logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 7 KEPERGIAN RAHMAN

Keesokan harinya, sepulang kerja Rahman sudah membereskan semua barang-barangnya. Rahman pamit pada keluarga Abah. Tidak ada keceriaan di wajah mereka, hanya isak tangis Ummi, sesak hati Abah dan Arga merelakan kepergian Rahman. Meskipun bukan keluarga kandung, bagi mereka Rahman bukan orang lain lagi.
“Abah, Ummi, Arga. Saya pamit. Terima kasih sudah menerima saya selama ini. menganggap saya sebagai keluarga sendiri. Sudah merelakan saya tinggal secara gratis disini. Saya tidak bisa membalas kebaikan semuanya. Saya minta maaf, banyak sekali kekurangan saya selama ini.” Ucap Rahman berpamitan.
“Abah seneng kamu disini. Abah sama Ummi enggak keberatan, punya anak seperti kamu. Kamu sudah bimbing Arga dan Icha sehingga lebih ngerti agama dibanding sebelumnya, Icha yang dulu petakilan juga sekarang mulai kalem, sudah jarang marah seperti dulu lagi, itu semua berkat Nak Rahman. Jangan sungkan-sungkan sering datang. Pintu kami selalu terbuka untukmu selamanya.” Jawab Abah. Sementara Ummi masih terisak-isak.
Ummi tidak hanya merasakan sakit karena kepergian Rahman, dia merasakan sakit yang dialami Icha sejak mengetahui pernikahan Rahman. Dia tidak tahu bagaimana caranya membesarkan hati putri bungsunya yang sedang sangat terluka.
“Terima kasih, Bah, Ummi, Arga dan Icha sudah menjadi rumah kedua bagi saya. Semoga semua selalu sehat-sehat, kita bisa bertemu lagi lain waktu.” Ucap Rahman sambil mencium tangan Abah.
“Semoga acara pernikahan kamu lancar, sakinah mawaddah warohmah, bahagia sampai maut memisahkan.” Abah menepuk-tepuk punggung Rahman yang kokoh merunduk padanya.
“Jangan lupa undangannya.” Ucap Arga.
“Kalian tamu spesial.” Jawab Rahman.
“InsyaAllah kami datang.” Kata Abah.
“Icha belum pulang?” Tanya Rahman mencari-cari keberadaan Icha. Arga menggeleng lemah. Dia tahu, adiknya memilih bersembunyi daripada harus menunjukkan wajah sedihnya di hadapan Rahman.
Mereka semua tahu bahwa Icha lah yang merasa paling kehilangan. Mereka menyadari, bahwa perasaan Icha pada Rahman lebih dari sekedar perasaan adik kakak. Tapi Icha berusaha menyembunyikan perasaannya rapat-rapat, dia tidak ingin seorangpun tahu akan hal itu. Mereka pun bersikap pura-pura tidak tahu supaya tidak menyakiti hati Icha.
Tapi apapun itu, pasti sangat menyakiti hati Icha yang sudah lima tahun ini selalu bersama Rahman.
Deru suara sepeda motor Icha terdengar memasuki halaman rumah, Rahman buru-buru menyambutnya di luar. Icha yang terkejut dengan kedatangan Rahman menyambutnya di garasi. Icha berusaha mengolah raut wajahnya supaya tidak tampak sedih. Padahal sepanjang perjalanan, air mata terus saja meleleh di pipinya.
“Assalamu’alaikum, Kak.” Ucap Icha berusaha riang.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Rahman lirih. Dia masih berharap Icha menangisi kepergiannya dan mencegahnya pergi dari rumah ini.
“Aduh calon penganten lemes gitu. Harus bahagia dong. Mau nikah kok kayak mau disembelih buat kurban.” Icha berusaha melawak. Meski antara akal dan nurani saling bertentangan.
Dalam hati ingin sekali Icha menahan kepergian Rahman agar selalu ada di sisinya, menjadi miliknya. Memiliki cinta yang selama ini dipendamnya. Rasa egoisnya yang ingin memiliki Rahman sepenuhnya selalu muncul dan mengalahkan akal fikirannya. Namun dia sadar, dia harus menunjukkan kebahagiaannya supaya langkah Rahman tidak berat melangkah karena dirinya.
Setelah mobil Rahman tak lagi tampak, Icha berlari menuju kamarnya. Isak tangis yang sejak tadi ditutupi dengan kepura-puraan, memberontak ingin segera meledak. Icha menangis dalam pelukan bantal yang disusun tebal dalam pelukannya. Dia tidak ingin seorangpun mendengar teriakan tangisnya saat itu.
Arga mengetahui adiknya berlari sambil menahan air mata ikut merasakan sakit yang luar biasa dalam hatinya. Ingin sekali dia memeluk gadis kecilnya yang sudah beranjak dewasa. Gadis kecil yang dulu hanya menangis histeris karena kakaknya lupa menjemputnya kini berusaha menahan tangisnya karena kehilangan lelaki yang sangat dia cintai.
Arga merasa menyesal sudah membawa Rahman dalam keluarganya yang meninggalkan luka di hati adik semata wayangnya meski dia sangat bersyukur, sejak kehadiran Rahman dalam keluarganya, dia belajar banyak hal tentang pelajaran hidup.
Arga juga tahu perasaan Rahman pada adiknya lebih dari sekedar perasaan seorang kakak pada adiknya, namun dia ingin Rahman lebih jujur pada adiknya.
Ketakutan Rahman saat itu adalah karena jarak usianya denga Icha yang hampir sepuluh tahun, membuat Rahman merasa minder berada di dekat Icha. Setiap kali bersama Icha, Rahman selalu dianggap sebagai paman dari Icha.
Rahman berharap Icha mendapatkan lelaki yang lebih baik darinya, yang usianya tidak setua dirinya.
Namun ketidak jujuran Rahman maupun Icha menjadi bencana bagi mereka. Sekarang mereka harus terpisah karena kebodohan mereka masing-masing. Seandainya mereka jujur, mungkin mereka masih bisa bahagia bersama.
“Icha bagaimana, Mi?” Tanya Abah khawatir.
“Masih tidak mau keluar kamar.” Jawab Ummi sedih.
“Mau makan nggak?”
Ummi menggeleng mendengar pertanyaan Abah. Mereka sangat sedih dengan kondisi Icha yang semakin suka menyendiri. Sudah hilang Icha yang dulu, Icha yang ceria, Icha yang cerewet, Icha yang sering berteriak ketika digoda kakaknya, Icha yang suka mengadukan kakaknya pada kedua orang tuanya.
Sekarang tinggallah Icha yang pendiam, tidak banyak ngomong, melakukan aktifitas sekedarnya. Dan Icha yang berusaha mati-matian lulus kuliah tahun ini.
Hari ini, kali keempat Icha masuk Rumah Sakit karena muntah hebat sejak kepergian Rahman. Padahal besok Rahman melangsungkan pernikahannya, namun Icha masih tergeletak lemah di Rumah Sakit.
Wajahnya memucat dirasa sudah lebih baik daripada saat pertama kali datang wajahnya kehijauan. Entah berapa kantung infus yang tergantung berlomba masuk ke dalam tubuh Icha yang masih belum bisa mengkonsumsi makanan secara oral.
“Abah kok belum berangkat ke rumah Kak Rahman?” Tanya Icha melihat orang tuanya masih berada di Rumah Sakit.
“Kalau kami pergi, kamu sama siapa?” Tanya Ummi tidak habis fikir dengan kemauan Icha yang menyuruhnya meninggalkannya di Rumah Sakit sendiri.
“Kalau tidak ada yang datang, kak Rahman pasti curiga. Bilang saja Icha sedang ujian proposal. Tidak bisa datang.”
“Tapi, Cha. Bagaimana dengan kamu?” Tanya Abah yang juga keheranan.
“Kan ada banyak perawat di sini. Ada dokter juga. Tidak masalah Icha di sini. Icha titip salam saja buat Kak Rahman semoga bahagia.”
Ada rasa sakit menyelimuti kalimat terakhir Icha. Icha tidak menyangka perasaan pada Rahman ternyata sedalam itu. Dia fikir, perasaannya akan segera menghilang setelah Rahman pergi tahun lalu.
Perasaan Icha malah semakin dalam pada Rahman meskipun Rahman sudah lama pergi. Perasaannya ternyata bukan sekedar cinta monyet yang sekedarnya.
Penyesalan telah mengabaikan kebaikan Rahman dulu semakin menyakitinya. Apalagi Arga juga sudah memberitahukannya sebenarnya perasaan Rahman padanya tidak jauh berbeda, namun dia yang terlalu terlambat menyadari perasaannya.
Tak ku mengerti mengapa begini
Waktu dulu ku tak pernah merindu
Namun saat semuanya berubah
Kau jauh dariku
Pergi tinggalkanku
Mungkin memang ku cinta
Mungkin memang ku sesali
Pernah tak hiraukan rasamu dulu
Aku hanya ingkari kata hatiku saja
Namun mengapa kini cinta datang terlambat
Lagu berjudul Cinta Datang Terlambat milik Maudy Ayunda itu seolah mewakili penyesalan Icha saat ini. Seandainya dia sejak awal menyadari perasaannya pada Rahman, tidak menyangkal bahwa rasa sayang mereka hanya sebatas rasa sayang kakak beradik, mungkin saat ini Rahman masih berada di sisinya.

Bình Luận Sách (177)

  • avatar
    KERTASKEMBANG

    Aspal di pegunungan memang penuh dg lika liku. Namun, setelah tiba di pantai, kita akan dibuat takjub olehnya. Begitupun dengan cinta, yg penuh dg anu anuan 🤣🤣 semangat Kak Othor kesayangan 😘😘

    11/06/2022

      1
  • avatar
    Husainiezharith

    eitdiyits

    25d

      0
  • avatar
    AgfrinaEunike

    mantap

    13/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất