logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Beautiful Breakup

Beautiful Breakup

Jejakava


Chương 1 Sebuah Lagu

Asap jalanan metropolitan tak ayal membuat wajah yang semula rupawan dekil menghitam. Berjam-jam sosok laki-laki berjaket demin bolong-bolong dengan gaya santai tersebut mondar-mandir hanya untuk menghentikan kendaraan umum. Sayangnya, tak banyak orang ingin mendengarnya bernyanyi. Januari Ujana El-giofani—panggil saja Januari, ia adalah seorang seniman jalanan, bintang tarik suara dari satu angkot ke angkot lainnya. Bagi sebagian orang, ada banyak yang memanggilnya pengamen, tak sedikit yang mengatai pengemis modal suara, dan ada juga yang menyapa dengan sebutan penyanyi jalanan, sang pengais recehan dengan berjuta julukan. Usianya kini menginjak dua puluh empat tahun, sejak usianya genap delapan belas tahun, selepas lulus sekolah akhir, Januari sudah aktif dengan pekerjaannya di dunia tarik suara jalanan. Dan Januari selalu menikmati dunianya.
Bagi Januari, jalanan sudah kenyang menyuapinya dengan segala kudapan. Dari yang ringan sampai berat. Dari yang sedap sampai tak enak di lidah, sudah jadi santapan hariannya. Melihat itu, teringat kilas balik dua tahun lalu, pada sebuah ajang pencarian bakat. Namun, rezeki belum memihak bakat dan suara emasnya. Januari ditolak, dan terpaksa, impiannya berakhir kembali ke jalanan yang begitu hiruk pikuk. Januari bukan tak ingin kembali mengadu nasib di ajang pencaharian bakat: Namun, sejak duduk di bangku SMA kegagalan selalu datang padanya dan alhasil mengembalikannya ke tempat di mana dirinya tubuh dewasa. Januari masih mengumpulkan keberanian juga semangatnya lagi.
Hari ini, sinar matahari membakar rambut hitamnya hingga memerah kecokelatan. Peluh seukuran biji-biji jagung hiasi wajah laki-laki tersebut. Wajah berkulit dasar putih susu itu kini menggelap berbaur dengan rona merah kegerahan. Rahang tegasnya tak kendur meski dahinya berkerut. Nyaris sembilan puluh tujuh persen roman tampan masih melekat padanya meski aroma maskulin tubuhnya sudah berganti bau debu dan matahari juga masamnya keringat. Januari masih bergerak aktif dari satu angkot ke angkot lainnya, begitu sampai ia rasa sudah cukup. Namun, hari ini ia belum dapat seperak pun, sebab tak banyak orang memakai kendaraan roda empat khas kendaraan kota tersebut.
Bibir tipis kemerahan Januari bersiul ringan. Laki-laki itu memetik senar gitar tuanya yang sudah sangat tua, tampak dipenuhi stiker usang. Januari berkicau, “Selamat siang para penumpang sekalian, mohon maaf saya di sini tidak untuk mengganggu hanya untuk menghibur diri dan mengais rezeki.” Januari pun duduk di pintu dengan gitar dipeluknya.
Senar gitar mengiringi suara Januari yang serak, nge-bass, agak bulat dengan sentuhan lembut tetapi penuh power. Januari menikmati setiap lirik yang disenandungkannya. Beberapa penumpang pun ada yang memalingkan wajah ada juga yang terkesima. Kendati begitu, Januari tetap menyanyi hingga akhir lagu selesai.
“Terima kasih, semoga hari terik ini bisa membawa angin segar di kemudian hari. Selamat sampai tujuan dan sampai bertemu kembali,” tandas Januari sembari menyodorkan topi yang dikenakannya pada para penumpang. Walau hasilnya hanya segelintir orang yang memberinya receh, setidaknya Januari bisa pulang dengan perut kenyang, nanti.
Berpasang-pasangan mata bergulir padanya. Kesegaran yang menyapu pengap dalam mobil berjubal tersebut luruh, meski beberapa saat kemudian lajurnya terhenti sebab “kiri” berkali-kali terlontar dari para penumpang yang ada, dan sisakan segerombol siswi sekolah menengah akhir. Januari belum kunjung turun, ia berniat turun di depan sebuah pasar burung dekat pesisian kota. Toh, sang sopir juga tidak keberatan. Bahkan, pria tua beruban itu malah menyuruh dirinya untuk menyanyi sepanjang jalan. Januari pun memainkan gitarnya lagi. Tangan laki-laki itu dengan setia memetik senar-senar pada tubuh gitar tuanya. Badannya yang ditekuk tepat di pintu kendaraan membuatnya kadang kala meringis dalam nyanyiannya.
“Request dong!” celetuk salah seorang siswi berseragam putih abu di pojok mobil bersama beberapa kawannya setelah saling cicit satu sama lain.
“Berani bayar berapa?” Januari menimpali dengan candaan serupa.
“Goceng, kapan lagi nyanyi dapet goceng dari seorang.” Siswi itu menunjuk ke arah siswi lainnya yang memakai seragam sebanyak empat orang.
“Lagu apa?” Januari memasang wajah serius. Lagi pula hanya ada kawanan anak SMA saja dan si sopir juga tidak keberatan jika dirinya masih harus menyanyi dalam kendaraan roda empatnya. Itung-itung latihan menyanyi di depan para judges juga.
“Lagu para kaum hawa yang kayak kita.”
Tak pakai lama, jemarinya sontak menari pada setiap fretboard, petikan ujung kukunya selaras dengan angin yang bertiup pada jendela yang terbuka. Bibirnya mengaba-abai, tiba-tiba saja ia terkikik geli. “Nggak ah, ketebak pasti gini alurnya, 'cantik? Apa!?' kan?” seloroh Januari pada anak-anak berseragam tersebut.
“Yah, nggak seru nih.”
Januari menggulirkan bola matanya bersamaan jemarinya yang masih menari di atas fretboard. Bibir Januari berucap, “Jangan tutup senyummu, jangan sembunyikan parasmu, Kasih. Sungguh kau menawan setiap langkah dan cintaku-u-u-u... yang ....”
“Sempurna untukmu!” seru Januari membuat para siswi tersebut kegirangan.
Teriakan histeris menggema ketika alunan gitar tua milik Januari bersenandung bersamaan suara maskulin laki-laki itu. Tarikan napasnya yang jernih, artikulasinya yang jelas, dan sentuhan desah-desah suara bass-nya ampuh buat suasana di dalam angkot semarak. Apalagi lirik lagu tersebut begitu menggetarkan dada. Di beberapa nada akhir pun suara bass Januari yang kental di telinga para gadis itu, buat mereka pun heboh mengarahkan lensa kameranya pada Januari sambil menggigil, menggigiti bibir masing-masing. Bagaimana tidak, wajah Januari begitu sempurna berbentuk oval dengan rahang tegas, dagunya bulat agak belah, hidungnya super mancung cuping kecil, bola matanya belo dengan iris berwarna pekat, rambutnya kecokelatan akibat matahari, ditata dengan gaya messy hair. Tubuh lenjang, tinggi bak model, berbahu lebar dengan dada bidang. Makin top markotop penampilannya, walau sedikit agak dekil karena sudah seharian mondar-mandir.
Januari mengetuk-ngetuk badan mobil tersebut. Lantas kakinya mendarat di aspal. “Nggak usah bayar, gratis. Sebarkan, ya videonya? Sebelum nanti susah dapat video live super star ini!” tandas Januari sembari mengangkat dagu juga dadanya yang cukup membusung untuk dibanggakan. Sebuah flying kiss pun ia berikan pada gerombolan siswi tersebut.
Telinga Januari masih sempat menangkap jeritan histeris anak-anak tersebut saat lampu hijau sudah memerah. Senyum hangat melengkung di wajah laki-laki itu sebelum langkahnya segera bergegas mencegat lajur mobil lainnya untuk satu sampai dua recehan, dan hal lainnya yang jadi rutinitas sosok pengamen jalanan seperti seorang Januari, singgah ke satu warteg ke warteg lainnya.
Siang semakin terik panasnya membakar seluruh lemak yang bersembunyi di balik wajah kumal Januari. Sebuah gerobak es kelapa muda laki-laki itu sambangi. Duduk Januari di sebuah bangku plastik berwarna merah sambil meletakkan gitarnya di bangku yang lain. Januari menghitung sejumlah receh yang dirinya kumpulkan di dalam topi, juga uang lainnya yang ia kantongi dalam dompet kulit yang sudah lapuk. Januari tersenyum pada sang penjual es kepala.
“Dua gelas komplit jeruk kelapa, Bang!” ujar Januari mengangkat alis matanya dengan ceria.
“Tumben, biasanya cuma beli air kelapa doang?” sahut si penjual sembari menatap wajah Januari yang begitu ceria walaupun dekil tiada tara dibanding hari-hari sebelumnya.
“Ya, namanya dapat rezeki, kan, ingin sekali-kali memanjakan diri. Hitung-hitung berbagi sama Abang juga, ‘kan?” Januari semakin mengembangkan senyum cerianya.
“Emang dapat cuan berapa banyak hasil mangkal satu angkot ke angkot lainnya?” Si penjual menyodorkan segelas es jeruk kelapa pada Januari, dan satu lainnya diletakkan di bangku plastik sebelah gitar.
“Puji syukur banget hari ini dapat cuan lumayan banyak. Lebih banyak dari kemarin.” Januari lekas menyeruput ujung sedotannya. “Hari terik, sih, orang-orang banyak yang gabut dihibur pakai lagu sebait dua bait jadi suka.”
Si penjual es kelapa mengambil gitar Januari, dipangkunya gitar tersebut kemudian ia mainkan dengan asal. “Itu, sih, karena pembawaan kamu yang enak plus muka idol kamu yang oke, jadi orang-orang suka,” cibirnya.
“Ya, bisa dibilang gitu juga, kali. Tapi, kalau lagi hujan, kan, angkot sepi. Secara orang-orang milih naik kendaraan naik di depan rumah turun di depan rumah tanpa ribet. Hari panas orang malas apalagi macet.” Januari balas mencibirnya.
“Semoga hari-hari besok kamu mujur selalu.”
“Aamiin. Minum dulu, Bang! Hari ini saya yang traktir.” Januari menikmati minumannya sambil ditemani nyanyian khas padatnya metropolitan, dari suara si bebek tua hingga si pendekar Negeri Sakura.

Bình Luận Sách (206)

  • avatar
    AprilliaDinda

    terimakasih

    18d

      0
  • avatar
    Jellaevandaboimau

    luar biasa

    22/08

      0
  • avatar
    Afandi RahmanDani

    bukuny sangat bagus

    22/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất