logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 6 BAGIAN LIMA

Kelas terakhir di hari kamis baru saja selesai di pukul tiga sore hari. Dosen yang mengampu mata kuliah dasar-dasar biomedik di kelas Genta sudah keluar beberapa detik yang lalu. Itu artinya mereka sudah boleh pulang ke kost-an atau rumah mereka masing-masing. Atau, mereka juga bisa melalar ke mana-mana terlebih dahulu untuk menyegarkan pikiran yang ternyata sudah kelam walau berkuliah baru terhitung dua minggu.
Genta merapikan buku-buku dan puplen, lalu memasukkan ke dalam tasnya. Satu hal yang cukup mengagetkannya adalah ternyata dia harus membawa banyak buku di tiap hari kuliahnya. Buku cetak, buku kitab keperawatan, modul perkuliahan, modul praktikum dan buku laporan praktikum. Selain itu juga dilengkapi dengan jas laboratorium. Karena ternyata untuk mahasiswa keperawatan tingkat satu semester pertama praktikumnya setiap hari. Luar biasa.
“Gen, mau ke mana?” tanya Agung saat Genta berdiri dan menyampirkan tasnya ke pundak.
Genta menoleh. “Kampus satu, mau menjenguk yang paling disayang,” ucapnya seraya mengedipkan mata.
Agung menganga, “Bukannya rapat bawaslu baru besok? Kenapa juga lo ke kampus satu sekarang?” tanyanya lagi. “Heran gue sama lo kok rajin banget ke kampus satu,” sambungnya.
“Enggak ada alasan apa-apa. Gue juga bakal terus ke kampus satu, kok!” jawab Genta. “Rasanya kalau enggak lihat kesayangan gue sehari aja tuh … hampa hidup gue,” sambungnya. “Bagaikan sayur asem tanpa micin.”
“Kesayangan yang lo maksud itu Kak Ayra?” tanya Agung, sementara Genta memberikan konfirmasi dengan mengangguk. “Dia enggak bakal mau sama lo!” serunya.
Genta mendelik, kemudian menatap malas ke arah Agung. “Memangnya lo itu Tuhan sampai lo tahu segalanya?” sinisnya. “Enggak, tuh!”
“Ya, tap- ….”
“Dah, ah!” potong Genta. “Ngobrol sama lo cuma buang-buang waktu gue,” sambungnya.
“Eh, goblok!” seru Agung lagi seraya menahan tangan Genta sebelum laki-laki itu pergi.
“Apa, bego?” sahut Genta. “Udah, lo lepasin tangan gue. Gue enggak bakal ke mana-mana.”
Agung dengan cepat melepaskan tangannya, “Laporan praktikum keperawatan dasar lo udah?” tanyanya.
Genta mengangguk, “Udah, ada di kost-an gue,” jawabnya. “Lo mau lihat?”
Agung mengangguk juga, “Iya, kalo boleh.”
“Ada di kost-an, ambil aja.” Genta merogoh kantong celananya. “Nih, kuncinya, tapi gue pinjam motor lo, ya?” pintanya seraya memberikan kunci pada Agung.
“Okay, deal!” balas Agung juga ikut menyerahkan kunci. “Tapi bensinnya jangan lupa diisi,” ingatnya.
Genta mengedipkan matanya, “Anything for you,” jawabnya, kemudian ia langsung berlari menuju parkiran kampus empat dan segera melajukan motor Agung yang dipinjamnya ke kampus satu.
***
“Ishhh,” keluh Lana yang duduk di samping Ayra di barisan kedua kelasnya. “Lama banget sih, Ay, perasaan jamnya dia sudah habis lima belas menit yang lalu deh,” imbuhnya.
Ayra menoleh karena konsentrasi menyimaknya terganggu ketika mendengarkan omelan dan dengkusan Lana berkali-kali. Ia menengok jam yang ada di pergelangan tangannya, bahkan sudah lebih dari lima belas menit waktu berlalu. Dia tersenyum dan berusaha memberikan pengertian untuk Lana.
“Sebentar lagi Bu Any pasti keluar kok, dia juga butuh istirahat, ‘kan?” tanyanya lembut dan berbisik. Tidak ingin mengganggu ketenangan kelas mereka.
“Baik, sepertinya sampai di sini dulu perkuliahan Biomolekul dan Mekanisme Reaksi Senyawa Organiknya,” ucap Bu Any.
Lana menegakkan kepalanya, “Nah, dari tadi harusnya,” desisnya.
Ayra menoleh lagi, “Psttt.”
“Jangan lupa tugasnya dibuat dan dipelajari, minggu depan akan saya tanyakan.” Bu Any merapikan buku-buku yang dibawanya. “Saya akhiri, selamat sore.” Kemudian, dirinya pergi meninggalkan ruang kelas.
“HOAAMMHHHH!!” ujar salah satu mahasiswa yang duduk di barisan belakang. Baru bangun dari tidurnya.
Beberapa ikut merentangkan tangannya, “Gila, ngantuk banget gue!” serunya.
Teman di sampingnya mengangguk, “Agree, mumet banget kepala gue dengar Bu Any jelasin soal apalah itu tadi, alkana dan turunannya. Bused, banyak banget kayak masalah hidup gue!” timpalnya.
Hampir satu kelas kompak mengangguk, “Iya, betul!” respon mereka.
“Ay,” panggil Lana. “Mau pulang barengan, enggak? Atau mau makan dulu misalkan di mana?” tanyanya.
Ayra yang sedang merapikan kuncir rambutnya menoleh. “Enggak, Lan,” tolaknya. “Saya jalan kaki saja, lebih sehat.”
“Dih,” respon Lana. “Sehat … sehat … gempor tahu!” serunya.
“Gempor kalau kamu yang berjalan, saya mah enggak!” seru Ayra kemudian menjulurkan lidahnya. “Sudah, ya, saya duluan, Lana!” pamitnya kemudian berjalan dengan tegas keluar kelas.
Jalanan yang ramai. Itulah keadaan yang saat ini terekam di mata Ayra. Jam pulang kampus memang selalu begini, jalanan kampus akan dipenuhi kendaraan bermotor, mulai dari beroda dua sampai beroda enam. Selain kendaraan, jalanan kampus juga dipenuhi dengan mahasiswa lain yang juga berjalan sama dengannya. Inilah bagian yang paling seru dari berjalan kaki, melihat wajah-wajah lelah dari orang lain.
Ayra memutuskan untuk mengambil jalan pintas yang sudah sering dia lewati. Jalan inilah yang membuat kost-kost-an dan gedung kuliahnya menjadi berdekatan dan bisa dijangkau kurang dari lima menit. Jalan yang pinggirnya ditanami dengan pohon-pohon sebagai pembatas antara jalanan dan persawahan. Ya, benar, tempat inilah yang menjadi lahan praktikum mahasiswa fakultas pertanian. Sekaligus menjadi tempat warga sekitar kampus bertani.
Namun, jika sudah sore jalanan ini menjadi sepi, petani sudah pulang dan mahasiswa tidak ada yang ingin lewat sini. Jadi, adalah hal yang paling menenangkan ketika melihat daun-daun hijau di atas pohon setelah belajar mata kuliah kimia organik yang menjelaskan apapun tadi, Ayra sudah lupa meski sudah memperhatikan dengan seksama.
Selain memiliki gedung-gedung tinggi, kampusnya juga memiliki lahan pertanian yang luas. Hal itulah yang menjadi alasan terkuat Ayra untuk merantau ke sini dan berkuliah di kampusnya. Apalagi dia diterima dengan beasiswa penuh. Sehingga, dirinya tidak perlu merepotkan keluarganya.
Ayra berhenti sebentar di salah satu pondok yang paling dekat dengan jalan yang dia lalui. Duduk sebentar sembari menikmati kesiur angin yang membelai wajahnya demi ketenangan yang selama di kampus sukar dia dapatkan. Ia ingin mengevaluasi sebentar apa-apa yang sudah dia lakukan hari ini. Ayra juga ingin berterima kasih pada dirinya yang sudah kuat hingga sejauh ini.
Ia membuka tasnya dan mengambil pena serta buku kecil yang kerap ia jadikan tempat untuk menuliskan kata-kata yang sempat terpikir di otaknya. Ayra tersenyum saat melihat sudah banyak coretan-coretan penuh makna di sana.
“Semoga cepat selesai,” gumam Ayra.
“Hai, Adreen.”
Suara itu membuat bulu kuduk Ayra berdiri. Suara yang sangat dikenalnya yang juga menjadi suara yang paling dia takuti. Pemilik suara itu pulalah yang membulatkan tekadnya untuk berkuliah jauh dari rumah. Namun, kenapa sekarang suara tersebut ada di sekitarnya?
“Adreena, saya di depanmu,” ucap suara itu lagi.
Ayra menengadahkan kepalanya dan menangkap sosok yang memiliki tinggi dua puluh sentimeter lebih darinya, berperawakan berbesar, berbahu lebar serta perut buncit. Kumis tebal dan hitam menambah kesan kejam dari laki-laki tersebut. Apalagi mata merahnya yang melotot tajam, bagai menyihir Ayra untuk menangis sekarang juga.
Ayra langsung menutup bukunya dan meletakkan di tasnya. Setelah itu, ia buru-buru berdiri dan mengambil jarak yang jauh dari laki-laki yang ada di hadapannya saat ini. Jangankan untuk berdekatan, tahu bahwa laki-laki itu masih bernapas saja adalah hal yang menyebalkan untuknya. Dia berharap semesta membawanya hilang saat ini juga.
Laki-laki itu mendekat, “Jangan takut, Adreen,” ucapnya seraya mengulurkan tangannya. “Sudah lama tidak bertukar canda, ya?” kelakarnya.
Ayra mundur beberapa langkah, “Jangan dekati saya, Jack!” desisnya. “Pergi dari sini,” ucapnya lagi.
Laki-laki yang bernama Jack tersebut tertawa nyaring, tawa yang berhasil membuat bulu kuduk Ayra berdiri. Dan yang lebih sialnya lagi adalah saat ini dia hanya seorang diri di jalan pintas ini. Pohon-pohon yang menjulang cukup untuk menutup cahaya matahari hingga membuat jalan pintas ini menjadi remang. Ayra mengutuk di dalam hatinya, harusnya tadi ia memilih untuk pergi bersama Lana saja.
Jack berdecih, “Saya dan Dian merindukan kamu. Sudah satu tahun lebih kamu kabur dari rumah dan menghilang, sudah satu tahun lebih juga kami menanti kepulangan kamu. Namun kamu sepertinya lupa dengan kampung halamanmu, ya? Lupa kau dengan orang yang melahirkanmu!” serunya keras. Ia semakin mendekat ke arah Ayra dan gadis itu semakin memundurkan langkahnya.
“Saya tidak pernah melupakan siapapun, saya hanya tahu kalau Ibu sudah memilih kamu!” seru Ayra meski bibirnya bergetar. Ia menggeleng-geleng keras saat Jack maju satu langkah lagi mendekatinya. Tidak mungkin ia akan tahan dengan bau napas Jack yang seperti wangi binatang yang sudah mati seminggu, memuakkan.
“Sudah berani kamu jadi anak kurang ajar, hah? Siapa di sini yang mengajarkan kamu seperti itu?” Jack membalas dengan tatapan yang lebih lebar untuk mengintimidasi Ayra, ia juga tetap maju untuk mendekati gadis itu. “Dunia luar terlalu memuakkan untuk kamu, Nak, pulang kata Ibumu,” pujuknya.
“Saya bilang jangan mendekat, Jack. Jangan mengganggu saya!” desis Ayra seolah tak takut, padahal hatinya sudah mencelus hingga ke perut. Persembunyiannya selama ini harus hancur dengan pertemuannya dengan Jack.
“HAHAHAHAH!” Jack semakin rertawa menggelegar. “Saya sudah lama mencari kamu, Adreen. Ke kota-kota, ke desa-desa, ke ujung Jawa, ternyata kamu bersembunyi di sini. Surat kabar yang saya baca akhirnya membuat saya tahu posisi kamu!” Ia semakin kencang berjalan maju dan mendekati Ayra.
Ayra membelalakkan matanya sebesar mungkin saat menyadari kesalahan yang membuatnya berakhir di sini, dipertemukan kembali dengan orang yang sudah lama ia hindari. Surat kabar yang Jack katakan ia duga tentang surat kabar yang memuat berita tentang prestasinya sebagai mahasiswa aktifis yang berhasil menjuarai perlombaan penulisan esai tingkat nasional liburan yang lalu. Sekarang dia bingung harus melakukan apa.
“KAMU, KALIAN ENGGAK PERLU MENCARI SAYA!” teriak Ayra. Air mata sudah mengucur jelas dari matanya. Ia memutar badan dan berusaha berlari untuk mencari keramaian.
“Adreena!” seru Jack dan dia berhasil menangkap tangan Ayra. “Jangan berlari lagi, saya sudah capek buang-buang waktu untuk mencari kamu!”
“KAMU ENGGAK PERLU MENCARI SAYA, JACK!” seru Ayra dengan tetap merontak. “Biarkan saya ke mana-mana tanpa bayang-bayang kau dan Ibu lagi,” lirihnya. “Biarkan saya bebas ….”
Jack tertawa kencang sembari merekatkan genggaman tangannya pada lengan Ayra, membiarkan gadis itu meringis kesakitan, “Mana mungkin saya yang sudah lama mencari kamu, kemudian melepaskan kamu begitu saja, hah?” tanyanya sinis.
Ayra berusaha melepaskan dirinya dengan meronta-ronta. “Lepas, Jack!” pintanya.
Jack memilih untuk menyeret Ayra yang tidak berhenti meronta. “PULANG!” sergahnya.
“ENGGAK!” Ayra menggeleng, dia sudah kehabisan tenaga. “Lepas, Jack. Biarkan saya bebas.”
***

Bình Luận Sách (16)

  • avatar
    MaulanaArfan

    bagus skli

    19d

      0
  • avatar
    gielgalih

    good

    14/06

      0
  • avatar
    ShajoCatur

    ketegasan yg harus ditunjukkan oleh ayra,biar gak dianggap murahan pada genta yg lg bucin

    10/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất