyum sinis.
"Kau kira aku bodoh! Dasar wanita murahan!"
****
Menjelang malam, Anggasta merebahkan diri diranjangnya.
Dia kemudian tertidur pulas.
"Kau akan bertemu dengan empat wanita yang akan membuatmu hancur,hahaha!"
Anggasta terbangun lalu mengusap wajahnya sendiri.
"Ya, Allah mimpi itu lagi. Sialan!"
Dia beranjak lalu mengambil gelas kecil di meja kerjanya dan menuangkan minuman beralkohol, dia meminumnya lalu menyalakan rokok.
Cahaya lampu dua jalan dekat rumah kosong terlihat di jendelanya yang tanpa gorden.
Mimpi berulang yang selalu dia alami benar-benar membuat tidurnya kacau.
Mimpi itu datang saat dia dalam keadaan amarah. Anggasta mematikan rokoknya.
Dia meraih pisau lalu membuka pintu kamar Anneke.
Gadis itu ternyata belum juga tidur, dia tertegun lalu sadar lelaki itu membawa sebilah pisau.
"Mau apa kau?"
Anggasta perlahan mendekat, Anneke ingin mundur tetapi terhalang ranjangnya.
"Sebaiknya kau mati saja!"
"Baiklah, bunuhlah aku sekarang kalau itu membuatmu puas!"
Anggasta mengerutkan dahi.
"Kau menantangku."
"Tidak, aku mengatakan yang sesungguhnya. Bunuhlah aku."
"Sialan!"
Anggasta melemparkan pisau itu ke arah pintu.
Anneke mematung. Anggasta lalu bersujud sambil menunduk dihadapan Anneke.
Gadis itu perlahan mendekat lalu berjongkok, berusaha menenangkan pria kasar yang berniat membunuhnya beberapa saat yang lalu.
Tangannya berusaha memegang pundaknya. Anggasta tetap terdiam.
****
"Tidurlah, kau harus istirahat."
Anggasta memandang lekat tatapan gadis itu. Dia membantunya memapah ke ranjangnya.
*****
Anneke tidak tidur semalaman. Dia duduk di kursi sambil memandang jendela. Gadis itu merasa risih jika harus tidur didekat lelaki itu yang kini sudah berbaring dengan raut seperti sangat kelelahan. Pertama kalinya gadis itu menatap dengan perasaan iba pada lelaki yang menculiknya dan kerap bersikap kasar.
Anggasta tertidur dengan pulas di kamar itu.

Bình Luận Sách (91)

  • avatar
    Sahata Patio

    Good story :)

    8d

      0
  • avatar
    AchmadiBudi

    saya senang ini

    21d

      0
  • avatar
    SyuhadahSyuhada

    Wow

    13/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất