logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Makan di restoran

Aku terkejut, Bagas? Ada apa lelaki itu ingin bertemu? Apa dia belum bisa melupakanku, apa dia masih sendiri? Pertanyaan terus menari di kepalaku, tapi aku tetap tak menemukan jawabannya. Ah, lebih baik aku tanya ibu saja.
[Memang ada apa Bagas ingin bertemu, Bu?]
[Ibu juga nggak tau, Ratih. Bagas nggak ada bilang, katanya penting gitu]
Aku menghela nafas, ibu tidak tau. Jadi aku mesti tanya langsung pada Bagas, tapi bagaimana aku sendiri tak tau nomer HP nya. Ya sudahlah nanti saja kalo bertemu, semoga Mas Andre tidak mengetahuinya. Segera kuhapus semua pesan dari ibu agar tidak dibaca suamiku.
Pesan selanjutnya dari asistenku Nova, dia aku tugaskan mengawasi restoran. Ya diam-diam tanpa sepengetahuan Mas Andre aku membuka usaha rumah makan. Walau baru jalan beberapa bulan tapi perkembangannya cukup pesat.
Restoran ini awalnya berdiri setelah Mas Andre memangkas uang belanja. Jadi aku berpikir keras untuk mencari uang sendiri, berjaga kalo suatu saat rumah tanggaku terancam.
Menyimpan uang dalam jumlah banyak di rumah itu juga kurang bagus, bila ketahuan Mas Andre dan keluarganya bisa-bisa habis diporoti mereka.
Makanya walaupun Mas Andre berubah pelit, aku tetap bertahan karena berharap Mas Andre bisa berubah. Lagian kalo pun kami sering ribut karena aku tak masak, tapi aku tetap bisa makan.
[Nova, tolong seperti biasa kamu antar makanan kerumah saya ya!] pesan kukirim pada Nova.
[Baik, Bu. Apa saja lauk yang ibu inginkan?] balas Nova.
Aku terdiam sebentar, ah tiba-tiba tadi aku teringat Mama mertua ingin ayam goreng, pasti mereka makan di restoran tanpa mengajakku. Jadi aku ingin mereka terkejut, aku juga bisa makan, kekehku geli.
[Hari ini, aku ingin ayam goreng, sambel terasi dan gulai nangka] ketikku.
Diam-diam tanpa sepengetahuan Mas Andre juga Mama dan Mbak Rani, aku sering menghubungi Nova agar mengantarkan masakan dari restoran. Nova mengantarkan agak banyak, sebab untuk makan sore sekalian. Jadi bila malam perutku tetap kenyang, masa bodoh sama Mas Andre. Paling dia makan di luar, itupun bila pulang tak mau membelikan untukku.
[Baik, Bu. Apa mau sekarang saya antar?]
Aku mengintip rumah mertua, untuk memeriksa apakah mereka sudah pergi. Sepi, kucoba keluar pura-pura mencabut rumput. Tak lama terdengar suara tertawa mereka dari dalam, akhirnya mereka keluar.
Aku mengeriyitkan dahi melihat penampilan mereka, gaya dandan Mbak Rani cetar membahana dan tak ketinggalan Mama juga sama. Aku tertawa geli.
Melihatku sibuk mencabuti rumput, membuat Mbak Rani ingin membuatku iri. "Eh, Ratih. Kami pergi dulu ya! Jangan lupa sekalian rumput sini kamu bersihkan. Hahahaha ...."
"Ogah, bersihkan sendiri! Memang kalian mau kemana?" tanyaku pura-pura tak tau.
"Kami mau makan ke restoran, kenapa kamu mau ikut?" tanya Mama berkacak pinggang.
"Ikut, kalo kalian mau bayari makanku," kataku merengek walaupun aku tau mereka pasti tak mau mengajakku.
"Nggak usah di ajak, Ma. Nanti duit kita habis, biar aja Ratih di rumah makan batu. Bukankah gara-gara dia nggak masak, makanya kita jadi keluar uang," desis mbak Rani mencibir.
"Bener juga yang kamu bilang, biar Ratih sekali-kali merasakan nggak bisa makan. Walaupun dia nggak masak tapi kita tetap bisa makan diluar, Andre tak mungkin membiarkan kita kelaparan," sahut Mama bangga.
"Kalo tau begitu, seharusnya Mbak Rani masak dong, Bu. Mulai sekarang kalian pikirkan sendiri urusan perut, aku ogah masak sebelum Mas Andre menambah jatah uang belanja," ucapku meninggi.
"Dasar mantu tak tau di untung, udah bersyukur anakku menikahimu. Kalo nggak kamu masih di kampung jadi gembel," ujar Mama mencela kembali.
"Prok, prok, prok ... Hebat Ma, sebenarnya siapa yang nggak tau di untung disini, kalian atau aku?" kataku sambil menunjuk.
"Anak Mama memberi uang belanja lima puluh ribu, uang segitu hanya cukup beli beras empat kilo. Sedangkan tiap hari aku masak sekilo, untuk sapa lagi kalo bukan untuk makan kalian juga. Jadi sisanya bagaimana itu, lauknya aku beli di warung Wak Narti. Mama tanya sendiri berapa utang di warung? Jadi tolong utang di warung itu kalian yang lunasi atau Mas Andre, aku nggak mau tau lagi," Aku coba jelaskan biar mereka tak seenaknya lagi.
Tiba-tiba tak sengaja melintas Wak Narti, yang baru pulang belanja dari kota untuk stok warungnya. Melihatku dan mertua ribut diluar, Wak Narti berhenti lalu bertanya.
"Ada apa, Ratih kok pada ribut?"
"Wak, bilang sama Mama berapa utang kami belanja di warung Wak Narti?" seruku.
"Utang kalian udah dua juta, kapan mau bayar? Wak juga perlu uangnya!" desak Wak Narti.
Mama dan Mbak Rani kulihat mendelik, mungkin saja mereka tak menyangka. Karena selama ini aku hanya diam.
"Wak Narti minta aja sama Mama atau suamiku melunasi hutang kami, karena mereka yang paling banyak makan. Wak Narti tau sendiri kan, aku belanja banyak juga untuk makan Mama dan mbak Rani serta anak dan suaminya," ucapku seraya melirik Mama.
"Bohong itu, bisa aja Ratih beli untuk keperluan sendiri. Utang sampai dua juta terlalu boros untuk belanja lauk," timpal Mbak Rani tak percaya.
"Mbak Rani tak percaya? Wak Narti punya catatan belanja loh, di situ lengkap tertulis. bukankah begitu Wak?" tanyaku beralih ke arah Wak Narti yang mengangguk.
"Benar yang dibilang Ratih, semua hutang belanja itu cuma sekitar lauk aja nggak ada soal lain. Pokoknya dalam Minggu ini kalian mesti sudah bayar kalo nggak saya laporkan ke polisi," ancam Wak Narti menakuti.
Mama dan Mbak Rani bergetar, mereka berdua memang takut. Aku hanya tersenyum geli melihatnya, walaupun aku sendiri bisa melunasi hutang itu. Namun, hutang itu tetap tanggung jawab Mas Andre.
Wak Narti segera berlalu setelah memberi ancaman, Mama dan Mbak Rani yang semula ketakutan berubah seperti biasa malah masih tetap sombong. Hutang itu sama sekali tidak mereka pikirkan, huh terbuat dari apa hati mereka, keluhku.
"Yuk, Ma. Kita pergi aja, Rina udah laper ini!" ajak mbak Rina menarik tangan anaknya.
"Eh, kalian lunasi hutang dulu. Biar nggak numpuk lagi itu," kataku mencegah.
"Masa bodolah, itu bukan urusan kami. Kan yang belanja itu kamu, Ratih," sahut mbak Rina ngotot.
"Terserah, mulai besok aku nggak mau masak lagi kalo hutang itu blom lunas," ujarku sambil menaikkan bahu dan masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah aku mengintip mereka dan mereka tetap aja pergi. Aku segera membalas pesan Nova.
[Nova, lauknya bisa dianter sekarang ya!]
[Baik, Bu. Tunggu ya Bu! Segera siap!]
[Oke] balasku pendek.
Yes, akhirnya aku bisa makan tenang tanpa mereka. Aku tertawa cekikikan dan membayangi keterkejutan Mama dan mbak Rina nanti.

Bình Luận Sách (312)

  • avatar
    JrTrn

    mantap

    3d

      0
  • avatar
    Khairun Nisa

    aku ksih bintang 5

    6d

      0
  • avatar
    LingAnjeli

    👍👍👍

    15d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất