logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

4. Good Bye Kiss

Seketika Damar mengalihkan pandangan ke Alma yang membuat perempuan itu merasa terintimidasi kemudian berpura-pura merapikan poninya untuk menutupi perasaan takut. Namun tanpa diduga, Damar justru dengan agresif menarik tangan Alma yang sedang merapikan rambutnya.
Alma tersentak kaget bahkan sempat limbung hampir tersungkur di bingkai pintu kala damar menghentakkan pergelangannya agar keluar dari flatnya. Gadis bermata almond itu menatap nanar, ketakutan dan penuh keheranan akan sikap kekasihnya. Matanya berkaca-kaca menahan pedih di ulu hati.
“Maaf, aku sebenarnya sayang sama kamu Al—“
“Sayang tapi kamu tega mengusirku dan kasar ke aku!” Alma yang kini berderai air mata meneriaki Damar.
“Karena kamu melewati batas yang aku buat Al—“
“Kamu menikmatinya!” bentak Alma dengan kedua mata berair.
Damar meremas rambutnya frustrasi, napasnya memburu dengan wajahnya kian memerah. “Jangan lupa minuml pil kontrasepsi darurat sebelum terlambat, aku tidak mau kamu hamil.”
Tanpa merasa perlu menunggu jawaban dari Alma yang sudah membuka mulut, Damar membanting pintu hingga berdebam. Sedangkan Alma urung membantah lantas termangu di luar sana dengan air mata menggantung di sisi dagunya yang runcing.
Pedih, hati Alma begitu pedih diperlakukan demikian. Ia pun berbalik, dengan pasrah. Sore nanti ia harus terbang ke Indonesia, ia pun memutuskan untuk pulang ke flatnya sendiri untuk berkemas-kemas. Kini tinggal penyesalan memenuhi benak Alma, ia pikir dengan rencananya meluluhkan Damar berhasil itu akan jadi penghangat hubungan di antara mereka sekaligus menjadi perpisahan yang mengesankan sebelum keduanya menjalani hubungan jarak jauh. Namun reaksi Damar justru di luar dugaan Alma. Berantakan.
***
Alma turun dari taksi, tak lama setelah itu sopir taksi mengambilkan koper dari bagasi mobil. Gadis itu bergumam terima kasih pada lelaki paru baya tersebut.
Alma menarik kopernya dengan begitu malas, ia melangkah pelan menuju pintu masuk bandara. Baru saja ia di ambang pintu pengecekan. Tiba-tiba seseorang menyerukan namanya, Alma sontak membalik badannya. Ia tampak begitu terkejut hingga menjatuhkan koper dari genggaman. “Damar—“ Ia eja nama itu dengan isak tertahan.
Lelaki jangkung pemilik nama tersebut pun berlari kecil menuju Alma, tepat selangkah di depan Alma ia menghentikan langkah. Napasnya tampak terengah-engah.
Damar dengan ragu-ragu meraih tangan Alma.
Alma pun memperhatikan kedua bola mata milik Damar yang berkaca-kaca. Perlahan satu tangannya yang bebas dari genggaman Damar menahan air mata jatuh dari tempatnya.
“Hati-hati,” akhirnya sebuah kata lolos dari bibir Damar.
Alma mengangguk senang, ada kelegaan di dadanya mendapati Damar tidak marah lagi.
“Maaf, tadi aku kelewatan marahnya, a -- aku Cuma takut kalau terjadi kehamilan.”
Alma menggeleng, “kayaknya aku aku lagi gak masa subur, tenang aja gak akan terjadi.”
Damar mengelus punggung tangan Alma yang ada dalam genggamannya.
Sebuah pengumuman keberangkatan menggaung di langit-langit bandara, membuat keduanya mendongak bersamaan. “Itu penerbangmu?”
Alma mengangguk sekaligus berpamitan tapi saat ia akan melepas genggaman mereka Damar meraih tubuhnya dan mengecup lembut ubun-ubun kepalanya.
Seketika Damar melepaskan pelukan itu, ia justru salah tingkah sendiri. “Maaf aku lancang.” Wajahnya pun tampak memerah menahan malu.
Alma justru tersenyum senang, hatinya begitu berbunga-bunga. Lantas ia berbalik dan masuk ke ruang pengecekan.
***
30 jam mengudara, akhirnya Alma sampai di bandara Surabaya. Gadis itu menghela napas lega meski lumayan merasa jetlag akibat perbedaan waktu antara Jerman dan Indonesia.
Alma menyeret kopernya dengan sisa-sisa tenaga akibat kelelahan. Sampai di pintu keluar ia menghela napas lega sekali lagi karena selama berjalan menuju pintu keluar kepalanya sudah berdenyut-denyut sakit.
Gadis berparas nyentrik itu menengok kanan kiri, mencari jemputan yang tela ayahnya sediakan tetapi tidak ada seorang pun yang membawa papan nama berisi namanya.
Sejenak Alma memijat kepalanya untuk mengurangi sakit di sana, tapi tiba-tiba sesuatu menyita perhatiannya dan sekaligus memecah emosinya.
“Heh, kurang ajar!” Alma sontak berseru pada sosok lelaki yang menyita emosinya.
Beberapa orang di sekitar Alma menoleh kepadanya, menatap dengan tatapan risih atas sikap berlebihan Alma. Namun gadis itu tidak memerdulikan orang-orang di sekitar. Tatapannya tajam menghujam ke lelaki berjas rapih dengan setelan celana denim, khas eksekutif muda yang stylish.
Lelaki itu membawa papan nama bertuliskan 'calon suami Alma Pramusito' tentu saja hal itu membuatnya seketika berubah garang. Dengan langkah cepat ia menghampirinya dan merebut papan nama itu secara paksa ketika sampai di depan lelaki itu.
Alma lempar papan nama itu ke sembarang arah dan hampir saja mengenai seorang supir taksi. Alma benar-benar memancing keributan, karena supir taksi yang tidak terima menghampirinya dan marah-marah. Namun Alma tak memerdulikannya, ia biarkan saja supir itu mengomel sesuka hati.
Sedangkan dirinya sibuk mengomeli lelaki kurang ajar itu. “Sopir belagu! Sama majikan berani-beraninya ngaku jadi calon suami!”
Lelaki itu justru bergeming menatap lurus pada Alma.
“Lagi diomelin malah ngeliatin!” Alma menarik satu sisi jas lelaki itu hingga wajahnya mendekat ke wajah Alma. “Gue bakal minta ayah pecat lo, dasar supir muda gak berpengalaman!” Ia hentakkan cengkramannya dari jas lelaki itu. Namun sekilas aroma parfum berkelas tercium indra penciumannya. Alma mengernyit sejenak, lantas menggeleng pelan, kepribadian sopir barunya sangat membingungkan.
Namun buru-buru ia mengalihkan perhatian dengan menyuruh lelaki yang ia anggap sopir itu. “Nih, bawain koper gue!” Alma meninggalkan kopernya begitu saja lantas berjalan menembus keramaian para penjemput penumpang.
Selama menuju lobi bandara Alma bertanya-tanya, siapa sebenarnya laki-laki itu? Diomeli kok diem aja. Gak memperkenalkan diri pula, kan aku gak tau namanya kalau mau manggil. Sekilas mendengkus, kesal menebak-nebak jati diri laki-laki itu.
Kedua mata Alma tiba-tiba membulat, atau jangan-jangan lelaki itu calon suamiku sungguhan? Batinnya panik.
4. kontrasepsi darurat
Sampai di depan mobil, sopir bergaya eksekutif muda itu meletakkan koper di bagasi sedangkan Alma menunggunya membukakan pintu. Namun lelaki itu justru langsung masuk ke mobil di belakang kemudi.
Alma dibuat melongo keheranan, dengan kesal ia mengetuk keras-keras pintu kaca mobil. “Majikan itu dibukain pintu!”
Sopir itu justru menautkan kedua alisnya yang tebal dan dengan tak acuhnya ia menyalakan mesin mobil.
Alma sudah tidak sabar lagi, ia pun membuka pintu, masuk, lalu membanting pintunya hingga berdebam.
“Nama kamu siapa, sih?”
“Yogi,” jawab sopir itu sambil sibuk mengenakan sabuk pengaman, sama sekali tidak menunjukkan keramahan.
“Sopir gak ada akhlak ya, memperkenalkan diri enggak, ngaku-ngaku jadi calon suami, gak bukain pintu, iishhh aww!”
Mobil melaju tanpa Alma sempat memasang seatbelt, mengakibatkan dirinya hampir terpental dari tempat duduk.
Kali ini Alma benar-benar marah, hingga kehilangan nafsu mengomelnya. Suasana kabin mobil pun hening, hanya deru mesin yang terdengar pelan serta aroma parfum Yogi yang terus menguasai penciuman Alma. Sampai-sampai gadis itu harus memencet hidungnya agar tidak terkontaminasi parfum maskulin dengan aroma leather itu meski lambat laun ia justru mulai nyaman dengan aromanya yang menyegarkan dan menenangkan.
Mobil yang ditumpangi Alma terus membelah jalanan kota Surabaya yang padat di jam makan siang seperti ini.
“Eh, ini bukan jalan ke rumah Pak supir!” seru Alma panik. Setelah menyadari arah jalannya bukan menuju rumahnya. Jangan-jangan aku diculik, batinnya gusar.

Bình Luận Sách (17)

  • avatar
    BoyEnda

    bagus

    18/06

      0
  • avatar
    IsaMuhammad

    Mantap

    29/03

      0
  • avatar
    NdutJohari

    Nicesiakk

    07/03

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất