logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 6 Pertengkaran

Selesai makan, aku sengaja membuang kotak dari restoranku ke depan rumah. Sengaja ingin melihat reaksi Mama dan mbak Rani. Untunglah mereka belum pulang, jadi aku bisa menyiapkan beberapa rencana untuk membuat mereka bungkam nantinya.
Sisa lauk segera kusimpan di kamar, stok buat makan sore nanti. Sambil menunggu mereka pulang, aku mengambil ponsel dan membuka aplikasi biru. Banyak pemberitahuan masuk di aplikasi tersebut, penasaran segera membacanya.
Dahiku mengernyit, melihat sebuah postingan dengan foto masakan kuliner. Ya aku tau itu pasti postingan mbak Rani, karena tangan yang dihiasi banyak cincin itu memang tangan iparku.
'Alhamdulillah, bisa makan di restoran mewah. Apalagi makanannya serba wah, nggak seperti masakan di rumah'
Begitulah caption yang tertulis di postingannya, apa maksudnya masakan di rumah? Apa dia menyindirku, huh sudah mending dia tinggal makan tidak perlu capek-capek masak.
Selama ini aku sudah bersabar menghadapi kelakuan mereka. Kini saatnya bagiku untuk bertindak, sementara ini aku masih mengalah ingin melihat sampai kapan Mas Andre tetap bertahan dengan sifat pelitnya.
Kembali aku memperhatikan postingan mbak Rani, tiada balasan komentar dari Mas Andre. Mungkin saja dia tidak tau atau tepatnya tidak membuka aplikasi biru itu.
Saat mataku masih fokus pada foto yang tertangkap kamera mbak Rani, aku seperti merasa tak asing pada restoran itu. Bukankah itu restoran milikku, kok bisa mereka makan disitu?
Hahahaha ... tiba-tiba aku senang. Ya akhirnya duit mereka berlabuh juga di rekeningku. Bagusnya aku tidak masak terus biar mereka semakin sering makan di restoran, dengan begitu pundi-pundi uangku bertambah.
Kamu lihatlah Mas, walaupun kamu berubah pelit tapi Allah Maha Adil. Dengan caranya sendiri, Allah menuntun uang yang sudah menjadi hakku sampai kepadaku melalui pesanan Mama dan kakakmu di restoranku.
Lamunanku buyar saat terdengar suara cekikikan di luar, pasti Mama dan mbak Rina sudah pulang. Mereka terlihat senang, sebelum mereka membuka pintu pagar gegas aku keluar dan duduk di teras.
Sambil pura-pura tak tau mereka pulang, aku memainkan ponselku. Aku menajamkan pendengaran, sambil mata tetap fokus pada ponsel.
"Duh, senang ya Ma kita bisa makan di restoran. Aku baru tau ada restoran semewah itu, makanannya juga sungguh enak," seru mbak Rani.
"Iya, sayangnya kita baru tau. Kalo nggak kita pasti sering kesana," ucap Mama membalas sanjungan mbak Rani.
"Iya, kita pasti bakal kesana lagi. Apalagi Andre sering ngasih kita uang, jadi tanpa perlu nunggu Ratih masak kita bisa kenyang," katanya sambil melirikku.
"Eh, Ratih. Kasihannya, ngapain duduk di luar? Nunggu Andre ya, kamu pasti laper nggak makan dari pagi. Ckckck, makanya jadi istri jangan suka melawan suami. Sekarang rasain sendiri kan, kamu nggak dikasih Andre uang," ejek mbak Rani seraya geleng-geleng kepalanya.
"Biarkan aja dia, kita lihat sampai kapan dia bisa nahan laper!" sahut Mama menyambung.
Aku yang dikatai terus merasa tergelitik, saatnya membalas mereka. Aku menurunkan ponsel lalu menatap mereka tajam, kemudian tertawa geli.
"Dasar gila, kenapa kamu malah tertawa? Apa karena kelaparan jadi otakmu korslet!" sindir mbak Rani heran.
"Hahahaha ... Kalian pikir aku kelaparan ya! Aku bahkan udah makan kenyang, ini lihat perutku udah buncit," kataku sambil menepuk perutku.
Mama dan mbak Rani mencibir melihatku, "Halah, nggak usah bohong kamu. Bilang aja blom makan, kamu pikir kami bisa tertipu."
"Kalo nggak percaya ya sudah, aku baru aja makan pake itu. Lihat!" kataku sambil menunjuk tumpukan kotak makan dari restoran.
Mbak Rani yang penasaran mendekat ke tempat sampah, matanya terbelalak.
"Ini kan restoran tempat yang kita makan tadi, Ma!" ujar mbak Rani sambil mengambil dan mengangkat kotak nasi yang berlabel nama restoran.
Mutiara Rezeki, begitulah nama restoran yang kumiliki. Pasti mbak Rani dan Mama tidak menyangka aku bisa membeli makanan di restoran itu.
"Darimana kamu punya uang untuk beli ini?" tanya Mama kepo.
Aku cuma senyum-senyum tanpa menjawab pertanyaan Mama. "Oh, jadi tadi kalian makan di restoran Mutiara ya!"
"Maaf aku nggak tau, Ma. Kalo tau tadi aku pasti ikut gabung kalian, sayangnya aku cuma pesan online." Wajah kubuat sedih.
"Jawab Mama, dari mana kamu punya uang untuk beli makanan ini, hah?" hardik Mama.
"Ya uangku lah, jadi darimana lagi," jawabku pura-pura takut.
"Kamu udah membohongi kami, kalo tau kamu ada uang bagusnya tadi masak dong! Jadi kami nggak usah perlu keluar uang untuk makan," kata Mama sewot.
"Iya, Ma. Kita udah dibohongi, uang Andre dipake makan sendiri. Ntar kita lapor aja nanti sama Andre biar kapok!" ujar mbak Rani menimpali.
"Silahkan lapor, lagian ini pake uangku bukan uang Andre. Apa kalian tak ingat sudah berapa bulan Andre cuma ngasih jatah belanja lima puluh ribu. Jangankan sisa, bahkan kekurangan itu udah numpuk jadi hutang di warung. Jadi mana mungkin itu uang Andre," desisku meninggi.
"Nggak usah bohong kamu, pasti diam-diam kamu nggak masak karena nyimpen uang belanja kan! Dan itu sebabnya kamu jadi berhutang di warung, manalagi dua juta. Pasti uang simpananmu udah sampe jutaan," kata Mama dengan suara keras.
"Terserah Mama mau bilang apa, pokoknya ini uangku bukan uang Andre dan Andre nggak ada hak untuk menyentuh uangku. Udahlah, aku ngantuk karena kekenyangan. Sore nanti kalian pikir aja sendiri mau makan apa," ucapku sambil berlalu dan masuk ke rumah.
"Dasar mantu tak tau diri, huh nyesel aku sudah nikahi kamu dengan Andre!" teriak Mama.
"Udah Ma, nggak usah diladeni lagi. Ntar di dengar tetangga kan kita jadi malu, kita masuk ke rumah aja istirahat," bujuk Rani pada Mama.
Aku yang mengintip mereka dari balik jendela hanya menghela nafas. 'Aku pun nyesel Ma, punya suami yang selalu menuruti kata Mama. Apa kalian pikir aku nggak tau bahwa kalian yang sudah menghasut Mas Andre. Karena itu aku masih coba menunggu, semoga aja anak Mama itu berubah kalo nggak terpaksa aku tinggalkan' gumamku dalam hati.
*****
Sorenya saat aku baru siap mandi dan berganti baju di kamar terdengar teriakan Mas Andre di luar. Tanpa mengucap salam, Mas Andre langsung melabrakku di kamar.
"Ratih ... Apa yang kamu perbuat pada Mama dan mbak Rani? Dasar mantu durhaka kamu!" teriakan Mas Andre menggelar diseluruh kamar.
"Memangnya apa yang kulakukan, Mas? Aku tidak berbuat apapun pada Mama atau mbak Rani," jawabku masih santai.
"Kalo nggak berbuat apa-apa, kenapa mereka berdua nangis, hah? Apa kamu marahi mereka?" tanya Mas Andre dengan kasar.
Jadi mereka mengadu pada Mas Andre dan mengatakan yang bukan-bukan. Sungguh tidak bisa terus dibiarkan, aku menatap mata suamiku terlihat kebencian padaku disana. Apakah kamu tidak menyayangiku lagi Mas? Dimana perasaan cinta yang selalu kamu ucapkan itu.
"Jawab Ratih! Mereka bilang kamu nggak masak, hingga mereka kelaparan. Tapi malah kamu pesan makanan sendiri dan nggak mau membelikan mereka. Gitu kan hah!"
"Mas, mereka bohong! Justru mereka yang makan di restoran, mereka juga nggak mau mengajakku. Jadi, aku pesan sendiri pake uangku," jawabku jujur.
"Jadi, benar kamu pesan sendiri kan. Kamu tega buat mereka kelaparan, istri macam apa kamu. Dibiarkan malah ngelunjak, mau di hajar kamu," bentak Mas Andre mengangkat tangannya.
"Apa Mas mau menamparku? Ayo tampar kalo berani," kataku emosi sambil mendekatkan wajahku.
Mas Andre menurunkan tangannya, sepertinya tidak menyangka aku semakin berani. Ya kini aku tidak mau lagi mengalah, sekali dia menamparku aku akan pulang kerumah orang tuaku.
"Ratih, bisa nggak kamu sedikit menurut? Cuma mereka keluarga yang kumiliki, kalo nggak menyayangi mereka lantas siapa lagi," Kali ini suara Mas Andre melunak.
"Aku tau, Mas. Tapi bukan gini caranya, selama ini Mas nggak mau mendengarkan ku. Tanpa bertanya padaku, Mas memangkas uang belanja jadi lima puluh ribu seminggu. Aku jadi terpaksa hutang di warung Wak Narti, kalo Mas nggak percaya tanyakan aja sama Wak Narti," kataku sedikit terisak.
"Mama bilang tadi kamu punya uang untuk beli makanan mahal di restoran. Jadi karena itu kamu nggak masak dan menyimpan uang belanja untuk keperluanmu sendiri. Sungguh licik kamu." Mas Andre kembali emosi.
"Uang kamu Mas? Kamu nggak ingat atau perlu ku ingatkan, sejak kapan uang kamu? Uang belanja yang Mas kasih sedikitpun nggak bersisa, jadi darimana aku nyimpan?" sungutku kesal.
"Jadi, darimana kamu ada uang kalo bukan uang yang kukasih? Apa jangan-jangan kamu mencuri uang di dompetku, iya kan!"
Plak !
Aku menampar pipi Mas Andre, dia terkejut dan wajahnya merah menahan amarah.
"Jangan fitnah kamu, Mas. Apa selama ini kamu ada kehilangan uang? Tidak kan, aku bahkan nggak pernah menyentuh sedikitpun uang Mas, malah Mas royal memberi pada Mama dan mbak Rani. Sedangkan aku, sebagai istri udah nggak Mas beri nafkah lagi."
"Selama ini aku udah bersabar menerima perlakuan kalian semua, aku diam bukan berarti mengalah. Aku hanya ingin Mas berubah seperti dulu, nyatanya semakin lama Mas semakin membuat aku menderita. Mas lebih menuruti kata Mama dibanding aku, kalo begitu ceraikan aku!" ancamku.
"Apa?"

Bình Luận Sách (312)

  • avatar
    JrTrn

    mantap

    3d

      0
  • avatar
    Khairun Nisa

    aku ksih bintang 5

    6d

      0
  • avatar
    LingAnjeli

    👍👍👍

    15d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất