logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 4

Bab 4
Duduk dengan tenang, mendengarkan musik melalui headphone bluetooth, dan mengedarkan pandangannya menyapu alam diluar jendela.
Sesekali mulutnya berkomat-kamit menirukan apa yang dia dengar. Bersenandung dengan lirih, seakan berbisik pada dirinya sendiri.
Begitulah cara Artha menikmati perjalanannya. Hingga mobil itu berhenti di tempat yang ingin dituju gadis liar dengan tatto di kaki dan tangannya.
Artha, memberikan selembar uang seratus ribuan pada sang sopir. Kemudian keluar dari taksinya. Merelakan kembaliannya untuk bapak tua yang sudi mengantar ke mana dia mau.
Bukan sudi, tapi memang sudah menjadi pekerjaannya. Seharusnya Artha bisa menjadi wanita baik, terbukti dari apa yang baru saja terjadi. Argonya jelas terlihat hanya lima puluh enam ribu. Akan tetapi sisanya, Artha tanpa pamrih memberikannya secara cuma-cuma pada sang sopir.
Artha menunggu hingga mobil berwarna silver itu pergi. Menghilang sampai tidak terlihat oleh pandangannya. Kemudian barulah dia melangkah menjauh dari lokasinya saat ini.
Gadis itu merangsek, melewati lorong-lorong, melewati gedung yang terbengkalai, sampai di sudut paling terpencil. Tidak ada siapapun kecuali orang yang menelepon Artha sebelumnya.
"Artha?" sapanya. Seorang pria muda yang dandannya cukup nyentrik, berusaha mengikuti zaman, tetapi terlihat sangat memaksa.
Rambut yang terpangkas habis di sisi kanan dan kirinya. Bibir bertindik, dan juga— ya, sama dengan Artha. Memiliki tatto di dada dan mungkin di bagian anggota tubuh lainnya.
Tubuhnya tertutup oleh jaket, dan hanya dadanya yang terlihat. Artha mengerutkan dahi, begitu melihatnya untuk pertama kali.
"Ya, mau berapa?" Tanpa basa-basi, gadis itu menanyakan jumlah pembelian yang diinginkan. Tentu saja barang haram. Pil ekstasi, ataupun narkoba.
"Ukuran paling kecil," jawabannya.
Artha mencebik, seakan meremehkan pria itu. Namun, dia tetap meladeninya, mengambilkan barang di tas kecil miliknya.
Gadis itu, mengobrak-abrik seluruh isinya. Hanya tas kecil, dan tidak terlalu banyak barang di dalamnya. Namun, dia tidak menemukan apapun.
"Sial!" umpatnya. Dia berpikir keras, dan menuduh pria dalam rumah kumuh itu yang mengambil barang miliknya.
"Kenapa?" Pria yang sudah menunggu sekitar setengah jam itu tentu ingin tahu. Dia sudah sangat tersiksa dengan candu yang dia derita.
"Seseorang mengambil barangku. Gue harus pergi."
Artha, dengan terburu-buru meninggalkan lagi tempat itu. Tidak peduli dengan pria nyentrik itu, tidak peduli reaksi yang diberikan lelaki tersebut.
Sudah pasti laki-laki itu marah, setengah jam dia menunggu dan kini harus kembali dengan tangan kosong? Ia menendang segala yang ada di sampingnya. Kayu, semak belukar, bahkan angin dia tendang, sembari berteriak kalut.
Sementara Artha, gadis itu juga sangat marah, ia akan membuat perhitungan dengan pria kurang ajar itu.
"Beraninya dia mengambil barang yang bukan miliknya. Gigolo gila!" umpat Artha.
Kembali gadis itu memesan angkutan umum secara online. Kali ini bukan lagi taksi, akan tetapi ojek, yang lajunya lebih cepat, agar dia bisa segera tiba.
Tidak berapa lama, lagi-lagi bapak-bapak yang menjadi sopirnya. Artha menggerutu, belum sempat dia naik, dengan beraninya, ia mengambil alih kemudinya.
"Biar gue yang nyetir, gue buru-buru," tukasnya.
Antara takut, dan juga butuh. Akhirnya pria itu pun hanya bisa menurut, tanpa perlawanan. Dia hanya berdoa pada Tuhan agar melindunginya dari kejahatan, termasuk gadis yang kini sudah duduk di depannya.
Motor melaju dengan cepat, Artha mengebut, menyalip, berkelok dengan tajam, tanpa mengurangi kecepatan. Sungguh, pria paruh baya yang ada di belakangnya sangat ketakutan.
Jika mereka terjatuh, maka sudah langsung beda alam, terlebih jalanan tengah dalam kondisi yang ramai.
"Neng, pelan-pelan," lirih bapak tersebut, sembari menepuk pundak Artha.
"Hah— apa?!" Artha tidak mendengarnya, angin seolah membawa terbang suara pria yang berada di belakang punggung Artha.
"Hati-hati, neng. Bapak punya istri dan dua anak," ulangnya.
"Nggak, keburu! Gue harus bikin perhitungan sama laki-laki gila itu! Ntar keburu kabur, atau kalau nggak dia habiskan barangku!" teriak Artha, menjelaskan masalahnya.
Lebih dari dua puluh menit berkendara. Artha berhenti kembali di rumah yang tadi pagi baru saja, dia keluar dari sana.
Gadis itu menekan rem dengan dalam. Membuat pemilik motor itu sampai maju dan memepet tubuh Artha. Gadis itu segera bangkit dan melepaskan helm yang bersarang di kepalanya.
"Tunggu di sini!" perintah Artha, sembari mengulurkan helm pada pemiliknya.
Tono, panggil saja begitu. Sopir ojek itu bernama Tono, perutnya seakan diaduk-aduk dan ingin muntah. Pasalnya dia tidak pernah berkendara dengan cara seperti yang dilakukan oleh Artha.
Ia mengangguk, dan menahan diri agar tidak pelepasan. Terlebih Tono belum makan apapun, ini adalah orderan pertamanya. Seharusnya dia bersyukur mendapatkan penumpang. Namun, siapa yang nyana bahkan penumpangnya benar-benar gila dan menguji kesabaran.
Artha berlari masuk ke dalam rumah. Tanpa permisi dan membuka satu demi satu pintu yang ada. Dia lupa di mana kamar pria yang telah tidur bersama dirinya tadi malam.
Beberapa orang terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Artha. Bahkan tanpa meminta maaf, Artha berlalu begitu saja, dan membuka pintu yang lainnya.
Brak!
Pintu terakhir terbuka, menampakkan seorang pria yang begitu dikenali oleh Artha. Tidak lain tidak bukan bahwa lelaki yang bersenang-senang dengannya semalam. Pria itu menikmati barang curiannya.
Seribu langkah cepat, Artha lakoni, dan ia memukul wajah lelaki itu, wajah-wajah yang sudah teler karena efek obat yang telah dia telan, juga serbuk yang dia hirup.
"Cowok kurang ajar! Sialan! Mampus Lo!" Artha terus menonjok, beruntung dia tidak mendapatkan perlawanan.
Pria itu jatuh tersungkur, dengan mencoba untuk tetap bisa membuka matanya. Seringai kemenangan dia suguhkan pada Artha.
Tidak hanya memukul bahkan Artha membuang salivanya pada muka lelaki itu. Ia menggeledah seluruh kamar, mencari barang-barang yang bisa dia gunakan sebagai ganti rugi atas apa yang telah pria itu nikmati barusan.
Jam tangan, dompet, semua dia bawa. Membuka dompet dan mengeruk semua uang yang ada di dalamnya.
"Mampus Lo! Laki-laki tidak tahu malu."
Artha menendang kaki pria itu, dan pergi meninggalkan kembali rumah yang dia anggap pembawa sial itu.
Bisa-bisanya, setelah menikmati gue, masih mencuri barang milik gue, lelaki macam apa itu? batin Artha.
"Jalan, Pak!"
Artha langsung mendaratkan pantatnya pada jok motor di bagian belakang. Menepuk bahu sang sopir dan pria itu melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
Kali ini, Artha tidak protes, dia sudah mendapat ganti rugi atas barangnya. Walau tidak semuanya, setidaknya dia tidak terlalu rugi, ketimbang harus kehilangan dengan cara sia-sia.
Artha meminta Tono, untuk membawa dirinya kembali ke rumah. Hari sudah mulai merangkak sore. Bahkan Artha pun juga belum memakan apapun.
Tiba di area rumahnya, Artha meminta untuk berhenti, dia tidak ingin siapapun tahu di mana dia tinggal.
"Stop! Stop! Di sini saja," pekik Artha. Pria itu mengerem dengan dadakan. Kemudian Artha turun.
"Ini untuk bapak. Gratis, dan ini upah ojeknya."
Setelah memberikan jam tangan dan juga dua lembar uang seratus ribuan, Artha menunggu sampai pria itu pergi. Selalu seperti itu yang dia lakukan.
"Terima kasih, neng. Tapi, ini kebanyakan, dan ini tidak perlu, neng," ungkap Tono.
"Ambil aja, kasih ke anak kek, jual kek, atau bapak buang terserah. Udah sana balik!" usir Artha.
Tono mengangguk, bukan dia takut, tapi justru dia simpati pada Artha. Di balik penampilannya yang serba kacau, di mata Tono dia tetap seorang gadis yang baik. Tono mungkin juga tahu, bahwa gadis yang baru saja menjadi penumpangnya itu kurang mendapatkan didikan yang tepat.
Sepeninggalan Tono, kini Artha berjalan, dengan santai dan masih mendengarkan musik yang sedari tadi terputar tanpa henti. Hingga langkahnya sudah tiba di depan gerbang kebesaran rumah miliknya.
Artha membuka pagarnya, tanpa menghiraukan sapaan dari satpam. Tanpa menjawab atau bahkan menoleh.
Artha menatap dari luar, rumah putih yang megah dengan dua lantai. Berdiri kokoh di atas tanah dengan luas berhektar-hektar.
Miris, hanya satu yang terlintas dibenak Artha. Dia sungguh tidak membutuhkan semua ini. Namun, semua sudah terlanjur.
Gadis itu, membuka pintu, dan—

Bình Luận Sách (119)

  • avatar
    KurmanOla

    menurtsya novel ini sangat baik dan bagus untuk dibaca Karen mengandung makna pesan dan menarik di baca ini sangat baik untuk pada muda mudi yang akan datang sebagai hal pelajaran dalam keseharian

    27/06/2022

      0
  • avatar
    LUNB1L_13

    oke

    26d

      0
  • avatar
    ButonRehan

    good

    23/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất