logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 GOSIP

“Kecentilan banget sih jadi cewek, suka cari perhatian sama cowok-cowok.” Ucap Nadia saat berpapasan dengan Icha di gerbang sepulang sekolah.
“Berhijab hanya karena ingin cari perhatian Kak Sakti. Idih rendahan sekali modusnya.” Ucap Nadia lagi.
Nadia merasa kesal, karena sejak aktif di kegiatan rohis sekolah, Icha semakin dekat dengan Kak Sakti. Apalagi sekarang Icha mengenakan hijab ketika sekolah. Semakin jengkel dia pada Icha.
Icha dan teman-temannya sangat ingin memukul mulut pedas Nadia yang selalu mengganggu hidupnya. Padahal Icha sama sekali tidak pernah mengganggu hidup mereka.
Icha tidak habis fikir, bagaimana urusan menggunakan hijab disangkut pautkan dengan mendekati kakak kelas.
Belum sempat Icha menjawab ungkapan sinis Nadia, Rahman sudah berada di sampingnya. “Lebih kecentilan pakai hijab atau baju seksi?.” Jawab Rahman yang ikut kesal melihat sendiri Icha diperlakukan seperti itu.
Selama ini Rahman hanya mendengar dari cerita-cerita Icha tentang Nadia dan teman-temannya yang sering membuat masalah dengannya. Saat itu Rahman berfikir hal itu wajar bagi anak-anak seusia Icha yang sedang pencarian jati diri, ingin diakui lebih dari yang lain. Menjadi primadona adalah kebanggaan bagi setiap gadis seusia Icha. Namun kali ini Rahman melihat sendiri kejadiannya.
Icha menoleh ke arah suara Rahman yang sudah berada di sampingnya. Sebenarnya dia ingin memaki-maki Nadia, cewek rese yang satu kelas dengannya selalu mengomentari pakaiannya sejak Icha mantap menggunakan hijab.
Namun Icha mengurungkan niatnya itu setelah melihat kehadiran Rahman dan membelanya di depan teman-temannya. Icha merasa sangat senang, baru kali ini dia di bela di depan umum.
Ingin rasanya Icha menjelaskan bahwa dia mengenakan hijab bukan karena ingin cari perhatian kakak kelasnya itu, namun semata-mata karena permintaan orang tua dan kakaknya yang memohon-mohon agar diselamatkan dari api neraka dengan dia memakai hijab.
Saat itu Icha masih mempunyai pendirian lebih baik memperbaiki diri terlebih dahulu sebelum menggunakan hijab. Karena baginya, dia yang merasa masih berakhlak buruk akan semakin tampak buruk ketika dia sudah mengenakan hijab namun masih bertahan dengan akhlak buruknya.
“Cha, memakai hijab bukan untuk yang berakhlak bagus aja. Berhijab itu syarat wajib setiap perempuan yang sudah baligh. Kalau sampai mati akhlak enggak pernah bagus, kapan mau memakai hijab?” Jawab Abah saat itu.
“Tapi, Bah, mengenakan hijab harus dibarengi dengan akhlak yang baik, sholat yang tepat waktu, sikap yang lemah lembut, suara yang halus, pengetahuan agama yang luas. Sementara Icha masih jauh dari semua itu.” Icha masih merasa keberatan dengan permintaan itu.
“Bisa-bisa seumur hidup kamu enggak pakai hijab, Cha.” Jawab Arga menggoda adiknya. Icha melempar bantal sofa ke muka kakaknya.
“Tuh kan, baru saja dibilangin, udah muncul sifat kasarnya.” Arga masih menggoda.
“Cha, anak sekolah dasar, yang mengenakan seragam putih merah itu hanya yang nilai akademiknya bagus atau semua?” Tanya Ummi lembut.
“Semua, Mi.” Icha menjawab pertanyaan umminya.
“Seragam sekolah menjadi syarat wajib siswa. Pinter enggak pinter, cerdas ataupun tidak cerdas, naik kelas ataupun tinggal kelas, semua mengenakan pakaian yang sama karena itu syarat wajib dia sekolah. Sama dengan hijab. Shalihah ataupun belum, dia wajib mengenakan hijab ketika dia sudah akil baligh.”
Icha kembali teringat saat-saat keluarganya memintanya mengenakan hijab. Hanya keluarganya dan Rahman yang tahu saat itu. sedangkan temannya tetap berfikir buruk tentangnya.
Icha manyun di mobil. Rahman memperhatikan Icha lalu tertawa. “Kenapa manyun begitu, bibirmu hampir nyampe ke kaca depan.” Rahman menggoda.
Icha memukul lengan Rahman. “Aku tuh pengen memaki-maki mereka. Menyumpal mulut mereka yang berisik.”
Rahman hanya tersenyum mendengar celotehan demi celotehan Icha sepanjang perjalanan pulang ke rumah.
“Abaikan saja. Dia lama-lama kesal sendiri kalau kamu abaikan.”
“Tapi mereka tiap hari ngomongnya enggak difilter sama sekali. Enggak sakit hati apa diomongin gitu?”
“Biarkan saja. Kita tidak bertanggung jawab atas apa yang mereka omongin tentang kita. Kita hanya bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan dan yang kita omongkan.”
“Tapi aku dianggep deketin kakak kelas. Sekarang kakak kelas kayak jijik ketemu aku.”
“Bagus dong, apa kamu mau diakakak kelas kamu bersikap kurang ajar karena dia berfikir kamu benar-benar menyukainya?”
“Enggak mau.”
“Ya udah. Besok aku antar jemput kamu ke sekolah sekalian aku kerja. Biar mereka enggak berfikir kamu sedang mengejar lelaki lain.”
“Beneran?”
“Iya.”
“Makasih, Kak.” Icha kembali ceria.
Inilah Icha yang Rahman kenal. Wanita manja tapi kuat. Kadang cengeng, kadang bikin orang nangis karena dia omelin.
“Kak.”
“Ya?”
“Kemarin aku denger ada tetangga ngomong yang enggak-enggak tentang Kak Rahman.”
Rahman yang memang sudah mendengar hal itu dari Arga hanya tersenyum. Icha semakin gemas melihatnya.
“Kok diem aja sih? Kak Rahman udah denger?”
Rahman masih tersenyum sambil masih fokus menyetir. Dia mengangguk pelan.
“Aku aja yang denger jadi emosi pengen menjahit mulut mereka yang bauk bangkai tau? Kenapa Kak Rahman malah senyum-senyum doang. Masak udah tua bangka gitu ngomongnya enggak difikir dulu.”
“Biarin aja.” Jawab Rahman singkat.
“Tapi ngomongnya kasar. Pedes banget di kuping. Udah gitu semua orang percaya lagi. Aku jadi kesel dengernya.”
Icha gemas dengan sikap cuek Rahman saat menghadapi masalah. Kalau itu terjadi padanya, dia pasti sudah mendatangi ibu-ibu komplek yang menjelek-jelekkan namanya lalu memaki mereka yang sok tahu dengan hidup orang.
“Enggak usah didengerin. Anggap aja enggak ada. Toh enggak akan ada yang berubah kalau mereka ngomongin buruk atau enggak.”
“Aneh banget sih, Kakak. Aku aja yang denger emosi banget. Kakak malah santai kayak di pantai.”
Rahman hanya tersenyum, pandangannya masih fokus di jalan, kadang sesekali melihat wajah menggemaskan Icha yang masih mengomelinya.
Bagi Rahman, melihat Icha yang perhatian sangat membuatnya senang. Apalagi sejak SMP Rahman sudah tinggal sendiri jauh dari rumah untuk menempuh pendidikan dan mendapatkan sekolah yang terbaik di kota karena orang tua mereka tinggal di pelosok desa.
Mendengar omongan buruk tentangnya sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Rahman. Sejak kecil dia sering diabaikan oleh orang-orang di sekitarnya karena ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Sehingga ketika Rahman tampak akrab dengan teman dengan status ekonomi yang lebih baik, dia akan dianggap parasit di keluarga itu. Makanya dia sangat senang berada di tengah-tengah keluarga Abah yang tidak memandang orang dari status ekonomi atau sosial.
Bagi Icha, setiap kali ada orang yang membicarakan buruk apalagi itu berita yang tidak benar, dia akan menghadapi orang itu lalu meminta penjelasan pada orang itu kenapa bisa ngomong yang enggak-enggak tentangnya.
Bahkan Icha lebih jantan dari pada abangnya, lebih sering berantem dari pada Arga. Icha tidak suka ada orang yang ngomong bohong apalagi diumbar untuk menjelek-jelekkan. Dia harus segera memberi pelajaran pada orang itu supaya tidak mengulanginya lagi.

Bình Luận Sách (177)

  • avatar
    KERTASKEMBANG

    Aspal di pegunungan memang penuh dg lika liku. Namun, setelah tiba di pantai, kita akan dibuat takjub olehnya. Begitupun dengan cinta, yg penuh dg anu anuan 🤣🤣 semangat Kak Othor kesayangan 😘😘

    11/06/2022

      1
  • avatar
    Husainiezharith

    eitdiyits

    26d

      0
  • avatar
    AgfrinaEunike

    mantap

    13/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất