logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 4 Kicau Hari Januari

Januari merebahkan tubuhnya di halaman belakang rumah Pak RT setelah seharian mencuci sayur, memotong bawang sampai mengemasi dan mengangkut sampah ke tempat pembuangan utama komplek. Segelas kopi hitam lengkap dengan sepiring bakwan dibawa Nuska anak pengais bungsu Pak RT, kakak dari Wastu—yang usianya dua tahun lebih tua dari sang adik.
“Ngopi dulu, Bang?” ujar Nuska sambil tersenyum. Gadis manis berusia lima belas tahun itu duduk di sebelah Januari.
“Terima kasih, Nus. Diminum, ya?” sambut Januari sembari mengangkat gelas kopinya. Diseruput olehnya bibir gelas yang masih mengepulkan asap panas tersebut dengan hati-hati.
Nuska mengamati setiap gerakan tangan Januari. Bola mata mata gadis berusia lima belas tahun itu bergulir dengan sayu. Nuska berdecak, “Bang Janu tidak ikut audisi lagi? Bukannya audisi tahun ini sudah dibuka, ya?”
“Ah, tidak dulu. Tahun ini lagi sibuk cari guru vokal. Biar tahun depan pas audisi bisa lolos.” Januari menerawang langit yang temaram.
“Lho, suara Abang, kan, sudah bagus. Merdu sekali, dua tahun lalu mungkin belum mujur. Siapa tahu tahun ini mujur,” ucap Nuska dengan lembut. Senyum gadis itu tersenyum manis.
“Kalau kata Tuhan belum, ya apa boleh buat. Belajar lagi dan usaha lebih lagi tandanya,” tutur Januari dengan sendu. Sebenarnya, laki-laki itu merasa jika ia ingin pergi ikut audisi lagi. Akan tetapi, belum kuat rasanya menerima kata belum lolos.
Sekuat apa pun Januari mencoba belajar, melatih vokalnya, mengasah suara seraknya, artikulasi, latihan pernapasan sampai tidak menyentuh rokok sebatang pun, napasnya kadang tidak bisa diajak kompromi. Januari mungkin tidak tahu pasti, tapi Januari yakin suatu saat nanti ia akan jadi seorang bintang yang terkenal.
Nuska menyodorkan bakwan di piring pada Januari. “Makan dulu bakwannya, Abang dari sore belum makan, ditawari makan nasi tidak mau. Ini Nuska yang goreng, lho,” seloroh Nuska pada Januari sambil mengedipkan matanya genit.
Januari lantas menyuapkan bakwan sayur dengan potongan daging udang tersebut. Bibir Januari pun berbuah sedikit mengkilap, Nuska buru-buru berlari ke dalam rumah. Gadis itu lari tunggang langgang beberapa saat kemudian kembali lagi dengan membawa kotak tisu dan segelas besar air putih. Nuska menyodorkan dua benda di tangannya tersebut pada Januari.
“Nuska lupa, kalau penyanyi itu tidak boleh makan makanan berminyak, dan tidak boleh tidak minum air putih,” kata gadis itu memirsa wajah Januari dengan cemerlang.
Januari tersenyum lebar, manisnya tingkah dan senyum serta suara Nuska begitu menawan. Obrolan berlanjut sampai pukul setengah sembilan malam. Pak Anwar memberitahu pada Januari untuk pulang dan istirahat dahulu, dan esok kembali lagi. Namun, Januari memilih tetap tinggal katanya takut ada hal-hal tidak terduga yang harus dilakukan. Toh, Januari juga terbiasa tidak tidur sepanjang malam kalau-kalau dirinya mengais recehan sampai dini hari. Melihat Januari masih duduk di teras, Nuska yang hendaknya tidur setelah cuci muka justru kembali lagi duduk di sebelah Januari. Kini, Nuska membawa satu teko air teh hangat, sepiring bolu ketan hitam dan beberapa camilan lainnya.
Suara serangga malam membuat Januari mengelus dada. Jika dipikirkan 'ke sana' ke sebuah kejadian yang selalu membuat warasnya terguncang. Semua orang memuja suara Januari, mengatakan bahwa ia punya suara emas, wajah tampan, tubuh indah dan seksi bagaikan seorang model. Akan tetapi, di depan para juri selalu saja ada yang kurang. Banyak langkah yang Januari ambil untuk mengenali di mana letak kurangnya. Apa hanya faktor keberuntungan yang belum mau membuka matanya belaka? Atau Januari memang harus belajar lagi lebih giat? Januari tidak tahu, yang pasti ia sebetulnya tak mau berhenti di situ-situ saja.
Namun, Januari tidak mau mendebatkan hal itu, jujur saja sejak kecil kedua orang tuanya selalu memberinya pesan, rezeki dari Tuhan tidak akan pernah tertukar. Jika belum saat ini, mungkin nanti datang dengan rasa nikmati yang berlipat-lipat. Januari percaya, Tuhan sudah menyiapkan rezeki terbesarnya kelak untuk Januari. Saat ini Januari hanya perlu ikhtiar, toh kerja keras tidak akan dikhianati hasil.
“Jan, kamu tidak istirahat?” tanya Sugeng, sepupuannya Pak RT. Pria tiga puluh lima tahun itu tersenyum sambil duduk di samping Januari.
“Belum, Mas. Belum ngantuk.”
Sugeng menawarkan rokok pada Januari, sayangnya laki-laki itu hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum ramah.
“Saya tidak merokok, Mas.”
“Lho, kenapa? Banyak, kok, penyanyi yang merokok, para pengamen di jalanan mereka merokok.” Sugeng tampak meremehkan penolakan Januari.
“Bukan begitu, saya memang tidak merokok. Pernah, sih, cuma saya pikir kalau uangnya saya belikan rokok, saya tidak akan bisa kirim uang ke kampung untuk adik saya. Makanya saya tidak terbiasa dengan rasanya.”
Sugeng menepuk-nepuk kepala Januari. “Wah, kamu kerja keras banget. Semoga suatu hari nanti kamu bisa menjadi seorang penyanyi hebat seperti yang kamu cita-citakan.” Sugeng menganggukkan kepalanya santun.
“Semoga Tuhan mengabulkan doanya, Mas.” Januari tersenyum ceria.
“Oh, iya, sebelumnya kalau kamu berkenan jadi penyanyi akustik di kafe punya adik ipar Mas, boleh kamu datang. Siapa tahu bisa jadi jalan. Rezeki, kan, kadang suka tidak terduga. Di sana banyak juga para penyanyi baru, banyak juga anak produser yang nongkrong sambil cuap-cuap. Nanti Mas suruh dia lihat penampilanmu,” terang Sugeng pada Januari yang mendengarkan setiap ucapannya.
Obrolan semakin hangat saat beberapa anak laki-laki sebaya Januari yang juga ikut bantu-bantu tukang dekorasi dan katering ikut mengobrol sambil ngopi. Acara sunatan masal yang Pak RT buat disambut begitu meriah dan antusias oleh para warga sekitar. Bahkan para orang tua anak-anak yang akan dikhitan esok bersama Asrul pun ikut bahu membahu menyiapkan segala jalannya acara.
***
Januari menguap panjang, hari ini ia tidak datang ke rumah Pak RT, dikarenakan ia ada urusan mendadak pulang ke kampung. Ayahnya sakit, dan ibunya juga tidak lagi bisa membayar hutang pada para tetangga. Bus antarkota kota membawa Januari keluar dari Jakarta, memasuki kawasan Jawa Tengah. Kota Purbalingga menunggu kepulangan Januari setelah bertahun lamanya ia mengadu nasib di Metropolitan. Januari mengembuskan napasnya dengan sedih. Ia belum siap rasanya menemui kedua orang tuanya yang sudah bekerja keras membesarkan seorang Januari dan Julian. Januari belum mampu mengganti rasa lelah mereka.
Hari ini Januari pulang membawa sekitar enam juta rupiah tabungannya hasil dari mengamen, mengisi panggung ke panggung acara pernikahan, menyanyi dari warteg ke warteg, angkringan sampai ikut kompetisi kecil-kecilan seniman jalanan dari sebuah produk rokok. Sedikitnya, setidaknya Januari bisa membawa ayahnya beristirahat, bisa memberikannya makanan yang layak untuk beberapa hari. Ponsel Januari berdering, kabar duka pun berhembus ke telinganya. Ayah Januari berpulang baru saja, dan ibunya menyusul sebab serangan jantung. Januari tidak kuasa menahan air matanya. Beberapa penumpang memerhatikan wajah dan tangis Januari. Laki-laki itu perlahan tersenyum miris.
“Saya baru dapat kabar orang tua saya meninggal. Maaf kalau saya mengganggu kenyamanan para penumpang semua,” ujar Januari kemudian ia menyembunyikan kepalanya ke dalam tumpukan jaket. Januari sesegukan sambil mendengarkan suara Julian yang sama-sama tidak bisa membendung air matanya.
Januari dihantam lagi kenyataan yang mengguncang warasnya. Aku janji, Bu, Pak, aku akan membahagiakan Julian. Aku percaya Tuhan tidak semata membawa pulang kalian jika tidak ada pelangi yang datang kemudian. Aku berjanji, aku akan menyayangi Julian sebagaimana kalian menyayangi kami, ucap Januari dalam hatinya sambil terisak tangis.
Seorang penumpang wanita, sekitaran lima puluh tahunan duduk di samping Januari sambil membelai punggungnya. “Yang sabar, ya, Nak. Berdoa agar orang tuamu berada dalam naungan-Nya, diterima amal dan ibadahnya. Tabah, ya, Nak,” ucap ibu tersebut sambil ikut berkaca-kaca.
Semua orang yang ada beragam cara mereka memandang Januari. Ada yang terlihat sama-sama terluka, berkaca-kaca, ada pula yang melihatnya dengan tatapan waspada seakan-akan Januari hanyalah orang yang mencari perhatian, menipu orang dengan tangisnya, takut-takut cara baru dari tukang hipnotis dan sebagainya. Namun, satu hal yang Januari rasakan, hal itu tidak sesakit apa yang baru saja ia dengan dari mulut Julian.

Bình Luận Sách (206)

  • avatar
    AprilliaDinda

    terimakasih

    17d

      0
  • avatar
    Jellaevandaboimau

    luar biasa

    22/08

      0
  • avatar
    Afandi RahmanDani

    bukuny sangat bagus

    22/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất