logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 7

Bab 7
Danu menajamkan matanya, ketika melihat satu sosok yang tergeletak tidak bergerak. Pria itu baru selesai membuang sampah selepas melakukan shalat isya. Sudah menjadi kebiasaan lelaki itu, membersihkan seluruh sampah di rumahnya dan membuangnya langsung ke tempat pembuangan terakhir yang tidak jauh dari kediamannya. Hanya melewati beberapa gang, dia bisa sampai di tempat tersebut.
"Astaghfirullah."
Danu terkejut, begitu melihat lebih dekat sosok itu. Danu, menoleh, menyapu segala arah dengan sorot matanya. Dia mencari bantuan, ataupun mencari pelaku, atau apapun yang bisa menyebabkan gadis itu pingsan, atau mungkin wanita itu sudah tewas?
Penuh dengan keraguan, Danu menyentuh wanita tersebut. Antara iya dan tidak, tetapi kondisinya adalah darurat, Danu harus mengetahui kondisi dari wanita itu. Pria itu mengecek denyut nadi, juga napas dari tubuh gadis yang terkulai tidak berdaya.
"Syukurlah, dia masih bernapas." Tanpa menunggu lebih lama, pria itu membopong tubuh Artha. Ya, dia adalah Artha. Gadis yang telah dipukul habis-habisan oleh lelaki yang memiliki masalah dengan dirinya. Kini Artha bahkan harus menanggung perbuatannya sendiri.
Gang demi gang yang sepi, membuat Danu, bisa dengan cepat melangkah dan tiba di rumahnya.
Aminah yang melihat bayangan anaknya dari balik tirai kamarnya, seakan bertanya-tanya. Ada apa dan kenapa?
"Danu? Kamu di sana?" teriak sang ibu. Dia ingin turun dan memastikan, tetapi penyakit kakinya kumat. Terasa linu dan nyeri begitu memijak dan menahan tubuhnya yang ringkih itu.
"Ya, Bu."
Danu hanya menjawab singkat, dia menidurkan tubuh gadis itu, didalam kamarnya. Kemudian, meninggalkan Artha sendirian, setelah mematikan gadis itu mendapatkan kehangatan dari selimut tipis milik Danu.
Danu keluar dari kamar miliknya. Dia menemuinya sang ibu di kamar. Wajahnya terlihat begitu tegang dan memucat, seakan Danu baru saja melakukan kesalahan yang fatal.
Danu tidak pernah sekalipun menyentuh wanita sepanjang hidupnya. Bahkan ketika customer yang memesan jajanan itu, wanita, dia seakan benar-benar menjaga jarak. Seolah menatapnya saja, Danu takut.
"Kenapa, nak? Kamu kenapa? Kok keringetan begitu?" Aminah cemas melihat anaknya yang terasa tidak biasa. Wanita tua itu, melambaikan tangan pada anaknya, meminta pria itu untuk mendekat pada dirinya.
Danu, melangkah secara perlahan dan mendekati sang ibu. Aminah menggenggam tangan Danu. Menepuknya pelan, dan mempererat cengkeramannya.
"Kenapa, Danu? Cerita sama, Ibu," lirih Aminah.
Danu ragu, tetapi dia harus berkata dengan jujur. Apa yang dia lihat dan apa yang baru saja terjadi di rumah itu barusan.
"Tadi, di tempat pembuangan, Danu lihat seseorang, Bu. Dia pingsan, banyak luka di tubuhnya. Darah kering di wajah juga kaki dan tangannya."
Aminah menutup mulutnya, menyerukan nama Tuhan. Dia sungguh terkejut, bagaimana tidak, berita itu sangat buruk. Aminah takut, jika Danu justru dituduh sebagai pelakunya. Namun, jika tidak menolongnya, juga bukan perilaku yang baik untuknya.
"Obati, Nak! Pasti orang tuanya cemas, obati dia!" perintah Aminah.
Danu menatap nanar wajah sang ibu, dia tidak bisa melakukan perintah itu. Untuk pertama kalinya Danu memberontak. Sungguh, Danu tidak kuasa melakukannya. Membawa tubuh gadis itu saja sudah membuat tubuhnya seolah terguncang-guncang. Bergetar seolah dia adalah penjahat.
Aminah yang menyadari tingkah polah anaknya menjadi kian heran. Akan tetapi, apa yang membuat Danu bersikap menjadi batu, tidak diketahui oleh sang ibunda.
"Danu, kenapa? Kamu diancam sama pelakunya? Kenapa keringatmu semakin banyak? Kamu tidak perlu takut, nak. Kamu tidak bersalah," tutur Aminah.
"I— iya, Ibu. Ta— tapi, i— ini berbeda," gagap Danu.
Aminah mengerutkan dahinya. Matanya menyipit karena tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh putranya. Aminah menyeka keringat yang seakan mengucur dengan deras di pelipis Danu.
"Beda bagaimana? Kamu hanya syok, Nak. Kalau dia hanya pingsan, berarti sebentar lagi, dia akan sadar. Ayo, obati dia. Mungkin dia juga haus, kedinginan, kelaparan, kamu pinjamkan bajumu, kalau dia sudah sadar."
Lagi-lagi wejangan itu keluar dari mulut sang ibu tanpa tahu masalah Danu. Pria itu bahkan tidak bisa menjelaskan dengan baik dan benar kondisi dan situasinya. Danu terlalu polos atau bodoh, entahlah, itu adalah dua sifat yang berbeda tipis.
"Dia— dia seperti ibu," ungkap Danu.
"Maksudnya? Danu, kamu ngomong yang jelas, kenapa jadi seperti orang linglung?"
Aminah menepuk bahu anaknya, dengan tersenyum tipis. Dia sangat lucu melihat tingkah Danu malam ini.
"Dia wanita, Ibu. Bagaimana mungkin Danu, mengobatinya? Sedangkan menyentuhnya saja seolah Danu sangat bersalah. Apakah Danu dosa? Tapi dia sangat terlihat kasihan, Bu."
Kini Danu menjelaskan akar masalahnya dengan gamblang, dia berbicara seolah beberapa menit sebelumnya itu tidak pernah terjadi. Di mana dia merasa seperti lelaki yang benar-benar dungu.
"Apa?! Kenapa kamu tidak bilang dari tadi? Kamu berputar-putar seperti komedi putar. Kenapa mesti dosa? Perbuatan kamu 'kan dilakukan karena menolongnya. Coba pikirkan kalau kamu membiarkan dia tetap di sana? Bagaimana kalau ada orang jahat, yang justru melakukan hal-hal yang sangat membahayakan wanita itu? Kamu tidak akan dosa, Danu. Hilangkan pikiran itu. Ibu tahu kamu anak yang baik. Ayo! Bawa ibu padanya, biar ibu yang obati," pinta Aminah.
Akhirnya Danu bisa bernapas dengan lega. Memang betul kata orang, terkadang bercerita sebuah masalah pada orang lain akan bisa meringankan beban dalam pikiran. Namun, tidak juga semua masalah harus di ceritakan. Terkadang memendamnya sendiri jauh lebih aman ketimbang membuka aib sendiri yang belum tentu orang lain benar-benar tulus mau mendengar dan memberikan saran.
Tidak banyak, seseorang yang seolah membantu, tetapi di belakang justru bersorak-sorai dengan masalah yang dihadapi si pencerita itu.
Danu membawa tubuh ibunya. Menggendongnya layaknya dia membopong tubuh gadis itu sebelumnya, lalu meninggalkan kamar sang ibu dan berpindah ke kamar Danu.
Dari ambang pintu, wajah ayu itu belum terlihat jelas. Terlebih penglihatan Aminah memang sudah mulai memudar di usianya yang sudah renta.
Begitu Danu, menurunkan tubuh ibunya di kursi yang ada di samping ranjang, Aminah baru menyadarinya bahwa gadis itu adalah anak asuhnya dulu.
"Astaghfirullah, Nona Muda Artha? Danu, ini Nona Artha. Ya Allah, kasihan dia," serunya.
Wajah Aminah seketika panik, jauh lebih panik ketimbang wajah Danu sebelumnya. Aminah mengenal betul bagaimana Artha hidup selama ini.
Dia iba, miris, dan prihatin dengan penampakan Artha saat ini. Wajah yang tirus dan pucat, luka lebam di wajah, dan beberapa bagian tubuh lainnya. Itu yang terlihat, belum lagi mungkin ada luka-luka lain yang tertutup oleh pakaiannya. Mengingat pria gila itu menendang seluruh tubuh Artha tanpa ampun.
"Ibu kenal?" Aminah mengangguk. Dulu Aminah selalu menceritakan Artha pada Danu, tetapi lelaki itu sama sekali tidak pernah tertarik dan mendengar dongeng dari kisah nyata anak majikan dari sang ibunda.
Danu, bahkan sama sekali tidak pernah mau mengingat apa yang diceritakan oleh ibunya. Dia juga selalu menolak ketika diajak untuk ikut sang ibu bekerja. Danu lebih memilih, untuk menyetor hafalan, atau menambah hafalannya.
"Ayo, ambilkan air hangat sama kain yang lembut, ya!" perintah Aminah. Dia mulai mengusap wajah Artha, menyingkirkan anak rambut yang menutupi sebagian wajah wanita itu.
Apa yang terjadi, Non? Kenapa Non Artha terlihat jauh lebih— Aminah yang membatin pun tidak kuasa mengatakan bahwa Artha sangat menyedihkan saat ini.
Hatinya hancur melihat anak asuhnya yang dulu selalu berlari memeluknya ketika dia terkena omel ayah dan ibunya. Kini terkulai tidak berdaya dengan banyaknya luka yang dia dapat.
Aminah tidak mau menerka, siapa yang melakukannya, hanya saja dalam pikirannya, dia takut jika kedua orang tua Artha yang melakukan ini semua. Sedari dulu, mereka seolah tidak menerima kehadiran bocah itu. Namun, dugaan itu menjadi prasangka buruk bagi Aminah.
"Astaghfirullah," lirih Aminah. Dia memejamkan matanya, berusaha untuk membuang apa yang ada dalam benaknya.
Danu kembali dengan membawa air hangat sebaskom dan sapu tangannya. Meletakkannya di meja yang tidak jauh dari sang ibu agar wanita itu bisa meraihnya dengan mudah.
Aminah akan membersihkan darah yang sudah mengering, dan juga memeriksa kondisi tubuh gadis malang itu. Danu keluar setelah mengantarkan apa yang dibutuhkan oleh sang ibu.

Bình Luận Sách (119)

  • avatar
    KurmanOla

    menurtsya novel ini sangat baik dan bagus untuk dibaca Karen mengandung makna pesan dan menarik di baca ini sangat baik untuk pada muda mudi yang akan datang sebagai hal pelajaran dalam keseharian

    27/06/2022

      0
  • avatar
    LUNB1L_13

    oke

    26d

      0
  • avatar
    ButonRehan

    good

    23/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất