logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 5 Osaka Key

“Kon’nichiwa!”
Seorang laki-laki berperawakan tinggi, menyapa Rana yang sedang sibuk dengan layar komputer di meja kasir.
“Kon’nichiwa!” Laki-laki itu mengulangi sapaanya. Rana terperanjat kaget.
"Hai, konichiwa! selamat datang di Kafe Michan."
Laki-laki dihadapannya tiba-tiba mematung, matanya tak berkedip melihat paras wajah cantik Rana. Gadis itu memiliki mata yang meneduhkan, kulitnya putih bersih dan senyumannya tampak mempesona dengan deretan gigi yang putih bersih.
"Onii-san, can you speak english?”
Gadis berkerudung putih itu membangunkan lamunannya.
“Iya, bisa. Indonesia juga bisa!”
Laki-laki itu tersenyum. Raut muka Rana merona, malu. Dia pikir, pelanggannya itu tidak bisa bicara dalam bahasa Indonesia.
Beberapa bulan ini, Kafe Michan sering dikunjungi pelajar, mahasiswa dan pekerja asing. Untung saja, gadis cantik itu mahir bahasa asing. Walaupun belum terlalu fasih.
“Maaf, Onii-san mau pesan apa?”
“Ramen Spicy Chicken dengan toping keju mozarella. Minumnya Coco Avocado!”
“Okey, O-kake kudasai!”
Dia mempersilahkan pelanggannya untuk duduk. Laki-laki itu mengangguk lalu memilih meja di pojok sebelah kanan.
Beberapa pelanggan lain datang dan pergi silih berganti. Biasanya yang betah duduk berlama-lama, mereka pelajar atau mahasiswa yang hobi nongkrong di tempat ber-wifi.
Amoy keluar dari dapur dan menyuguhkan ramen yang dipesan. Bak pelayan profesional, seluruh pesanan diletakan di nampan lengkap dengan tisu, sendok dan garpu.
“Itadakimasu!”
Gadis bertubuh gempal itu berucap selamat makan, sambil menampakkan deretan giginya yang putih dan rapih. Laki-laki itu tersenyum dan bersiap melahap hidangannya.
Amoy berjalan ke arah Rana, bertanya tentang laki-laki yang duduk di pojok ruangan. Rana hanya menggelengkan kepala. Hari ini dia sedang sibuk, tidak punya waktu untuk bergosip. Merasa diabaikan, Amoy kembali ke dapur.
“Kore wa ikura desu ka?”
Baru tiga puluh menit, laki-laki sipit itu sudah kembali ke meja kasir, menanyakan harga yang harus dibayar untuk makanannya.
“Iya Onii-san? Maaf, bisa bicara pakai bahasa Indonesia saja?.”
Laki-laki itu tertawa melihat kepolosan kasir yang ada di hadapannya.
“Berapa harganya?”
“Rp. 35.000,-“
“By The Way, kamu anak SMA ya?”
Rana menghentikan jemarinya yang sedang menari di atas keybord. Dia memandang ke arah sumber suara.
“Iya, Onii-san.”
Senyumannya terlihat begitu menawan. Sepontan, Rana mengakihkan pandangan. Mata indahnya kembali menatap layar komputer
“Itte mairimasu!”
Rana bergegas berdiri dan menjawab.
“Iya Onii San, sampai ketemu lagi."
Laki-laki itu melakukan Ojegi, Menunduk empat puluh lima derajat, seperti kebiasaan orang Jepang untuk menghormati lawan bicaranya.
Pukul 16.00 WIB – 21.00 WIB adalah jam-jam sibuk kafe. Apalagi di hari sabtu dan minggu. Setiap sepulang sekolah, Rana, Amoy dan Alif pergi ke kafe.
Walaupun sudah ada tiga orang karyawan. Mereka terkadang membantu atau jika sedang tidak ramai mereka sekedar berdiam diri di kafe sambil mengulang pelajaran bersama sampai pukul 20.00 WIB. Untuk hari minggu biasanya mereka datang setelah dzuhur lalu pulang jam sembilan malam.
Bagi mereka bertiga, kafe adalah rumah kedua. Di sana, mereka belajar tentang banyak hal. Bukan sekedar tempat mengerjakan tugas sekolah, bekerja, tapi ada pelajaran kehidupan juga. Dengan belajar hidup mandiri sejak remaja, mereka berharap dewasa nanti mampu menjadi pengusaha sukses.
Keesokan harinya, Amoy antusias dengan berita yang dia dapatkan tentang laki-laki keturuban Jepang itu.
“Rana, kakak yang tinggi, putih, berambut cokelat yang kemarin datang ke kafe itu, namanya Osaka Key. Mahasiswa yang berasal dari Jepang. Dia juga pelatih Taekwondo di komunitas asuhannya. Satu lagi, dia itu seorang mualaf, loh.”
Amoy menjelaskan panjang lebar pada Rana. Gadis bertubuh gempal itu sangat antusias mengenal laki-laki Jepang yang baru dia temui satu kali.
“Momoy, kamu tau dari mana?”
Dia menatap heran ke arah gadis yang mulutnya sedang mengunyah permen karet.
“Alif yang bilang. Mudah-mudahan dia jadi pelanggan setia, ya. Biar aku bisa belajar bahasa Jepang tiap hari.”
Amoy merasa ada sedikit celah dari pertemuannya dengan Osaka Key untuk praktik bahasa Jepang. Dia memang punya minat yang besar untuk belajar bahasa Jepang. Semua itu demi mendukung impiannya.
Sebenarnya, Rana pun punya minat yang sama, bahkan minatnya lebih besar. Baginya, bahasa Jepang adalah salah satu bahasa wajib yang harus dia pelajari setelah bahasa Inggis untuk memudahkan pencarian ayahnya.
Alif muncul dan berkomentar.
“Modus! Modal Dusta, bilang aja mau kenalan!”
“Bukan Modal Dusta, tapi modal usaha buat belajar bahasa Jepang gratis.”
Amoy segera menyangkal tuduhan Alif.
“Hati perempuan itu ibaratkan misteri, penuh teka-teki. Tidak mudah ditebak,”
“Cie Alif, udah mulai gombal!”
Rana meledek sahabatnya itu, laki-laki berkulit sawo matang didepannya kikuk.
“Astagfirulloh hal adzim, kerja-kerja!”
Alif meninggalkan keduanya, dia memilih pergi ke arah dapur. Namun, Amoy tidak putus asa merayu Alif agar mau membantu.
“Ayo dong Alif, cuma kamu yang bisa bantuin kita. Iya kan, Rana?” Amoy memelas.
Rana hanya membalas dengan senyuman. Sebenarnya dia sedikit ragu dengan ide Amoy. Alif berkali-kali menolak saat Amoy memintanya untuk ikut gabung Klub Taekwondo yang diketuai Osaka Key.
Mereka tidak bermaksud menguntit laki-laki pemilik senyuman manis itu, hanya saja Amoy dan Rana butuh Key untuk belajar bahasa Jepang.
"Gak bisa!"
“Oke kalo gitu. Kita berdua saja. Ayo Rana!"
Amoy, geram. Mereka pergi meninggalkan Alif. Sebenarnya, jika boleh jujur, Alif bisa membantu. Hanya saja dia tidak mau kalau harus ikut bergabung klub Taekwondo. Bukan karena tidak suka Key, tapi Alif sudah benci olah raga Taekwondo.
Ayahnya mengalami cedera berat setelah mengikuti pertandingan kejuaraan Taekwondo di Korea Selatan. Kini, kaki Ayah Alif, patah dan hanya bisa berjalan dengan bantuan tongkat.
Dua tahun lalu, Alif memutuskan lengser dari Olah raga taekwondo dan beralih mempelajari pencak silat. Memang sangat disayangkan, padahal laki-laki berkulit sawo matang itu sejak kecil sudah mendapatkan banyak penghargaan dari olah raga Taekwondo.
Tidak ada yang bisa mengubah keadaan, Rasa cinta pada Sang Ayah membuatnya membenci olahraga yang pernah menjadi napas hidupnya.
Rana dan Amoy benar-benar datang menemui Key untuk mengutarakan niat mereka gabung di Klub Taekwondo.
“O-hayoo gozaimasu!” seru Rna dan Amoy menyapa Key dengan ucapan selamat pagi dengan kompak..
Key masih mematung, melihat dua anak berseragam SMA yang datang ke kampusnya.
“Rana-san, Nani wo shire iru no desu ka?”
Laki-laki itu bertanya pada Rana, apa yang sedang dia lakukan di kampusnya.
“Onii-san, speak in english or bahasa, please!”
Rna meminta Key bicara dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia.
“Okey, sory!”
“Onii-san, aku Rana dan ini Amoy.”
“Iya, saya tau. Siapa nama teman kamu?”
Ana mengerutkan dahi, dari mana Osaka Key tau namanya.
“Amoy, A-M-O-Y!”
Gadis bertubuh gempal itu mengeja namanya lalu tersenyum sebari menunjukkan deretan gigi putihnya. Sudah menjadi kebiasaan Amoy tersenyum lebih dari 2 cm. Gigi-ginya yang rapi membuat senyumannya tampak cantik. Bagi Amoy, gigi adalah mutiara yang harus dijaga agar bisa tetap bersinar.
“Aku, Osaka Key!”
Laki-laki itu mengulurkan tangannya. Rana memandang Amoy, dia memberikan isyarat lewat gelengan kepala. Amoy paham, keduanya tidak ada yang berani menjabat tangan Key.
Rana memilih melakukan Ojegi, dia menunduk ke arah Key, Amoy pun mengikuti. Key segera melakukan hal yang sama.
“Kalian mau apa datang ke sini?”
“Onii-san, kita mau gabung Klub Taekwondo!”seru Rana terus terang.
“Are you serious?”
Key tampak kaget, dan bertanya apa mereka serius dengan ucapannya sambil sedikit tertawa. Dia tidak yakin dengan kemampuan kedua gadis berbaju kurung itu. Baru kali ini ada wanita berjilbab rapat ingin bergabung Klub Taekwondo miliknya. Ana dan Amoy kembali saling bertatapan.
“Onii-san harus percaya, Rana ini juara pencak silat nasional. Kakek nya dulu atlet pencak silat.”
Amoy menuturkan dan berusaha keras meyakinkan Key.
“Maaf, okey kalau begitu besok kalian datang lagi.”
Laki-laki pemilik senyum manis itu berniat memberikan kesempatan.
“Pake baju olah raga!” lanjutnya memastikan.
“Haii, Onii-san!” keduanya kompak melakukan ojegi.
“Jika kalian lulus seleksi, boleh gabung. Kalo engak, yah... gak bisa!”
Kedua pelajar SMA itu mengacungkan jempolnya ke arah Key. Tidak lupa mereka mengucapkan terima kasih.

Bình Luận Sách (111)

  • avatar
    Niko

    bagus ceritanya

    20d

      0
  • avatar
    MichelleYan

    beautiful story

    19/08

      0
  • avatar
    AzahraPutri

    terlalu panjang

    18/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất