logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 5

Bab 5
Sang ibu sudah menantinya di depan pintu dengan melipat tangannya seakan meminta penjelasan dari mana saja perginya bocah itu.
Artha hanya memutar bola matanya, dan menyingkir dari hadapan sang ibu. Enggan untuk bertegur sapa ataupun menatapnya.
"Artha! Begitu sikapmu pada Mama?" teriak Manuella.
Gadis itu tetap melangkah, menaiki satu demi satu anak tangga. Membuat Manuella geram dan menyusulnya.
Wajah yang sudah menahan emosi sedari semalam. Wajah dengan dahi yang berkerut, alis beradu, dan memerah. Tanda Manuella sangat-sangat marah.
Manuella sudah jengah dengan sikap nakal Artha. Dia juga sudah lelah, setiap hari harus mengurus gadis yang seharusnya sudah bisa menata kehidupannya sendiri. Mungkin menikah atau memiliki anak.
Manuella menahan lengan Artha, mencengkeramnya dengan kuat dan membalikkan tubuh Artha sampai menatap kehadiran sang ibu.
Plak!
Manuella menampar pipi Artha. Tidak lama dari itu, wajah Artha jelas terlukis, bekas lima jemari sang ibu. Membekas dan memerah di permukaan pipi Artha yang putih dan bersih itu.
Mata gadis itu berkaca-kaca, ini bukan sekali, atau dua kali. Mungkin sudah lusinan atau ribuan kali sang ibu memukul, atau menamparnya sejak usia Artha sepuluh tahun.
"Kapan kamu sadar! Kapan kamu menjalani kehidupan seperti wanita normal?! Artha, apa yang kamu lewati ini salah! Sadar, Nak!" titah Manuella.
"Begitu? Sekarang Lo sudah tahu mana yang salah dan benar? Lalu menampar anakmu! Memukul darah dagingmu itu hal yang benar?! Bullshit!"
Artha mendelik dengan memegang pipinya. Kemudian menjauh dari hadapan sang ibu. Manuella bergeleng, dia kewalahan menghadapi sikap Artha.
Dia sadar, bahwa Artha bersikap demikian karena dirinya dan sang suami, tetapi orang tua manapun tidak ingin anaknya salah jalan sampai sesat. Bahkan Manuella juga tahu jika anaknya mengkonsumsi obat-obatan.
Namun, Artha selalu memutar semua fakta. Memutar semua omongan dan buruknya apa yang dikatakan Artha adalah kebenaran.
Memukul juga bukan hal yang dibenarkan. Akan tetapi jika bukan karena sikap Artha, Manuella tidak akan memukul, menampar atau bahkan mengumpat di depan gadis itu.
Namun, bukankah Artha juga tidak akan menjadi layaknya sekarang jika mereka bisa memberikan sedikit saja waktu untuk Artha. Memberikan perhatian dan cinta untuk gadis itu.
*
Di sisi lain, Danu, pria itu bermandikan keringat, rasa lelah yang berharap menjadi lillah. Sebuah ladang pahala untuknya. Dia mendapatkan uang sekaligus berkah dalam hidupnya.
Dering ponsel yang berada di saku celananya, membuatnya terkejut. Di tengah beberapa kardus yang telah dia tarik menggunakan troli khusus. Lima tumpukan kardus berisi jajanan anak-anak.
Danu harus mengantarkannya ke toko yang tidak terjangkau oleh mobilnya. Berada di ujung gang. Tentu saja mobil box hanya bisa berhenti di samping jalan raya.
Pria itu merogoh sakunya, tersenyum tipis dan terlihat manis ketika melihat siapa yang meneleponnya.
"Assalamualaikum, Bu. Ibu sudah makan?" sapanya begitu kelar menggeser ikon berwarna hijau.
"Wa'alaikumussalam, Nak. Sudah, masakannya enak. Selalu enak, kamu pinter masak, Danu."
Di seberang panggilan yang jauh, Danu kembali menyunggingkan senyum. Malu dan juga bahagia atas pujian sang ibu yang selalu membuat hati Danu, senang juga berbunga.
"Karena ibu juga yang mengajarkan, vitaminnya sudah di minum? Satu jam lagi Danu kembali. Ini sudah kiriman terakhir, Bu," tutur Danu.
Pria itu berhenti sejenak, karena jarak perjalanannya sudah mendekati tokonya. Dia tidak pemilik toko melihat dirinya bertelepon. Namun, Danu juga tidak mau, mengabaikan panggilan suara dari sang ibu.
Sesibuk apapun, dia selalu menyempatkan menelepon atau bahkan mengangkat telepon dari sang ibunda.
"Sudah, Danu. Kamu sudah shalat? Jangan lupa itu, nak. Apa lagi sebentar lagi, puasa. Semoga kita bisa menyambut bulan suci ramadhan tahun ini," lirih sang ibu, yang suaranya terlihat sendu.
"Sudah, Bu. Aamiin. Danu yakin, Ibu pasti akan kembali sehat, yang penting jangan banyak pikiran, istirahat yang cukup dan cukup berdoa untu Danu saja, semoga Allah selalu memberikan ibu kesehatan, panjang umur dan juga senyum yang indah itu, dapat selalu Danu, lihat."
Di rumah, Aminah menangis, dia sama sekali tidak mengindahkan apa yang dikatakan oleh anaknya. Bagaimana tidak? Kini tangannya memegang sapu, dia baru membersihkan rumahnya.
Aminah tidak sampai hati jika melihat anaknya yang sudah lelah banting tulang mencari nafkah, sementara Aminah hanya duduk, bahkan tiduran tanpa melakukan apapun.
Aminah tidak bisa seperti itu, dia selalu menganggap bahwa menyapu adalah pekerjaan ringan. Namun, di usianya yang sudah renta, cukup dia berjalan-jalan santai di teras saja sudah membuat napasnya ngos-ngosan.
"Iya, ibu hanya duduk di teras. Hati-hati, ya, Nak. Assalamualaikum," pamit Aminah.
Setelah mendengar jawaban dari anaknya, Aminah mematikan saluran telepon itu. Dia sempoyongan, terbungkuk-bungkuk untuk meraih kursi.
Duduk dan menuang air untuk membasahi tenggorokannya. Sejenak dia berpikir, bagaimana jika belum sampai menemui bulan ramadhan, usianya sudah tutup? Umurnya telah berakhir dan napasnya telah terhenti?
Aminah memikirkan anaknya. Siapa yang mengurusnya? Siapa yang akan membantunya untuk membersihkan rumah? Sementara, menikah saja Danu seakan belum bersedia.
Tanpa terasa air mata itu jatuh, luruh membasahi pipi, dan berakhir di atas meja. Aminah menyekanya, dia kembali bangkit dan menyelesaikan pekerjaannya. Kemudian kembali ke kamar sebelum Danu tiba di rumah.
Di jalanan desa yang hanya terbuat dari tanah dan kerikil-kerikil kecil. Danu sudah tiba di toko. Menyapa pemilik toko dan menurunkan barang-barang pesanan.
Meminta tanda tangan dan juga memastikan jumlah barang yang dikirim sesuai, jangan ada kesalahan jika tidak ingin terkena omel sang atasan. Terlebih jika harus kembali hanya untuk mengirim kekurangan atau kekeliruan.
"Terima kasih, Nak. Ini buat kamu, selalu tepat waktu mengantar pesanan bapak," papar sang pemilik toko. Pria itu memberikan satu kresek makanan ringan, yang Danu sendiri tidak tahu isinya apa.
"Alhamdulillah, terima kasih, pak. Semoga rejeki bapak selalu lancar. Sama-sama, Pak. Sudah menjadi tanggung jawab saya," timpal Danu. Dia menerima pemberiannya tanpa menolak. Karena dia tahu betul, bapak itu akan kekeuh memaksa Danu sampai pria ini mau menerimanya.
Usai mengucapkan rasa terima kasih, dia pun berpamitan. Jarum jam sudah menuju angka empat. Waktunya dia kembali dan berganti aktivitas. Bertemu dengan anak-anak dan berbagi keceriaan dengan mereka.
Hari ini, Danu akan memberikan mereka bingkisan kecil. Beberapa bingkisan yang selalu dia dapat dari pemilik toko yang loman. Seakan mereka juga berlomba untuk mendapatkan ridho, bukan hanya sekedar mencari rejeki.
Perjalanan pulang yang terasa begitu cepat. Seperti biasa, setelah sampai di rumah Danu, segera membersihkan dirinya. Dia juga menengok sang ibu, sebelum menemui anak-anak yang sudah mulai gaduh. Mereka siap, menunggu Danu untuk memberikan ilmu baru sore ini.
"Ibu mau makan sekarang?" tawar Danu.
Aminah bergeleng, "kamu urus anak-anak kamu dulu. Ibu masih kenyang, kamu sudah makan?" Danu mengangguk. Entah sudah atau belum pria itu sellau mengatakan ya' dan mengangguk.
"Danu keluar dulu, ya. Kalau ada apa-apa ibu panggil, Danu."
Pria itu menarik selimut lebih tinggi. Memberikan kitab suci Al-Qur'an, untuk ibunya, sembari menunggu waktu masuk shalat berikutnya.
Sungguh, keluarga sederhana yang selaku berusaha menjadi hamba yang patuh. Mereka takut, takut akan siksa dan tanggung jawab untuk setiap waktu yang mereka lewati.
Berusaha untuk tidak menyia-nyiakan walau hanya sedetik, jarum yang berputar.
Danu keluar dari rumah, menutup pintu dan menghampiri anak-anak di gazebo yang ada dekat dengan kediamannya. Menyapa mereka dengan sunggingan senyum. Mengucapkan salam dan mereka pun menjawab kemudian mengantri mencium telapak tangan gurunya.
Keseharian yang sungguh membuat hati dan juga pikiran Danu jauh dari kata bosan. Bahkan dia lupa bagaimana cara mengeluh, atau meratapi nasib kemiskinan yang dia terima.
Nasib yang diujikan Tuhan kepadanya. Danu berusaha melewatinya dengan lapang dada. Dia tahu, dia berharap bahwa semua ini tidak akan kekal. Akan ada kehidupan lain di lain kesempatan.

Bình Luận Sách (119)

  • avatar
    KurmanOla

    menurtsya novel ini sangat baik dan bagus untuk dibaca Karen mengandung makna pesan dan menarik di baca ini sangat baik untuk pada muda mudi yang akan datang sebagai hal pelajaran dalam keseharian

    27/06/2022

      0
  • avatar
    LUNB1L_13

    oke

    26d

      0
  • avatar
    ButonRehan

    good

    23/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất