logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Lika Liku Cinta Icha

Lika Liku Cinta Icha

Dewi Pooh


Chương 1 Pertemuan Kembali

“Icha....”
Langkah Icha terhenti mendengar suara yang sangat dikenalinya memanggilnya.
Suara ini, bukan suara yang asing baginya, meskipun sudah lima tahun lamanya tidak bertemu, tapi Icha masih hafal betul siapa pemilik suara lembut ini.
Icha tidak berani menoleh, dia hanya diam membisu, kepalanya menunduk dalam-dalam. Dia berusaha mengutuk dirinya sendiri, kemana kepercayaan diri yang sudah dia banggakan selama ini.
“Katanya sudah ikhlas, sudah lupa, sudah tidak mencintainya lagi. Tapi kenapa hanya mendengar suaranya saja, luruh sudah benteng pertahananmu?” Icha mengutuki dirinya dalam hati.
Pemilik suara itu mendekat, diapun masih hafal dengan sosok dibalik baju tunik kotak-kotak warna baby pink ini.
Rahman, lelaki itu sudah berdiri di depan Icha.
“Apa kabar?” Tanya Rahman membuyarkan lamunan Icha.
“Baik, Kak.” Jawab Icha tergagap. “Kakak kok disini?” sebenarnya dia ragu, apakah masih boleh memanggilnya begitu.
“Aku nyari kamu, punya waktu sebentar?” Tanya Rahman lembut.
“Tapi Kak, Mbak Ira tahu kakak kesini?” Tanya Icha ragu. Dia tidak mau ada berita bahwa dia bertemu dengan suami orang secara diam-diam.
“Aku disuruh Ira menemuimu.” Jawab Rahman. “Bisa?”
Icha menganggukkan kepala perlahan, dia masih bingung, kenapa Kak Rahman menemuinya, dan lagi Mbak Ira yang menyuruhnya. Apa yang sudah dia lakukan, apakah kemarin-kemarin dia mengusik hidup mereka lagi?
Icha tidak menemukan jawaban apapun. Dia hanya mengikuti langkah Rahman menuju suatu kafe dekat kantornya.
Setelah memesan, Rahman menatap wajah Icha lekat. Icha semakin menunduk. Apa yang salah?
“Apa kabar?” tanya Rahman lagi. Namun Icha hanya sedikit tersenyum, agak dipaksakan. Rahman sadar betul, dia harusnya tidak menanyakan hal itu. Ada rasa sakit mengiris hatinya saat melihat senyum yang dipaksakan itu.
Icha mengeluarkan obat dari dalam tasnya, lalu meminumnya sebanyak dua sendok.
Tanpa bertanya pun Rahman tahu, kondisi Icha sangat tidak baik. Lalu bagaimana Icha menjalani hidup lima tahun ini.
Setelah makanan datang, mereka berusaha untuk tetap makan dalam diam. Icha tidak tahu apa yang akan dibicarakan, tapi perutnya semakin sakit memikirkannya.
Apakah kurang jauh dia pergi, kenapa mereka masih menemukannya. Apakah luka yang dia miliki masih belum cukup untuknya, sehingga dia harus merasakan sakit yang lebih dari ini?
Perut Icha semakin sakit. Melilit. Rasa seperti ditusuk-tusuk, diiris secara lembut oleh sebilah pisau yang sangat tajam.
Rahman tahu Icha kesakitan dari wajah Icha yang sedikit merintih dan wajahnya memucat.
“Mau ganti bubur aja?” Tanya Rahman pelan.
Icha mengangguk, dia tidak mampu memaksakan nasi ini kemulutnya, kecuali dia pengen berguling semalaman karena kesakitan.
Rahman memesan bubur dan sup ayam. Tak lama pelayan itu datang membawa pesanan mereka.
Icha memakan perlahan, degub jantungnya masih sama, belum ada yang berubah. Dia juga menggerutu dalam hati, kenapa masih perhatian, harusnya dia cuek saja, nggak perlu memandangnya, nggak perlu memperhatikannya. Dengan begitu dia tidak akan galau lagi seperti ini.
“Pelan aja, Cha. Enggak perlu buru-buru.” Perhatian Rahman membuat air mata Icha kembali tergenang, namun dia berusaha menjaga supaya tidak tumpah.
“Kakak enggak kerja?” Tanya Icha setelah menyelesaikan makannya.
“Enggak. Ira sakit, aku sering dirumah.”
“Sakit apa?”
“Setelah melahirkan, kondisinya memburuk.”
Deg.
Ada sakit yang menjalar disekujur tubuhnya. “Wajar kan orang menikah kemudian mereka mempunyai anak, kenapa rasanya sesakit ini? Katanya ikhlas? Bukankah wajar Ira hamil setelah menikah? Kenapa harus sakit hati karena mereka mempunyai anak?” Icha semakin mengutuki perasaannya yang sangat memalukan.
“Dia tidak bisa duduk atau berdiri. Dia hanya terbaring di tempat tidur. Seluruh tubuhnya sakit, melakukan apapun dengan bantuan.” Rahman meneruskan ceritanya. Namun Icha masih sibuk bertengkar dengan fikirannya sendiri. Entah mana yang benar-benar masuk ke pikiran Icha.
“Diagnosa dokter apa?” Tanya Icha.
“Belum jelas, karena ini kejadian langka. Orang tiba-tiba lumpuh setelah melahirkan mungkin ada beberapa kasus, tapi Ira beda, seluruh tubuhnya sakit, seperti patah tulang di seluruh tubuh.”
“Bukannya biasanya orang melahirkan rasanya seperti semua tulang remuk ya, Kak?”
“Iya, tapi setelah melahirkan, semua kembali normal. Tapi tidak dengan Ira, dia semakin sakit setiap harinya.”
“Lalu kenapa Kakak kesini? Kakak nyuruh aku memaafkan Mbak Ira? Aku udah maafin, bukan aku yang menyebabkan dia sakit” Jawab Icha manyun. Apakah sakitnya Ira dianggap sebagai doa Icha yang tidak menginginkan mereka bahagia.
Rahman tersenyum, “Nggak ada yang nyalahin kamu, kamu enggak salah apapun. Dia cuma nyari kamu.”
“Kenapa?”
“Biar dia yang menjelaskan padamu. Kalau kamu berkenan, ikut aku kerumah.”
Tes. Air mata ini kenapa tiba-tiba menetes sih, Icha menggerutu. Lalu diusapnya dengan kasar. Rahman memperhatikan dengan perih. Namun dia harus mengendalikan emosinya. Ingin sekali dia memeluk perempuan yang sudah singgah di hatinya sejak hampir sepuluh tahun yang lalu.
“Kalau kamu enggak berkenan, aku tidak memaksa.”
“Aku telpon abah sama ummi dulu ya.” Icha meminta ijin.
Icha mengambil teleponnya, lalu menelepon umminya. Icha menceritakan pertemuannya dengan Rahman.
“Um, Kak Rahman datang ke kantor Icha.” Ucap Icha mengawali teleponnya.
“Nak, kamu baik-baik saja?” Jawab Ummi Icha.
Icha menangguk pelan, seolah kedua orang tuanya tahu. Air mata yang ditahannya semakin deras mengalir, mana mungkin dia baik-baik saja ketika seseorang ‘merebut’ orang yang dia cintai, tanpa bertanya kondisinya, tanpa bertanya perasaannya.
Lalu sekarang lelaki ini berdiri di hadapannya setelah lama tanpa kabar berita. Menemuinya seolah tidak ada yang pernah terjadi di antara mereka.
Rahman hanya menunduk, hatinya semakin sakit memandang Icha sesenggukan. Dia memberikan tisu yang ada di dekatnya.
“Icha, maafin siapapun yang kamu anggap menyakitimu, maafin dirimu sendiri. Kamu juga berhak bahagia, Nak” suara ibunya bergetar menahan tangis.
Kedua orang tua Icha saksi hidup, bagaimana Icha bertahan di lima tahun terakhir ini setelah Rahman menikah dengan Ira. Wanita yang tidak tahu darimana tiba-tiba mengatakan bahwa dialah perempuan yang akan menikah dengan Rahman.
Entah berapa kali Icha masuk rumah sakit, tekanan darahnya turun drastis, berat badan turun drastis dan kadar hemoglobinnya juga turun. Membuatnya semakin lemah, sering sakit tapi pura-pura kuat, pura-pura baik-baik saja.
“Doain ya, Um” pinta Icha, meski dia tahu tanpa memintanya pun kedua orang tuanya tak pernah tidak mendoakannya.
“Abah mau ngomong sama Rahman” suara Abah terdengar tegas, Icha menyerahkan telepon selulernya kepada Rahman.
Setelah mendapat telepon dan Rahman cuma menjawab iya iya saja. Telepon ditutup.
Icha menarik nafas dalam-dalam, lalu menghempaskannya. Berharap sesak yang dia rasakan sedikit berkurang.
Di kafe yang bernuansa outdoor begini pun dia merasa kekurangan oksigen. Lalu bagaimana di rumah Rahman nanti.
Tapi dia yakin, Rahman tidak mungkin mencelakainya. Meski dia tidak terlalu yakin dengan perasaan Rahman padanya saat ini, masihkah sama, atau semua sudah tercurah pada anak dan istrinya.
Haduh, sakit lagi.

Bình Luận Sách (177)

  • avatar
    KERTASKEMBANG

    Aspal di pegunungan memang penuh dg lika liku. Namun, setelah tiba di pantai, kita akan dibuat takjub olehnya. Begitupun dengan cinta, yg penuh dg anu anuan 🤣🤣 semangat Kak Othor kesayangan 😘😘

    11/06/2022

      1
  • avatar
    Husainiezharith

    eitdiyits

    26d

      0
  • avatar
    AgfrinaEunike

    mantap

    13/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất