logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 7 Pekan Raya

Malam minggu identik dengan perayaan kebahagiaan. Di mana hampir sebagian besar anak muda memadu kasih, melepas penat setelah rutinitas belajar dan lain sebagainya ke jalanan ataupun pusat keramaian kota. Dengan penampilan terbaik yang Januari punya, lengkap membawa Julian untuk main ke sebuah taman hiburan di bilangan Jakarta Pusat, Januari pergi mengais rezeki. Hari ini pula kata Nuska ada pagelaran seni musik di jalanan besar dekat sebuah kantor penyiaran berita terkenal di Indonesia. Sebuah station televisi membuka bazar raya untuk menyambut hari jadi-nya yang ke-21 tahun.
Julian tampaknya semangat mendengar segala cerita dari Januari tentang ramainya Jakarta. Melihat banyaknya muda-mudi bergaya aduhai eloknya membuat Julian berbinar.
“Mas, aku ingin seperti mereka.” Julian menunjuk ke arah segerombolan anak usia SMP sebayanya. Anak-anak yang begitu matching dengan pakaian casual lengkap bawa-bawa papan skateboard juga sepatu roda kekinian. “Aku mau seperti mereka, Mas. Terlihat modis,” imbuh Julian dengan wajah mengharap.
“Iya, nanti Mas belikan.” Januari tersenyum manis.
Sampai di sebuah perkumpulan dekat taman bermain, Januari mulai mengudarakan kemampuannya, memancing anak-anak muda yang sedang jalan-jalan ringan menoleh. Julian sendiri, duduk di sisi lainnya sambil mengamati sang kakak menyanyi. Julian senang, ia ingin membantu menyodorkan kantong plastik ke setiap orang. Sayangnya, Januari menolak. Katanya, ia tidak butuh Julian. Julian cukup menikmati waktu santainya sebelum masuk sekolah.
Alunan syahdu yang diciptakan lentikan jemari Januari memancing beberapa anak remaja laki-laki bernyayi bahkan mereka menyediakan sawer, begitu terlihatnya. Ditambah anak-anak remaja yang perempuannya sibuk tepuk tangan sambil malu-malu kucing dinyanyikan lagu Dia milik Afgan.
Di kejauhan, Julian melihat beberapa orang tengah menyusun papan-papan kayu sambil membawa berkaleng-kaleng cat warna-warni. Julian merasa tertarik, ia menghampirinya sambil menatap ceria.
“Kak, Kak, sedang apa?” tanya Julian tampak sangat tertarik.
“Lagi mau ngelukis, Dek,” jawab salah seorang perempuan yang bergaya serba denim, dengan tatanan rambut digelung kiri-kanan.
“Mau lihat, boleh?” tanya Julian masih tampak berseri-seri.
“Boleh banget. Nama kamu siapa?” Perempuan itu mengulurkan tangannya pada Julian.
“Aku Julian, Kak.”
“Oke, oke. Kamu boleh duduk di situ, di sebelah kakak yang pegang kamera. Soalnya kita mau syuting dulu untuk tugas kampus. Nanti kalau sudah selesai, kamu boleh duduk dekat sini,” jelas perempuan itu menunjuk ke arah kursi dekat jungkat-jungkit kayu.
Mendegar ucapannya, Julian bergegas duduk di tempat tersebut yang letaknya tidak jauh dari susunan papan-papan tersebut. Julian menikmati tontonannya, perempuan itu bercakap-cakap di depan kamera sambil mengenalkan satu per satu temannya, serta menjelaskan barang-barang apa saja yang ia akan pergunakan untuk melukis di atas media papan kayu tersebut, yang diperuntukkan untuk tugas kampus.
Setengah jam berlalu sejak Julian duduk di samping sang kameramen dan pekerjaan Januari belum kunjung selesai. Laki-laki itu masih mondar-mandir di depan khalayak ramai yang asyik jalan. Melihat sang kakak tidak ada di sekitarannya, Julian agaknya bingung. Ia mencari-cari sayangnya tidak ada. Walhasil, remaja empat belas tahun itu kembali ke tempat sekawanan mahasiswa seni tersebut.
“Kamu cari apa, Dek?” tanya perempuan itu saat Julian duduk dengan tidak nyaman. “Kakak lihat, kok sampai keliling taman.”
“Anu … Kak, aku cari kakakku. Tadi Mas masih ada di situ, tapi sekarang tidak ada,” jawab Julian dengan raut wajah sedih.
“Mau aku antar ke kantor polisi penjaga, biar kamu diantar ke rumah?”
Julian menggeleng bingung, remaja itu mengangkat kedua bahunya. “Pasti kunci rumahnya dibawa Mas. Aku tunggu di sini saja, deh. Pasti Mas jemput aku.”
“Oke, deh. Aku juga masih di sini, kok. Masih mau selesaikan tugasnya. Kamu jangan ke mana-mana, ya?” kata perempuan itu sambil tersenyum ramah.
Julian menyapukan pandangannya ke segala penjuru taman. Pikirannya jadi negatif, apakah ini bagian dari rencana Januari untuk membuang adiknya? Julian semakin murung. Melihat dan mengamati gerak-gerik perempuan di depan matanya, Julian pun menghampiri.
“Kakak, nama Kakak siapa? Kakak kuliah di mana? Terus udah kelas berapa?” cicit Julian menjadi sok dekat dan sok asyik gitu demi mengabaikan pikiran negatifnya.
“Oh, iya, kita belum kenalan.” Perempuan itu menepuk jidatnya sambil cengengesan. “Nama aku Martesha, bisa dipanggil Resha. Aku kuliah di kampus seni rupa, sekarang aku tingkat satu semester dua,” terangnya.
“Aku boleh panggil Kak Resha?”
Perempuan itu menganggukkan kepalanya dengan ramah.
Sementara itu, Januari tengah mampir ke gerobak bakso pinggir jalan. Di tangannya ada sekantung plastik es teh manis juga kudapan ringan rasa cokelat yang lumer-lumer. Tak lama setelah dua pelanggan dilayani, Januari mendapat bagian untuk membungkus bakso dan mie untuk makan siang.
Januari kembali ke daerah taman tersebut yang sudah dirinya hafal betul bagaimana bentuk dan apa saja yang ada di dalamnya. Terlihat Julian sedang bercengkrama dengan seorang perempuan cantik berparas manis yang Januari taksir usianya dua puluh tahunan atau di bawahnya sedikit.
“Hai, maaf mengganggu?” sapa Januari menatap cetmat pada perempuan itu.
“Hai, hallo?” katanya—Resha bangkit.
“Mas!!” Julian berseru kegirangan saat tahu sang kakak datang. Julian sudah takut bahwa kakaknya tidak akan datang. Takut dibuang sendirian.
“Ini kakakmu, Dek?” tanya Resha menatap Julian dengan senang. Perempuan itu merasa lega pasalnya ia juga akan pulang, kalau dirinya pulang dan Julian masih sendirian, mendengar ceritanya yang baru saja tiba ke Jakarta dua hari buatnya khawatir.
“Iya, Kak. Ini Mas-nya aku.” Julian berdiri ke samping Januari.
Perempuan itu—Resha mengamati wajah tampan Januari. Kulih putih susuhya kemerah agak kecokelatan, rambut merah bata yang dimakan terik matahari, mata bening yang tajam, serta bentuk wajahnya yang maskulin. Tubuh tegap bak model Januari pun menjadi daya tarik lainnya yang membuat Resha diam untuk beberapa saat.
“Martesha, biasa disapa Resha. Mahasiswi seni rupa,” sapa Resha seraya mengulurkan tangannya pada Januari.
Senyum terangkat di kedua sudut bibir Januari. Laki-laki itu menerima ajak berjabat tangan Resha. “Januari,” balasnya.
“Anak seni musik?  Kamu kuliah semester berapa?” tanya Resha.
Januari menggelengkan kepalanya dengan ringan, senyum di bibirnya belum turun malah semakin mengembangkan adanya. “Wajah ini masih terlihat seperti anak kuliahankah?” lontar Januari tertawa kecil menggoda.
Resha agak gelagapan.
“Aku tidak kuliah. Aku hanya pengamen kecil di sekitaran sini. Dulu memang sempat kuliah, tapi bukan sebagai anak musik,” balas Januari dengan lembut.
“Aduh, maafkan aku yang tidak sopan ini.” Resha memandang segan.
“Tidak apa-apa. Senang bisa berkenalan denganmu, terima kasih telah mengajak adikku berbincang-bincang saat aku pergi,” kata Januari menatap lekat-lekat.
Resha meneguk ludahnya, ia merasakan hatinya dagdigdug saat Januari tersenyum membuat kedua bola matanya tenggelam. Resha memalingkan wajahnya sambil menggulirkan bola mata salah tingkah.
“Kembali kasih, Januari.”
“Sampai bertemu kali, kalau ada kesempatan.” Januari mengajak Julian pulang untuk istirahat.
“Jan, tunggu …,” panggil Resha kemudian setelah ia mengeruk isi tasnya. Selembaran kertas disodorkan pada Januari. “Barangkali kamu mau kuliah di tempatku, setiap tahun dibuka pendaftaran beasiswa untuk anak-anak yang minat dan bakat seni. Melihat bahasa tubuhmu dan cerita Julian tentang bakat menyanyi kurasa kamu bisa mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di kampusku. Jurusan seni musik di kampusku tidak terlalu banyak, makanya peluang sebagai salah satu peserta beasiswanya lumayan banyak.”
“Terima kasih, Sha. Akan aku simpan, siapa tahu ada rezekinya. Tapi, omong-omong, Sha, usiaku sudah mau memasuki dua puluh lima tahun, lho.” Januari terkikik lembut.
Mendengar itu, Resha menyembunyikan kemerahan di pipinya akibat malu.
“Aduh, lagi-lagi aku tidak sopan. Maafkan aku, ya?” ucap Resha menarik tangan Januari yang hendak melangkah lebih jauh.
Januari mencapai pusat kepala Resha. Perempuan itu tercengok jadinya saat jantung juga dadanya mendadak pengap, sesak dan membombardir dirinya untuk tersipu-sipu. Resha lekas melepaskan tangannya dari tangan Januari.
“Maaf, Kak.”
“Tidak apa-apa, kok. Sampai bertemu lagi, ya?” tandas Januari dengan lembutnya.

Bình Luận Sách (206)

  • avatar
    AprilliaDinda

    terimakasih

    17d

      0
  • avatar
    Jellaevandaboimau

    luar biasa

    29d

      0
  • avatar
    Afandi RahmanDani

    bukuny sangat bagus

    22/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất