logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 4 BAGIAN TIGA

Pagi pada hari ini mungkin cukup tidak baik bagi Genta, setelah shalat subuh tadi entah kenapa matanya justru kembali terpejam. Apalagi setelah selesai acara Pengenalan Kehidupan Kampus bapaknya pulang ke kampung mereka. Jadinya, ia harus menyewa kost dan hidup mandiri. Namun, karena kebiasaan yang sudah mendarah daging, akhirnya Genta terlambat bangun di hari kedua kuliahnya. Semoga harinya yang akan berjalan tidak seburuk paginya.
“Gila ini gue, mah, bisa kena hukum kalau telat.”
Genta berjalan tergesa di koridor kampus yang cukup sepi, ada satu dan dua mahasiswa baru yang berjalan tergesa seperti dirinya, sama-sama terlambat. Ia mengetahui bahwa mereka adalah mahasiswa baru karena mereka memakai seragam yang sama dengannya, kemeja putih dengan bawahan hitam. Karena, sebagai mahasiswa baru mereka belum mendapatkan seragam keperawatan. Keringat mulai bercucuran di dahinya, membasahi bajunya. Kelasnya berada di ujung koridor yang cukup panjang ini.
“Huh!” seru Genta saat sudah tiba di kelasnya. Sangat bersyukur karena dosen mata kuliah mereka belum tiba. Ia berjalan rusuh menuju tempat duduknya.
“Gila lo!” sentak Agung. “Jantung gue udah mau copot buat mikirin alasan kalau lo telat lagi. Cukup kemarin aja gue jadi pembohong gara-gara kelakuan lo.”
Genta mendelik, “Diam lo! Gue enggak butuh cocotan lo!” serunya.
“Si setan, enggak tahu malu emang!” sungut Agung lagi. “Lo bawa buku kuliah enggak hari ini? Lo tahu mata kuliah pertama enggak?” tanyanya sebagai bentuk kepedulian antar sesama mahasiswa baru.
Genta membuka tasnya, “Bawa binder gue. Kita enggak ada disuruh bawa buku cetak atau apa, ‘kan?” tanyanya.
Agung menggeleng, “Pena lo bawa enggak?” tanyanya lagi.
“Bawa, aman.” Genta mendelik jeri karena menyadari sesuatu. “Kok lo perhatian banget sama gue? Curiga gue sama lo!” serunya.
Agung tersenyum malu-malu, “Iya, Gen, gue kayaknya naksir sama lo saat pertama kali kita ketemu,” ujarnya manja dan di akhiri dengan menggigit bibirnya.
“Sinting!” seru Genta. Ia membelalakkan matanya. “Jangan ngada-ngada, gila! Jauh-jauh lo sama gue, hih!” sambungnya. Sekarang bulu romanya sudah berdiri.
Tawa terbahak-bahak menguar dari Agung dengan semena-mena, “Eh, gue masih doyan sama perempuan, Gen! Kalau gue belok juga yang gue belokin pasti bukan lo. Najis!”
“SINTING!” seru Genta lagi.
“Siapa yang sinting?” tanya seseorang yang baru masuk ke dalam kelas dengan beberapa buku tebal di pelukannya.
Genta menatap pias pada dosen perempuan bertubuh gempal dengan kacamata bulat bertengger di hidungnya. Apalagi ditambah polesan bibirnya yang terlalu merah. Dosen tersebut menatap nyalang ke arahnya yang gelagapan. Bingung mau menjawab apa. Genta menatap Agung demi meminta sebuah pertolongan. Namun, teman yang baru saja menyeretnya ke dalam masalah itu justru berpura-pura mencatat. Padahal ia bisa melihat kalau yang dibuat laki-laki itu hanyalah coretan yang tidak jelas. Sial memang!
“Eungh …,” jawab Genta terbata. Bu Dosen hanya menaikkan sebelah alisnya demi mendapatkan jawaban. “Maaf, Bu, saya … eungh … maksud saya itu saya ingin meminjam gunting, Bu,” jelasnya buru-buru.
Bu Dosen mendelik, “Ooh, untuk apa?” tanyanya lagi.
Aduh ini Dosen kok kepo banget, deh, keluh Genta di dalam hatinya. Sekarang ia menggigit bibir demi mendapatkan jawaban yang pas. “Itu …, Bu … eungh … kakinya Agung Luka, karena saya ini teman yang baik dan mencoba menjadi calon perawat yang berdedikasi, jadi saya berusaha untuk mengobati kaki Agung, Bu,” jawabnya.
“Yang namanya Agung yang mana?” tanya Bu Dosen.
Genta menyikut Agung karena diam, “Jawab, gila! Lo enggak jawab, mampus gue,” bisiknya.
“Enggak …,” lirih Agung. “Enggak berani gue.”
“Yang namanya Agung?” ulang Bu Dosen lagi.
“Saya, Bu!” seru Agung seraya mengangkat tangannya.
“Apa benar kaki kamu luka?” tanya Bu Dosen penuh intimidasi.
Agung mengangguk ragu, “I-iya … iya, Bu,” jawabnya terbata.
Bu Dosen mengangguk, “Baik … semoga cepat sembuh,” jawabnya. Kemudian ia meletakkan buku-bukunya ke atas meja lantas kembali tegak di depan kelas untuk menatap semua mahasiswanya yang baru. “Sebelumnya saya ucapkan selamat kepada kalian karena sudah resmi bergabung menjadi mahasiswa keperawatan Universitas Husna Bakti, semoga kalian betah kuliah di jurusan ini karena jelas akan ada banyak tantangan yang akan kalian hadapi ke depannya,” petuahnya.
Semua mahasiswa kompak mengangguk dan menjawab, “Baik, Bu ….”
“Perkenalkan nama saya Trigusti Nuryani, dosen keperawatan dasar. Mahasiswa lain biasanya memanggil saya Bunda, kalau kalian mau memanggil Bunda juga, silakan. Saya sudah mengajar di sini selama sepuluh tahun, sejak jurusan keperawatan ini ada di Universitas Husna Bakti,” jelas Bunda.
Semua mahasiswa mengangguk lagi, “Baik, Bun ….”
“Ada yang ingin ditanyakan?” tanya Bunda.
“Tidak, Bun.”
Bunda mengangguk, “Baik, kalau begitu kita langsung saja masuk ke materi kuliah keperawatan dasar.” Ia mengambil buku paling tebal yang tadi dibawanya. “Ini adalah buku Dasar-dasar Keperawatan, salah satu kitab yang harus dimiliki oleh mahasiswa keperawatan. Harapannya minggu depan kalian sudah memiliki buku ini. Karena buku ini tidak hanya berguna di mata kuliah yang saya ampu, melainkan di berbagai mata kuliah lainnya,” sarannya.
“Baik, Bun.”
“Pertama-tama saya ingin menjelaskan dulu apa itu dasar keperawatan. Ada yang bisa menjawab apa itu perawatan?” tanya Bunda.
Genta dengan cepat mengangkat tangannya.
“Ya, silakan kamu,” tunjuk Bunda.
Genta mengangguk, “Perawatan adalah pelayanan esensial yang diberikan oleh perawat terhadap individu, keluarga dan masyarakat yang mempunyai masalah kesehatan,” jelasnya mantap.
Anggukkan kepala dengan senyum yang mengembang diberikan Bunda sebagai apresiasi atas jawaban Genta. “Jawaban yang sudah tepat, tetapi untuk selanjutnya kalian akan menemukan penjelasan yang lebih mendalam apa itu perawatan di dalam buku ini.”
“Lo kok bisa tahu?” tanya Agung setelah menyikut Genta.
Genta menoleh, lalu tersenyum jahil, “Gue punya otak,” angkuhnya.
“Gue juga punya!” seru Agung.
Genta menahan tawanya mati-matian, “Dan gue tahu cara untuk memungsikan otak gue,” jawabnya lagi.
“Sarap!”
“Keperawatan adalah bentuk pelayanan professional sebagai bagian integral pelayan kesehatan yang berdasarkan ilmu dan kita keperawatan yang meliputi aspek biologis, psikologis, sosial dan spiritual yang bersifat komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat yang sehat maupun yang sakit mencakup hidup manusia untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.”
Tok tok tok!
“Permisi, Bunda …,” pamit sebuah suara yang amat dikenali Genta.
“Ya, silakan masuk Ayra,” jawab Bunda yang sukses membuat mata Genta berpendar terang.
“Maaf mengganggu waktunya, Bunda.”
Bunda mengangguk tegas, “Ada apa?”
Ayra tersenyum kepada Bunda, tetapi yang terhipnotis justru Genta. “Begini, Bunda, sebentar lagi fakultas kita akan melaksanakan pemilu gubernur mahasiswa karena Kak Banu sudah akan demisioner dua bulan lagi, maka dari itu dibutuhkan tim untuk menjadi panitia pemilihannya,” paparnya. “Karena hal itulah Ayra datang ke sini sebagai salah satu perwakilan dari Komisi Pemilihan Umum Fakultas untuk merekrut beberapa mahasiswa di kampus empat menjadi bagian dari Badan Pengawas Pemilihan Umum, Bunda,” terangnya lugas.
“Gila, astaga cara ngomongnya si Ayra bikin jantung gue kembang kempis, Gung,” ungkap Genta penuh kagum.
“Lo tahu diri gila, Kak Ayra itu sentral dikabarkan dekat sama Kak Ditya. Lo sama Kak Ditya perbedaannya sejauh langit sama bumi,” jawab Agung.
“Iya, gue langitnya, Ayra bidadarinya dan si Ditya buminya,” jawabnya tegas. “Lagian, mereka berdua enggak cocok, cuma gue yang cocok sama Ayra,” tekannya. Namun, matanya sama sekali tidak beralih dari Ayra.
“Enakan lo ngaca di kaca yang segede gunia!”
“Lo bisa diam dulu enggak, sih?”
“Gue cuma mau menyadarkan lo kalo lo enggak cocok sama Kak Ayra.”
“Apalagi sama lo!” seru Genta kesal. “GUE- ….”
“Ya, silakan!” seru Ayra saat terlihat Genta mengangkat tangannya. “Silakan, ada yang ingin ditanyakan dari penjelasan saya?” tanyanya saat Genta hanya diam.
“Eungh … aduh … saya … gue … aku … astaga!” seru Genta seraya menepuk jidatnya. Kenapa dia jadi gagu begini?
“Ada masalah?” tanya Ayra sedikit mendesis. “Saya belum selesai menjelaskan, kamu sudah mengacungkan tangan. Saya kira kamu akan menanyakan sesuatu atau apa?”
“Saya mau daftar jadi Bawaslu, Ay!” jawab Genta cepat. “Eh, maksudnya saya mau daftar jadi Bawaslu, Kak!” ralatnya.
Ayra tersenyum dan berusaha menahan dirinya agar tidak mencakar Genta. “Kepada teman-teman yang ingin mendaftarkan dirinya sebagai Bawaslu, teman-teman bisa mengunduh formulirnya dari bio instagramnya KPU, mengisinya dan menyerahkannya ke sekretariat DPM Fakultas,” jelasnya.
Genta mengernyit, “Loh? Kak Ayra bukannya anggota BEM? Kenapa sekarang jadi KPU?” tanyanya bingung.
Ayra tersenyum lagi, “Di BEM saya menjadi anggota biasa bukan sebagai anggota inti, jadi saya bisa bergabung menjadi KPU dengan konsekuensi saya dinonaktifkan sebagai anggota BEM,” jelasnya.
“Artinya kalau saya jadi Bawaslu, kita jadi sering ketemu, Kak?” tanya Genta random.
Ayra menarik napasnya, “Mungkin hanya itu informasi yang bisa saya sampaikan,” putusnya tanpa memedulikan pertanyaan Genta. “Kalau ada yang ingin ditanyakan silakan hubungi kontak person yang ada di instagram KPU dan semoga saya bisa melihat teman-teman bergabung menjadi Bawaslu untuk menambah pengalaman organisasi teman-teman.”
“Sama-sama, Kak Ayra.”
“Sama-sama, Cantik,” balas Genta jahil.
***

Bình Luận Sách (16)

  • avatar
    MaulanaArfan

    bagus skli

    19d

      0
  • avatar
    gielgalih

    good

    14/06

      0
  • avatar
    ShajoCatur

    ketegasan yg harus ditunjukkan oleh ayra,biar gak dianggap murahan pada genta yg lg bucin

    10/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất