logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Another Dimension

Another Dimension

Ditarina


Dimensi 1 : Terlempar Begitu Saja

Halo kalian semua...!
Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga tidak bosan bertemu denganku ya, Artemis La Yori. Eh, kopi hitam ini keburu dingin. Aku minum dulu ya!
"Srruuup!"
"Aaah...!"
Aku sudah berapa lama menghilang di dimensi aneh itu? Kulihat anakku Atla dan Eleanor tengah bermain bersama Madeline di halaman rumah Nenek Mereditha dan Kakek Zayn ini. Padahal sewaktu ku tinggalkan mereka masih kecil semua.
"Ayaaaah! Ayo, ikutan main bersama kita!"
"Ayah masih mau duduk disini dulu, nak!"
Eh, kalian jangan bosan denganku ya! Aku janji, ceritaku hanya sampai disini saja. Tapi, siapa yang bisa menolak pesonaku ini. Aku kan tampan dan mena....
"Plaaaaaak!"
"Aduuuh! Kenapa aku ditampar, sayang?"
"Kau berkata apa tadi pada yang lainnya? Tampan dan...."
"Dan menakutkan! Iya, aku terlalu seram kalau dilihat sangat dekat. Ahahaha...."
Semenjak menikah denganku, Serenada memang sangat protektif sekali. Saat ada perempuan lain yang melihatku dia akan menatap padaku dengan penuh curiga. Haah...padahal aku tidak akan tertarik dengan perempuan lainnya. Hanya Serenada seorang yang cantik dimataku.
"Aku mengawasimu, suamiku!"
Serenada memberi kode dua jari nya berbentuk huruf "V" yang semula diarahkan ke matanya, baru ke mataku sambil berjalan menjauhi diriku. Pantas saja Dova tidak menikah karena tak mau mengalami hal yang sama denganku.
"Wah, kau sudah menghabiskan kopinya setengah gelas. Mau ditambah lagi, Artemis?"
"Eh, tidak usah! Nanti saja kalau sudah habis, nek."
"Oh, baiklah! Bagaimana dengan pekerjaanmu sebagai Arkeolog?"
"Nyonya Rira atasanku itu sedang mencoba melobi kembali. Semoga saja masih bisa diterima, karena sudah ada tim Arkeolog yang baru."
"Berarti aku tidak mengganggumu kan, Artemis?"
"Tidak, tenang saja...ah!"
Notifikasi email dari Nyonya Rira masuk. Aku minta ijin sebentar pada Nenek Mereditha untuk membuka isi emailnya. Sedikit bernapas lega, ternyata kepala museum masih membutuhkan kami. Tim yang baru berisi anak muda baru lulus dari universitas. Mereka masih kesulitan mengidentifikasikan benda purbakala yang ditemukan.
"Kenapa kau senyum sendiri seperti itu, Artemis."
"Ah, tidak! Kepala Museum ternyata masih membutuhkan kami. Kabar dari atasanku tadi, bulan depan kami sudah bekerja kembali."
"Terlalu lama! Memangnya ada apa sampai harus menunggu selama itu?"
"Banyak urusan, nek! Tidak semudah yang mungkin nenek bayangkan. Ah, aku tak terlalu paham tentang sistem birokrasinya. Aku hanya tahu bekerja di lapangannya saja."
Nenek Mereditha hanya tersenyum padaku. Terkadang masih aneh melihat rambut beliau yang seperti papan catur. Belang hitam dan putih uban. Atla tiba-tiba berlari padaku sambil membawa gadget bernama Quortex milik Madeline.
"Wow! Ayah keren loh! Aku baru tahu cerita perjalanan ayah ada di internet."
"Eh, mana? Eeh...kenapa ada disini? Tapi, ini benar tulisanku semua."
Kuperhatikan gaya bahasa pada novel online yang ditunjukkan oleh Atla padaku. Saat kulihat judulnya, disana bertuliskan "Another Side of EARTH". Siapa yang menuliskan kisahku disana?
"Nenek ini...."
"Aku di masa lalu tak sengaja menemukan catatan hidup milikmu, Artemis. Perjalananmu kemari hingga akhirnya menikah dan menetap di Nuuswantaara ini."
"Jadi, catatan yang aku buang melalui lubang dimensi itu...."
"Menimpa kepalaku sewaktu masih muda. Untung saja tidak benjol saat itu."
"Itu kan hanya gulungan kertas, nek. Ah, tapi jangan bilang kalau...NENEK BACA YANG BAGIAN ITU!"
Hanya anggukan yang diberikan oleh Nenek Mereditha padaku. Astaga, aku menyesal sekali menulis bagian itu. Apa jadinya kalau dibuat novel semacam itu? Semoga Atla tidak membaca bagian saat aku dan Serenada sedang....
"Aku juga punya etika saat menuliskan kisahmu itu, Artemis. Lagipula disana juga tidak memperbolehkan menulis sesuatu yang tak senonoh."
"Jadi, tidak ada ya?"
"TIDAK! Lagipula kau juga aneh, untuk apa menuliskan semacam itu pada kertas yang kau buang melalui lubang dimensi."
Aku hanya nyengir sambil mengusap bagian belakang kepalaku. Rasanya malu sekali berhadapan dengan nenek satu ini. Eh, itu berarti kisah ini akan ditulis juga oleh beliau.
"Ya, lalu aku kirimkan ke masa lalu. Ada masalah?"
"Ee...tidak nenek! Lanjutkan saja!"
Ehem! Baiklah kita mulai saja ya, bagaimana aku bisa berada di dimensi lain? Ini semua berawal setelah aku dan anggota tim Arkeolog lainnya tersedot melalui pusaran aneh.
***
"Aaaaaaargh!"
Aduh, eh tapi kok tidak terasa sakit ya! Pendaratanku sempurna disini, tapi sepertinya ada sesuatu dibawahku. Terasa sedikit lebih empuk.
"Hei, menyingkirlah cepat! Kau pikir aku ini bantal?"
"Eh, Ahmed! Maafkan aku, tidak tahu kalau kau ada dibawah."
"Tempat apa ini? Bukannya tadi masih siang hari, kenapa disini sudah gelap?"
"Bukan, ini bukan dunia kita!"
Ahmed, Arya dan aku menengok ke arah Nyonya Rira. Wajah beliau serius sekali! Bulir keringat menetes melewati keningku. Arya mulai berteriak panik.
"Ki-kita ada di alam lain, nyonya? Astaga! Aku tidak mau mati duluuuu...! Aku masih lajaaaang!"
"Hei, aku juga! Tapi tidak lebay seperti dirimu."
"Uuh...tapi kau kan dari segi wajah masih masuk sebagai kriteria laki-laki tampan, Ahmed! Perempuan mana yang tak tertarik denganmu?"
Arya mendekati Ahmed sambil membentuk jari-jemarinya seperti persegi. Mengarahkannya maju mundur bak lensa kamera. Kulihat Ahmed nampak jijik dengan kelakuan Arya.
Nyonya Rira berjalan menyusuri robot serta peralatan canggih yang ikut terlempar kemari. Beliau mencoba menekan tombol powernya, namun tak ada yang bisa menyala. Kulihat jam tangan pintar milikku yang ternyata ikut mati.
"Semua peralatan dan robot disini tak ada yang berfungsi."
"Jam tangan pintar milikku juga sama, nyonya! Kita tak bisa berkomunikasi dengan siapapun."
Sementara aku dan Nyonya Rira sedang pusing memikirkan solusinya, dua laki-laki tak jelas itu malah saling berlarian. Aku kesal, tapi tak mungkin mau marah. Khawatir jika kekuatan EARTHSEED ini bangkit dan mereka semua tahu. Sejujurnya aku sengaja menyembunyikan kekuatan itu dari siapapun. Kecuali orang-orang yang sudah terlanjur tahu.
"Ahmed! Arya! Berhentilah melakukan hal yang konyol!"
"Ma-maaf, Nyonya Rira!"
"Kalian lebih baik lakukan sesuatu untuk kita disini!"
"Ada yang bawa pemantik api dari gas? Kita buat api unggun dulu untuk menghangatkan badan. Disini dingin sekali!"
"Memangnya kenapa dengan pemantik api elektrik eh...kok aneh! Tidak mau menyala, padahal batreinya masih penuh."
"Semua alat modern kita disini tidak ada artinya lagi, Ahmed!"
"Berarti semua robot dan peralatan kita hanya jadi tumpukan rosok."
Nyonya Rira hanya mengangguk, aku pun juga. Mata Arya sudah membelalak rasa tak percaya. Sementara Ahmed berusaha mencari peralatan yang masih bisa digunakan secara manual.
"Ada kompas biasa yang aaah...!"
"Kenapa dengan kompas ini, Ahmed? Jarumnya terus berputar tanpa henti."
"Simpan saja, Ahmed! Kurasa disini medan magnetnya berbeda dengan tempat kita, Tuan Artemis."
Arya ternyata masih memakai pemantik api dari gas untuk menyalakan rokok miliknya. Dia meminjamkannya pada kami. Tapi apa yang bisa dipakai untuk membuat api unggun?
"Tumpukan karung disini bisa dipakai. Aku akan cari dahan atau ranting pohon sekitar area ini."
"Artemis! Aku ikut denganmu!"
Tempat aneh ini hanya didominasi oleh rumput pendek yang luasnya entah berapa. Sejauh mata memandang hanya ada hamparan rumput serta beberapa pohon. Sinar bulan setidaknya masih menerangi tempat ini.
"Kita ambil saja yang berjatuhan, Ahmed!"
"Hei, Artemis! Pohon ini aneh sekali!"
Nyaris saja dia menyentuh semacam tabir tipis yang menyelubungi pohon raksasa didepannya. Tubuh Ahmed segera kutarik agar menjauh.
"Jangan, Ahmed! Pohon raksasa ini aneh sekali. Kita kembali dan nyalakan api dengan ranting serta dahan ini saja dulu."

Bình Luận Sách (143)

  • avatar
    ZalRizal

    500

    11d

      0
  • avatar
    Aj Mi

    mantap

    24d

      0
  • avatar
    SptrTristan

    bagus sekali

    22/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất