logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 6 Jakarta, Rehat Sejenak

Malam terlalu dengan cepat, rutinitas Adam harus Januari colek dengan permohonannya. Namun, Adam tidak keberatan, malah ia menawarkan diri membantu lebih banyak, yaitu berbagi tempat tinggal dengannya. Januari merasa malu, Adam mampu memberikan apa yang dirinya butuhkan. Sementara Januari, kadang abai pada Adam, apalagi kalau sedang lelah menyanyi sana-sini dengan tanpa hasil yang jelas. Boro-boro menawarkan tempat, bertanya mau minum tidak, Januari tidak pernah.
Julian terkulai lemas, sepanjang perjalanan ia mabuk berat. Sudah dibalur minyak angin, tetap saja katanya ia merasa seluruh tubuhnya berat dan seperti dibanting sana-sini. Januari nyengir sendiri.
“Jadi malam ini kamu mau tidur di mana, Jan? Emang sudah dapat kontrakan yang lebih besar?” tanya Adam sembari mengemudikan mobilnya dengan lajur santai-santai saja.
“Anu … tidur di kontrakan saja. Besok baru aku akan cari kontrakan yang lebih luas untuk berdua,” jawab Januari dengan senyum simpul.
“Di rumah aku saja, aku tidak keberatan, kok. Lagi pula rumah peninggalan mendiang pamanku cukup luas, masih ada sisi kamar kosong di sana. Aku sama Rasty—anaknya paman, kadang suka kesepian. Dia, kan, sekolah. Sementara aku sibuk di mebel, jadi rumah kosong,” beber Adam menatap cemerlang.
Bukan tidak mau, Januari pikir dua kali untuk tinggal di sana. Januari malu-lah kalau harus merepotkan Adam dan saudarinya tersebut. Lebih baik ngontrak atau ngekost. Masa iya nanti Adam makan dirinya tidak. Atau sebaliknya dirinya makan tetapi tidak menawari Adam sebagai tuan rumah, sementara Januari tinggal di sana gratisan. Toh, kalau ngekost atau ngontrak ada nasi makan, tidak ada nasi puasa. Januari tidak mau membebani orang lain lagi. Sudah cukup dulu sering pinjam seperak dua perak pada Adam dan belum terbayarkan semuanya. Januari angkat tangan.
“Aku cari besok lusa saja. Sebelumnya aku berterima kasih banyak sama kamu, Dam. Sejak dulu kamu perhatian sekali sama aku. Aku sampai malu,” cetus Januari menutup wajahnya dengan senyum sendu.
“Ah, tidak masalah. Kita sama-sama anak rantauan. Jadi, sudah seharusnya saling berbagi. Aku senang, kok.”
Januari mendesah, Adam memang sosok yang luar biasa hebat di matanya. Walau sama-sama susah masih ingat berbagi. Dulu, sih, jaman ngampus usut punya usut dari anak-anak rumornya Adam adalah anak orang kaya yang menyamar jadi orang biasa. Ayahnya pengusaha pahatan kayu, ibunya punya usaha jahit batik dan saudara-saudaranya berbisnis di bidang jasa sewa mobil barang. Walaupun demikian, Adam tidak pernah mengaku, ia tetap berlagak layaknya orang bisa.
“Aku berdoa, nanti pas kamu jadi super star aku masih hidup, Jan. Aku tidak sabar rasanya ingin mendengar kabar konser darimu,” kata Adam kemudian, pernyataannya membuat Januari terkejut bukan main.
Januari meneguk ludahnya dengan cepat.
“Ah, kamu bisa saja. Tapi, aku aamiin-kan, doa baik tidak boleh ditolak,” jawab Januari dengan malu-malu kucing.
“Serius, dari jaman ngampus dulu aku senang mendengar suaramu, Jan. Suaramu asyik, tidak ada orang punya,” puji Adam sembari mengedipkan sebelah matanya.
“Aku jadi malu, Dam. Belum bisa traktir kamu. Kalau aku sudah jadi bintang, mau minta roket aku akan belikan,” ucap Januari sembari tertawa ringkih.
“Aku hanya minta satu, deh. Minta kamu tidak lupa aku saja, Jan,” balas Adam dengan lembut. Kedua laki-laki itu tertawa riang, sembari menikmati dinginnya angin malam.
Lampu-lampu di sepanjang perjalanan menemani kantuk keduanya melintasi daerah perbatasan. Mobil Adam berhenti sejenak di peristirahatan untuk melepas kantuk barang setengah atau satu jam sebelum lanjut sampai esok pagi kalau tidak macet. Januari mengamati tubuh Julian yang meringkuk bagaikan janin diselimuti jaket tebal miliknya. Anak itu tidur pulas plus mendengkur keras setelah minum obat khusus antisipasi mabuk perjalanan, selain karena sebelumnya ia juga sudah kelelahan muntah-muntah. Januari tersenyum merasakan hatinya diremas-remas kenangan perihal kedua orang tuanya. Semua kenangan masih sangat pekat dan erat dalam dadanya.
Adam berjalan membawa dua gelas teh manis panas dengan dua bungkus roti kopyor.
“Ngopi dulu sebelum tidur, selepas itu kita lanjut lagi biar besok sudah sampai Jakarta. Mudah-mudahan tidak macet,” kata Adam dengan santun.
“Iya. Terima kasih, Dam.”
***
Matahari bangun dari tidur panjangnya. Purnama kembali ke rumah, Monumen Nasional menyambut kedatangan Julian yang pelan-pelan membuka kelopak matanya sambil menguap. Kamar kecil mengelilingi dirinya yang kelelahan.
“Sudah bangun, toh? Sana cuci muka, terus sarapan. Aku mau keluar sekarang, mumpung hari ini cuacanya lagi bagus,,” ucap Januari dengan lembut.
“Mas pulangnya tidak terlalu malam, ‘kan?” tanya Julian dengan tatapan mata melas.
“Kalau lancar, aku pulangnya cepat. Habis itu kita langsung kunjungi sekolah bakal kamu belajar di sana, oke?” Januari mengedipkan matanya dengan semangat.
Julian pun mengangguk nurut saja.
Januari keluar dari kamarnya, ia menyandarkan punggungnya di balik pintu sembari menahan tangisnya. Laki-laki itu menuruni anak tangga sambil menenteng gitatnya, menahan setiap bulir-bulir air mata agar tidak jatuh menyertai kepergiannya untuk mencari nafkah untuk sang adik. Januari mengembuskan napasnya, ia berkata dalam hatinya agar lebih bersemangat. Januari berkata lebih dalam pada jiwanya, bahwa ia harus menjadi kakak yang kuat, contoh yang baik untuk Julian agar mampu lebih tegar lagi.
Januari mulai memainkan gitarnya, menyambangi warung satu ke warung satunya. Seperak dua perak mulai memenuhi kantong plastik di tangannya. Januari mulai perjalan hingga ke jalanan kota yang hiruk pikuk dengan berbagai aktivitasnya. Pintu mobil demi mobil Januari kunjungi saat lampu memerah menahan lajurnya. Begitupun dengan pintu angkutan kota. Januari tersenyum saat kantung plastik di tangannya mulai penuh uang lima ribuan, dua ribuan lengkap dengan recehnya dari cepe sampai gope. Januari memutuskan untuk naik dua sampai empat angkutan kota lagi sebelum pulang.
Penat dan letih terus berkumpul jadi satu di antara kepala dan tubuh Januari. Laki-laki itu berjalan menuju rumahnya. Tampak Trisna mendorong motornya yang kempes ban. Januari lekas menghampiri tetangganya tersebut.
“Tris, mau aku bantu?” tawar Januari yang kini menyelempangkan gitarnya ke balik punggung.
“Boleh banget, Jan.” Trisna tampak penuh kelegaan.
“Kamu dari mana, Tris? Tumben keluar bawa motor, biasanya bawa si Bujang??” tanya Januari dengan mimik menggoda teman seberang rumahnya tersebut.
“Si Bujang dijual Babeh, matanya mau diganti sama yang bagus. Ya, yang keluaran baru. Kan, si Bujang udah jadul juga. Dari aku SD, si Bujang sudah dipakai Babeh gaet Enyak,” beber Trisna sambil cekikikan.
“Oh gitu, terus kamu habis dari mana? Tidak ngantor?” canda Januari membuat Trisna tertawa canggung. Senyum cengar-cengirnya buat Januari tertawa.
“Ngantor apaan? Bengkel buluk gitu.” Trisna berucap dengan santai. “Aku tidak kerja lagi di sana, lagian aku harus kuliah, katanya. Masa iya kalah sama adikku.”
“Iyalah, selagi masih ada yang membiayai, kan, enak kuliah. Ayah sama ibu tirimu juga seperti tidak keberatan.”
Trisna mendesah lalu mendesis cuek. “Ide kuliah itu ada ibu tiriku, Jan. Katanya malu kalau anak laki-laki tidak kuliah. Padahal, sih, kesuksesan tidak diukur pakai gelar sarjana. Menurutku,” ungkap Trisna agaknya peduli tak peduli.
“Tidak apa-apa, dong. Pesan mendiang ibumu dulu juga supaya kamu lulus pendidikan, ‘kan?”
“Kan, aku sudah lulus SMA, sejak lapuk.”
Keduanya tertawa terbahak-bahak.
“Kuliah juga bangku pendidikan,” tandas Januari.
“Ya begitulah, aku mau lanjut kuliah juga karena pesan Enyak. Soalnya Enyak ingin semua anaknya jadi sarjana, minimal strata satu.”
“Semangat, Tris. Nanti kalau kamu sudah jadi sarjana mesin, kan, bisa buka bengkel sendiri, jadi masternya otomotif,” goda Januari lagi membuat Trisna malu-malu kucing. “biar bisa jadi teknisinya Valentino Rossi.”
“Ngayalmu jauh banget, Jan,” sembur Trisna masih tertawa terbahak-bahak.
Perjalanan membawa penat dan lelah seakan lepas begitu saja saat canda tawa serta tukar menukar kisah berlangsung sampai ke pelataran rumah masing-masing. Januari senang, tinggal di Jakarta yang katanya sibuk dengan dunia sendiri-sendiri ternyata tidak demikian. Ia masih bisa menemukan orang-orang yang mau berbagi kisah, membuang bersama sampai berbagi kudapan ringan barengan. Ya, walaupun hanya sebatas kulit luarnya saja, setidaknya Januari tidak merasa ditinggalkan di rumah orang.

Bình Luận Sách (206)

  • avatar
    AprilliaDinda

    terimakasih

    17d

      0
  • avatar
    Jellaevandaboimau

    luar biasa

    29d

      0
  • avatar
    Afandi RahmanDani

    bukuny sangat bagus

    22/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất