logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Rutinitas Tanpa Batas

Januari membenahi pakaiannya di dalam keranjang. Kontrakan sepetak yang hanya cukup untuk dirinya tidur di atas tikar lumayan tebal, dua keranjang pakaian, satu nakas berbentuk persegi, dengan sisa sedikit tempat untuk lesehan dan tempat untuk menaruh gitar tuanya. Kamar mandi dan dapur di luar bersama-sama dengan para penghuni lainnya. Hari kemarin panas terik sangat aduhai membuat kulit pedih. Sorenya, hujan deras malah menjadi-jadi. Januari urungkan niatnya untuk tidak pergi jalan malam. Padahal di akhir pekan beberapa tempat biasanya banyak sekali anak muda yang bucin lagu-lagu cinta dan mudah baper jika dinyanyikan lagu-lagu tentang ketidakpastian.
Namun, hari ini Januari sedikit bersantai menikmati sebungkus roti ditemani segelas kopi susu sambil menikmati hujan. Rumah kontrakannya yang berada di paling atas bangunan terasa sangat dingin, jika hari terik sangat panas. Nasib mengadu keberuntungan untuk hidup di jantung kota. Banyak hal yang sebelumnya tidak disangkakan. Merantau dari desa kecil di sebuah pulau Jawa sejak lulus sekolah sudah jadi bagian dari takdirnya. Niat hati kuliah, malah berhenti di tengah jalan karena kurangnya biaya. Alhasil depak sama depak sini. Belum lagi, Januari masih punya adik yang masih sekolah. Si Julian yang kini berusia lima belas tahun dan sedang aktif-aktifnya cari jati diri. Adik yang selalu meminta banyak hal dari kakaknya yang hanya pengamen. Walaupun demikian, Januari tidak keberatan selagi ia masih mampu bekerja.
Januari mengembuskan napasnya, tampak kopi di gelas sudah diminum setengahnya. Januari melamun jauh. Mengingat ayahnya hanya buruh menggiling biji kedelai di pabrik tahu yang tidak terlalu besar-besar sekali, ya sekelas bisnis rumahan saja milik tetangga. Ibunya hanya buruh cuci pakaian, kadang kalau ada yang meminta dijahitkan pakaian juga bisa. Apa saja kata keduanya asal dapur ngepul. Hal itu mendorong Januari bekerja lebih keras. Selain menyanyi dari angkot ke angkot, kadang kala juga bantu-bantu cuci piring di warteg, jadi tukang bungkus kerupuk untuk dipasarkan di warung, jadi tukang bersih-bersih di kamar mandi tetangga kalau ada yang mandet dan sebagainya.
Ya, begitulah susahnya hidup di mata Januari. Akan tetapi, ia tetap tidak mau menyerah. Toh, jika suatu saat ia diberi kesempatan untuk menjadi bintang, Januari bisa tebus apa yang saat ini kurang. Seperti rasa lelah ibu dan ayahnya tidak perlu lagi bekerja, adiknya tinggal sekolah tanpa harus ikut bantu-bantu di ladang orang. Tidak perlu tidak makan lagi, dan sebagainya. Tidak perlu merengek-rengek untuk dapat seragam baru.
Pintu diketuk, Januari pun bangkit dari duduknya. Terlihat anak yang punya kontakan berdiri dengan wajah malas menghadapi wajah Januari.
“Nad, ada apa?” sapa Januari.
“Ada Pak Anwar. Katanya mau ngobrol. Tapi, malas ke atas. Mas ke bawah saja. Pak Anwar ada di teras sebelah lagi ngopi sama bapakku.” Nadia segera kembali menuruni anak tangga.
Hujan yang cukup deras membasahi lantai, sebelum turun Januari mengepel lantai terdahulu. Meski tidak kering sempurna, setidaknya untuk meminimalisir licin. Toh, bukan hanya dirinya yang tinggal di atas. Keluarga Mas Baro juga tinggal di atas, dan punya anak SD kalau jatuh kasihan, pikir Januari. Beberapa jenak, Januari habiskan untuk membenahi lantai dan tangga. Laki-laki itu pun kekas menemui sosok Pak Anwar yang kata Nadia ada di teras sebelah. Januari menuruni anak tangga dengan santai, ia bisa menebak jika kedatangan Pak Anwar mungkin berhubungan dengan pekerjaan. Januari melengos ke pintu belakang, pintu yang menghubungkan bangunannya dan kontrakan sebelah yang masih milik orang tua Nadia. Kontrakan bertingkat empat masing-masing lantai penuh, kecuali yang paling atas. Hanya Januari dan keluarga Mas Baro, si buruh bangunan.
Pak Anwar berdiri dari bangku dengan senyum ramah, pria paruh baya dengan tubuh tambun plus perut buncit itu menatap saksama.
“Jan, besok libur ngamen, tidak? Keluarga besar Pak RT, kan, bakal hajatan mereka butuh orang buat angkut piring kotor sama sampah dan bebenah selepas acara. Bisa, tidak?”
“Bisa, Pak.” Januari senang bukan main. Bola matanya tampak berbinar-binar dengan ceria.
“Besok subuh sudah di rumah Pak RT, ya? Tukang dekornya baru akan datang besok subuh. Nanti sekalian bantu-bantu apa yang kurang saja. Keluarganya Pak RT juga masak sendiri. Jadi bisa, tuh, kamu bantuin potong-potong sayur atau apalah. Jangan lupa besok subuh harus on time, ya?!”
“Siap, Pak Anwar. Subuh nanti saya langsung ke rumah Pak RT. Terima kasih sebelumnya.”
“Sama-sama. Kalau gitu bapak pamit, ya. Hujannya makin deres, nih.” Pak Anwar terkikik pelan sambil melengos, menertawakan hujan malah disambut geledek yang luar biasa dahsyat.
“Pak Haji, saya pamit!” teriak Pak Anwar setelah berada di depan gerbang.
"Mari, Pak!” ujar Januari kembali ke dalam rumah. Laki-laki itu lekas berbenah untuk menyambut tidur. Ia tidak ingin terlambat, sudah dapat rezeki kalau-kalau terlambat bisa dipatok ayam tetangga. Januari tersenyum lembut setiap kali kakinya menjajaki anak tangga.
***
Malam berlalu dengan hujan yang tidak kunjung mereda. Sejak pukul empat subuh hari, Januari sudah terbangun. Laki-laki itu sibuk mengepel lorong lantai empat yang banjir. Bahkan di depan peletaran rumah Pak RT, pun tak lupa dirinya dibersihkan, lantai kamar mandi juga, serta dapur dan sudut-sudut rumah yang tampak kotor. Dengan kakinya yang kokoh dan penuh semangat, Januari bergegas menyambut Wastu, anak bungsu Pak RT yang sepertinya kesusahan sekali membawa setumpuk kardus air minum.
"Wastu?" panggil Januari pada remaja laki-laki berambut brunette tersebut.
“Eh, Bang, kebetulan banget. Kalau tidak sibuk, tolong dorongin motor aku di sana. Depan warung Mpok Cindy.” Wastu menatap dengan raut merengek.
“Siap!” tutur Januari sembari memandang lincah. “Oke, kamu bawa dulu saja kardusnya ke dalam. Sisa barang belanjaannya biar Abang urus.” Januari membelai rambut Wastu dengan lembut. Remaja laki-laki itu pun lekas melengos menyambangi kediamannya yang sudah rapi dan hampir selesai didekorasi dengan sentuhan adat Betawi dan campuran adat Sunda juga adat Jawa yang kental.
Sementara itu, di sepanjang jalan Januari tak hentinya membalas senyuman dan sapaan orang-orang sambil mendorong motor dari depan warung Mpok Cindy. Januari melantunkan senandung pagi sebagai penyemangat. Lagu bertema kisah cinta sepasang kekasih dengan irama lagu tarian Salsa itu membuat kepalanya bergoyang nikmati sekali ditemani sejuk dan segarnya udara pagi, di mana masih belum banyak kendaraan yang berseliweran memburu jam kerja mereka.
Setibanya di kediaman Pak RT, Januari langsung disambut meriah. Si tampan yang satu itu selalu ditunggu-tunggu. Selain semangatnya dalam bekerja selalu tanpa pamrih, suaranya pun selalu ditunggu. Januari lekas menurunkan sayuran dari dalam keranjang motor ke dalam baskom besar berisi air.
“Rendam di situ dulu, biar tanah-tanah yang menempel luruh. Setelah itu, kamu cuci di air mengalir, ya, Jan?” titah Ibu RT dan tim katering yang semuanya adalah sanak saudara Pak RT sendiri.
“Siap, Bu!” Januari mempercepat gerakannya. Ia pun tidak menyia-nyiakan waktu yang ada.
Segelintir anak-anak sekolah dasar lalu lalang memakai seragam sekolah menghampiri Januari.
“Bang, Asrul ada kagak? Mau sekolah kagak, ya?” tanya salah satu anak.
“Ada kali dalam. Coba cek sendiri,” ujar Januari sambil menoleh pada pintu utama kediaman Pak RT. “Kenapa emang pakai tanya mau sekolah apa kagak?”
“Anak sunatan kali aje kagak sekolah.”
“Lah, disunat saja belum. Sekolah kali, Asrul mana pernah bolos. Sakit pun dia sekolah. Nah, tuh, anaknya nonggol!” ucap Januari tersenyum bungah.
"Ya udah, kalau gitu kita pergi sekarang, Bang!”
Januari tersenyum, ia ingat sekali sejak kecil cita-citanya ingin menjadi seorang bintang suara. Januari benar-benar menggilai musik, pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan adalah satu-satunya mata pelajaran yang Januari sukai semenjak duduk di bangku kelas 1 SD sampai 3 SMA. Januari masih berharap jika jalannya masih terbuka luas untuknya.
“Jan, tolong bantu Kang Kusman bawain arang untuk bakar sate, ya? Tuh, sekarang beliau lagi ada di terminal, baru datang mobil box-nya dari Bandung.” Bu RT muncul dari pintu samping rumah.
“Siap, Bu. Saya berangkat sekarang.” Januari lekas merenggangkan kaki keluar dari pelataran rumah Pak RT.

Bình Luận Sách (206)

  • avatar
    AprilliaDinda

    terimakasih

    18d

      0
  • avatar
    Jellaevandaboimau

    luar biasa

    22/08

      0
  • avatar
    Afandi RahmanDani

    bukuny sangat bagus

    22/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất