logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 4 Masa-masa yang Manis

#POV Yania
Entah kenapa perasaanku tak enak saat Bang Indra bilang kalau dia ada pekerjaan baru di Tangerang. Melihat sekilas potongan chat tadi sudah membuat aku makin bertambah curiga, setelah handphone lain dan kertas bukti pembelian ema yang kutemukan.
Biasanya dia juga akan lebih lama di rumah setelah menginap di tempat proyeknya. Minimal satu sampai dua jam dia akan menghabiskan waktu denganku dan anak-anak dulu baru pergi lagi. Kali ini, tidak!
"Kamu yakin enggak ada yang kamu sembunyiin dariku 'kan, Bang?" Aku mendongak menatap wajah pria yang berdiri di depanku. Tinggi badanku hanya mentok di dagunya saja.
Bang Indra tersenyum lagi. Entah ... aku merasa hawa dan rasa senyumnya jauh berbeda dari yang selama ini kunikmati. Tatapan matanya juga tak sama lagi bagiku. Apa benar ini hanya buah dari kelelahanku saja? Ini hanya perasaanku saja?
"Kamu harus percaya sama aku kalo aku ini enggak merahasiakan apapun darimu!" Bang Indra memegang ujung daguku dengan dua jarinya.
Sontak air mataku jatuh menyusuri lobang telingaku. Kutatap lekat sepasang netra yang tertuju padaku. Benar berbeda! Aku tak salah menilai.
"Aku berangkat, ya, Sayang. Kasian orangnya nungguin aku." Dia mengecup dahiku lagi.
Tak kujawab apa-apa selain dengan anggukan kecil. Bang Indra pun berlalu. Setelah kepergian Bang Indra, aku pun langsung menyiapkan sarapan untuk anak-anakku yang sudah merengek lapar.
***
Pukul satu siang, urusan Daring sudah beres, Satria dan Bian juga sudah tertidur. Syafa bermain dengan Abi di teras depan. Aku masih merenungi tentang kejadian pagi ini.
Pikiranku jauh meraba-raba tentang bagaimana kalau Bang Indra benar-benar selingkuh. Ya Allah, aku tak akan sanggup kalau memang iya. Cepat-cepat kutepis khayalan buruk itu dari kepalaku. Foto pernikahan kami yang tergantung di dinding mengingatkanku pada masa lalu.
(Flashback On)
Namaku Yania Nurmala, usiaku 25 tahun. Aku bekerja di sebuah pabrik pembuatan sepatu di kota tempatku tinggal sebagai supervisor.
Aku anak pertama dari dua bersaudara. Adikku, lelaki masih sekolah di bangku SMP. Aku tak lagi memiliki ayah, beliau meninggal sejak adikku masih bayi. Ibuku hanya seorang penjual seblak. Dia membuka warung kecil di depan rumah kami.
Dari hasil penjualan seblak itulah Ibu menghidupiku dan adikku juga menyekolahkanku sampai kuliah. Saat ini, akulah yang bergantian menanggung biaya pendidikan adikku, sebagai balasan kecil untuk jerih payah Ibu yang sudah menyekolahkanku.
Langit sore tampak begitu gelap, awan-awan putih habis digulung oleh awan hitam yang bergerak cepat. Matahari pun juga terbenam di dalam tumpukkan awan hitam di langit sana. Angin mulai bertiup kencang, dedaunan kering yang tak lagi kuat mencengkeram ranting, terempas jatuh ke atas tanah setelah terombang-ambing lama di udara.
Aku membuka bagasi motorku untuk mengeluarkan jas hujan yang selalu kubawa-bawa ke mana pun aku pergi. Hanya sebagai persiapan jika tiba-tiba hujan turun ketika aku di dalam perjalanan. Sebelum kusimpan tasku ke dalam bagasi, aku memeriksa ponsel. Ada pesan dari Ibu.
[Kak, Ibu jatuh terpeleset di kamar mandi.]
Itu adikku, Rifat yang mengirimkan pesan menggunakan ponsel Ibu. Cepat-cepat aku mengirimkan pesan balasan bahwa aku akan segera pulang. Kemudian, aku menyalakan mesin motorku dan meninggalkan pabrik tempatku bekerja
Sepanjang jalan, perasaanku terus diliputi rasa gelisah. Aku takut Ibu kenapa-kenapa. Adikku masih sangat membutuhkan Ibu dan aku masih belum membahagiakannya.
Titik-titik air langit mulai menyentuh wajahku. Terpaan angin kencang membuat debu jalanan naik ke atas dan menghalangi pandangan. Aku kehilangan kendali atas motorku. Motorku oleng dan jatuh terjerembab di tepian jalan karena menabrak trotoar. Kakiku tertimpa badan motor. Jalanan sangat sepi, tak akan ada yang membantu menyingkirkan benda berat ini.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti agak jauh dari tempatku terjatuh. Aku tak bisa melihat wajahnya yang tersembunyi di balik payung hitam itu. Hingga dia berjongkok tepat di hadapanku dan membantu menyingkirkan motor itu dari kakiku dengan satu tangan. Sebagian bajunya basah. Barulah aku bisa melihat wajahnya yang tersiram air hujan ketika dia memandangku.
“Kamu enggak apa-apa?” tanya lelaki itu padaku.
“Enggak apa-apa, cuma sedikit lecet dan keseleo aja. Makasih, ya,” kataku sambil mencoba untuk bangkit, tetapi tak bisa. Kakiku rasanya sakit sekali.
Lelaki itu membantuku berdiri. “Biar aku anter ke rumah sakit, ya?” Dia menawarkanku dengan wajah yang khawatir.
“Enggak usah, Bang. Aku harus pulang, ibuku sakit.” Aku merasa kakiku sangat nyeri sebenarnya, tetapi pikiranku tak tenang. Aku berjalan pincang mendekati motorku dan mencoba untuk menyalakannya, tetapi gagal.
“Di sebelah sana ada bengkel, biar motornya di sana dan kamu aku anter ke rumah untuk melihat ibumu.” Setelah kupikir-pikir, aku pun menerima tawarannya juga.
Jika menunggu motorku diperbaiki tentulah akan memakan waktu yang lama, sementara ibuku sudah sangat membutuhkanku. Lelaki itu membawaku ke dalam mobilnya dan dia memintaku menunggu karena akan mengantar motorku ke bengkel terlebih dahulu.
Menit ke lima, lelaki itu masuk, bajunya basah kuyup. Aku jadi merasa tak enak hati, baru saja bertemu dengannya dan aku sudah merepotkan. Dia memutar anak kunci dan perlahan mobil ini bergerak meninggalkan lokasi tempatku terjatuh.
“Terima kasih … dan maaf karena aku jadi merepotkan Abang,” kataku tulus.
Lelaki itu tersenyum. “Ah, enggak apa-apa. Kebetulan aku lagi lewat dan ngelihat ada yang kena musibah. Jadi, ya, harus bantuin, dong.”
Aku mengangguk, membenarkan perkataannya. Pria ini sangat baik dan sopan, menurutku. Dia juga tak banyak omong, mungkin saja karena kami baru bertemu dan belum berkenalan.
Curah hujan makin besar, tiupan angin juga tak kalah kencang, begitu pula debaran jantungku saat memikirkan keadaan Ibu.
Kami hampir tiba di persimpangan jalan. “Ini belok mana?” tanyanya.
“Kanan,” jawabku cepat. “Nanti di gang ketiga berhenti di depan aja, Bang.” Aku mengarahkan dengan gerakan tangan.
“Loh, kenapa?” Dia bertanya keheranan, sekilas kulihat air mukanya tadi ketika dia menoleh ke arahku.
”Soalnya mobil enggak bisa masuk ke sana … sempit.” Aku melipat bibir.
‘Ooh,” katanya seraya mengangguk. Itu saja, tak ada lagi percakapan.
Kami tiba di gang depan rumahku. Aku segera turun setelah kuucapkan banyak-banyak terima kasih. Aku tak menunggui mobil pria itu hingga pergi, karena pikiranku sudah sangat kacau memikirkan Ibu.
Setibanya di depan rumah, aku langsung mengetuk pintu yang tertutup. Adikku muncul, air mukanya sangat panik.
“Ah, syukurlah Kakak udah pulang …,” ucap Rifat agak lega.
“Gimana Ibu, Dek?” tanyaku memotong kalimatnya. Aku menerobos masuk ke ruangan lain mencari Ibu.
“Di kamar, Kak,” kata adikku cepat.
Kulihat Ibu terbaring sambil memejam. Sekujur tubuhnya mulai dingin.
“Ibu pingsan, Kak.”
Ya Allah, pasti tadi adikku kebingungan. Aku memintanya untuk memakaikan Ibu kerudung. Aku baru teringat bahwa tasku berada di bagasi motor.
“Kakak cari taksi atau angkot dulu, Dek.” Aku langsung berlari keluar.
Di depan gang aku mencoba menghentikan angkot, tetapi tak bisa mengantar ke rumah sakit karena penuh. Taksi juga tak ada yang berhenti.
“Kenapa?” Aku dibuat kaget oleh lelaki yang tadi menolongku. Dia muncul tiba-tiba saja. “Kamu kelihatannya panik banget.” Padahal bajunya sudah basah, tetapi dia masih memakai payung.
“I-i-iya,” kataku terbata-bata sambil menunjuk ke arah dalam gang. “Ibuku pingsan.”
“Ya udah, biar aku bantu.” Dia menawarkan lagi.
Aku pun tak berpikir panjang untuk menimbang-nimbang. Segera aku berlari ke arah rumah dan pria yang belum kuketahui namanya itu mengikutiku dari belakang. Setibanya di rumah dia langsung menggendong Ibu dan kami mengikutinya dari belakang.
Aku dan adikku ikut masuk ke mobil dengan kondisi yang basah kuyup, Ibu pun sama. Payung yang kupegangi tadi tak mampu melindungi Ibu dari guyuran hujan, sebab langkah pria ini terlalu panjang.
Pria itu langsung menyalakan mesin mobilnya meninggalkan daerah tempat tinggalku menembus jalanan yang sedikit tergenang air. Gemetar karena kedinginan dan ketakutan akan keadaan ibuku berbaur jadi satu.
“Sabar, ya, Bu! Bertahan sebentar!” pintaku sambil menangis. Pikiranku kacau sekali.
Mobil yang mengantarkan kami tiba di rumah sakit setelah menghabiskan waktu 15 menit. Ibu langsung dibaringkan di atas brankar dan didorong ke UGD. Aku merangkul adikku, kulihat pria itu mengusap kedua telapak tangannya., sepertinya mencari kehangatan. Kudekati pria itu dan kuminta adikku untuk duduk di kursi tunggu.
“Terima kasih sekali lagi, Bang,” kataku dengan suara yang gemetar.
“Iya, sama-sama,” jawabnya seraya tersenyum.
“Ngomong-ngomong, kita belum kenalan, Bang,” kataku sedikit malu.
“Oh, iya,” balasnya seraya mengulurkan tangan. “Indrawan,” tambahnya.
Kutangkupkan tanganku sejajar dengan dada, dia tersenyum dan menarik tangannya.
“Aku Yania, Bang. Terima kasih udah membantuku ... banyak banget hari ini.”
“Iya, sama-sama, Yan. Aku cari minuman anget dulu ke kantin. Apa kamu mau nitip sesuatu?” tanyanya.

Bình Luận Sách (264)

  • avatar
    PlayerRugbyy

    penceritaan yang sangat menarik

    7h

      0
  • avatar
    Abdul Rizal

    lanjut dong ceritanya

    5d

      0
  • avatar
    Bayu Erlangga

    mantapp

    16d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất