logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 6. Kenangan Yang Beterbangan

Sepanjang jalan yang terlewati oleh mobil sedan mulus yang membawa Luka, perempuan itu hanya diam merasakan waktu yang berjalan amat lambat. Luka tak bisa menampik saat seorang pelanggan, Dewa namanya, mengantarnya pulang. Kini Luka celingukan, ia tak mengenal ruas jalan yang dilaluinya ini. Ini berada di ruas jalan apa.
“Wa, kontrakanku di Jalan patimura. Tapi kok kamu bawa mobil ke jalan ini. Tadi harusnya belok kiri. Kamu juga tahu kan?” Luka membawa duduknya tegak dengan wajah yang mendekat kea rah Dewa yang santai membawa kemudi.
“Aku tahu, aku nggak lupa Luka. Kan minggu kemarinpun aku anterin kamu. Tenang saja, kita healing dulu sebentar yuk. Cooling down sehabis mendengar hingar binger music tadi. Kepalaku masih mumet dengan alcohol pula. Kita duduk makan-makan dulu ya sambil menikmati suasana dingin yang menjelang pagi ini” suara Dewa membuat Luka terdiam.
Dewa memang salkah satu pelanggan setia di Pub & Karaoke tempatnya bekerja. Meski terlihat pendiam dan agak misterius, tapi selama menjadi langganan Pub, cowok itu salah satu pelanggan yang punya attitude baik. Sikapnya yang dingin dan kaku tapi tidak pernah aneh-aneh meski terkadang ia sering datang dan menghabiskan banyak minuman. Pembayaran yang selalu beres dan paling royal memberi tips pada pelayan.
Luka diam. Ia duduk tenang di sisi Dewa sambil matanya menyaksikan lampu-lampu jalan dan sorotan cahaya dari kendaraan yang bersirobok di depan. Ia tak mempedulikan lirikan Dewa yang kerap menoleh ke arahnya. Mungkin melihat apa ia baik-baik saja atau terlihat tidak senang dengan ajakannya.
Di depan sebuah bangunan antic dari kayu dan bamboo-bambu, sebuah café yang unik dan asri, Dewa menghentikan mobilnya. Lalu elan ia membelokkan mobil dan memasuki area parker di sebelah kiri menjorok ke dalam yang cukup luas.
“Lho, kok malah belok ke café Wa? Ini sudah hampir jam satu malam lho. Nanti kita lama lagi kalau nongkrong ngopi di café. Mending cari warung tenda atau apa kek yang bisa instand menyediakan makanan. Sambil nongkrong sebentar trus pulang…Aku…”
“Kita nongkrong dulu di café. Temani aku bertenang, lagi malas pulang Ka. ..” Dewa menghentikan mobilnya. Membuka kunci pintu, lalu dengan isyarat Ia mengajak Luka keluar.
Luka terdiam sesaat. Tapi melihat sorot tajam Dewa dan mata itu seperti mengandung perintah, Luka mengalah. Ia menggelosot, membuka pintu dan keluar dari Pagero hitam itu.
“Ini sudah hampir Pagi Dewa, aku letih banget, ingin istirahat. Besok malam minggu, Pub akan ramai dan aku butuh tenaga untuk besok!” Luka masih mengutarakan keberatan hatinya saat Dewa menghampirinya.
“Sudah, semua aku yang tanggung. Kamu kalau ngantuk jangan pulang. Café ini kana da Resto dan bungalownya. Nanti aku sewa satu untuk kamu tidur. Tenang saja, aku langganan makan, nongkrong dan tidur di café ini!” Dewa menggamit lengan Luka dengan sikap cueknya.
Rasanya Luka menyesal mau diantar pulang oleh lelaki itu. Bekerja di dunia malam dengan tempat kerja yang rentan godaan dari lelaki-lelaki hidung belang membuat Luka ekstra hati-hati. Meski Ia menyadari bahwa pekerjaannya itu identik dengan dunia bebas dan selalu dicap asusila. Masa lalu dan perjalanan hidup Luka pun penuh liku dan tak mulus, tapi dari situlah ia belajar untuk bertahan di situasi dan tempat yang terburuk sekalipun. Ikan hidupnya di air lut yang asin. Tapi kan itu tak menjadi asin. Luka punya prinsip untuk masuk dan berbaur karena itu dunia dan pekerjaan yang telah memberinya hidup. Tapi tidak harus terbawa dan tergerus gaya hidupnya.
Luka selalu bersikpa professional karena pekerjaannya melayani para pelanggan, menemaninya mengobrol sambil minum, menyanyi, bercanda, sebatas bersuka ria di dalam lingkup ruang pub atau hall karaoke. Sekedar menjadi teman duduk dan menemani palanggan untuk bersenang-senang di sana. Lepas dari itu, Ia yang menentukan sendiri untuk bisa diajak kencan atau tidak. Luka memilih untuk stay bekerja sekadar menjadi pelayan Pub, Bar dan Karaoke. Luka selalu menolak ajakan keluar atau rayuan para lelaki yang ingin mengencaninya, dengan bahasa yang halus. Ada beberapa langanan Pub yang sudah menjadi akrab dngan Luka. Termasuk Dewa. Dewa memang selalu mengajaknya pulang beberapa kali dan lelaki itu tak pernah macam-macam. Makanya Luka percaya saja saat lelaki itu kembali menawarkan tumpangan pulang mala mini.
Luka seperti menangkap gelagat tak baik yang terasa kuat di indera rasanya. Entahlah, insting Luka makin sensitive dan kuat untuk menangkap gelagat-gelagat. Tapi rasa itu ditepisnya. Luka mencoba santai dan berprasangka baik pada cowok cool itu.
Perempuan itu duduk tenang di lantai dua café yang masih ramai oleh pengunjung di dini hari itu. Dewa baru saja menghampaskan pantatnya setelah ijin ke toilet tadi. Seiring itu pesanan chocolate milk panas dan Arabica pahit datang. Luka mengangguk manis pada pelayan yang dengan sopan menyajikan pesanan.
“Setengah jam saja kita ngopi ya Dewa. Aku pengen cepet pulang dan badanku lelah sekali…” Luka menyeruput chocolate panasnya. Ditentangnya tatap tajam dan dingin Dewa yang lama hinggap di manik matanya.
“Ribet amat, baru juga duduk Ka. Aku sudah bilang, kalau kamu nggak tahan ngantuk banget, kamu nggak ush pulang. Ada bungalow kecil dengan dua kamar di belakang sana, kita tidur saja di sana. Itu sudah aku booking…” jawab Dewa keukeuh.
Luka menggeleng. Suasana hanya hening, Luka tak banyak bicara. Laki-laki itupun terlihat cuk dan asyik mengepulkan asap rokok. Pandangannya lurus ke luar jendela kaca, ke jalan raya yang terlihat remang oleh ribuan cahaya di bawah sana. Pemandangan yang terlihat indah dari atas café ini. Membuat Luka pun keasyikan sendiri menimati secangkir chocolate dan keheningan yang terkondisi.
Tiba-tiba kenangan serasa beterbangan keluar. Teringat pertama kali ia bekerja menjadi pelayan bar di kota kecilnya. Saat itu usianya belum dewasa lagi. Masih gadis belia tujuh belas tahun yang frustasi akan keadaan hidup. Drop Out sekolah menangah atas karena keadaan yang memaksanya harus berjuang dan mendapatkan penghasilan cepat untuk membantu orangtua.
Satu tahun bekerja dan dia bisa bertahan meski ditengah suasana kerja yang sesungguhnya tidak nyaman untuk anak seusianya waktu itu. Di tengah gunjingan tetangga yang ia masabodohkan, Luka bisa bertahan. Hingga kemudian godaan syetan datang dari seorang lelaki yang ia kenal sebagai…seorang lelaki dewasa yang mengasihaninya dengan selalu mengantar pulang atau menjemputnya kerja. Hingga peristiwa itu terjadi…
Ahhh…kepedihan itu menggelinyar menambah beban hidup dan keperihan yang bertumpang tindih. Sungguh derita yang telah ia lewati teramat berat. Kehilangan rumah peninggalan kakek yang terpaksa harus berpindah tangan untuk membereskan hutang-hutang ibunya, kehidupan kemudian terpuruk, terus terpuruk. Luka kehilangan mahkota dirinya, terenggut oleh laki-laki biadab yang membiarkannya menanggung aib dengan melahirkan bayi tak berdosa itu sendirian. Fadil, bayi mungil yang sempat jadi musibah dan pergunjingan besar, tapi Luka tetap bertahan dan berjuang menyimpan semuanya sendirian. Kini Fadil sudah berusia lima tahun. Luka sudah merasakan jatuh bangun hidup. Pernikahan yang gagal dan hanya mendpat penghinaan. Semua kekecewaan itu yang membuat Luka makin kuat dan nekat. Dengan modal keberanian dan siap berjuang, Luka pindah ke Jakarta dan kembali bergelut dengan dunia malam.

Bình Luận Sách (39)

  • avatar
    TasidjawaRusni

    lelaki mencintai bunga

    27d

      0
  • avatar
    Tengker3Afgan

    mntp

    22/07

      0
  • avatar
    BaeAditia

    lanjutannya

    07/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất