logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 5

Setelah kejadian itu, Claire mulai mempercayai Han. Di awali cerita tentang Ken hingga kepergian ayah dan saudara laki-lakinya.
Sejauh itu Han bisa menjadi pendengar yang baik, sesekali Han juga mengahapus air matanya. Namun hal yang belum bisa Claire terima, ketika Han menyarankan untuk berdamai dengan Ken.
Permintaan sulit. Namun, Claire tidak memiliki pilihan selain mengikuti saran itu. Dan pagi hari, seminggu setelah Claire pindah ke sekolah barunya, dia menghampiri Ken di kelasnya. Laki-laki itu sedang duduk santai bersama teman-teman barunya.
“Adikku yang cengeng ini tidak biasanya datang kemari, apa kau rindu padaku?” tanya Ken.
“Aku minta maaf tentang kejadian hari itu.”
“Kejadian saat aku masuk rumah sakit atau kejadian saat aku menjelasakan hubunganku dengan Jenny?” tanya Ken serius.
“Kejadian saat kau masuk rumah sakit.”
“Hanya hipotermia bukan masalah besar,” ucap Ken acuh.
“Saat itu kau demam dan bersikeras menjemputku. Sean sudah menjelaskan semuanya, kau panik saat aku pergi sambil menangis. Kau menghubungi ibu, padahal kau tidak suka berurusan dengannya. Tapi yang aku lakukan justru sebaliknya,” ucap Claire.
Merasa tidak nyaman berada di tempat itu lebih lama. Claire kembali menuju kelasnya, mengabaikan tatapan orang-orang di sekitarnya.
Ketika bel sekolah berbunyi, Claire menemui Han yang menunggunya di depan sekolah. Laki-laki itu membawa banyak makanan dan berniat untuk piknik. Claire tersenyum kecil kemudian meminta Han masuk ke dalam mobil. Hari itu Claire merasa tenang menikmati udara musim panas di salah satu taman pribadi milik Whitney.
***
Selepas mengantar Han kembali ke apartemennya, Claire tidak langsung pulang ke rumah. Dia mendapat pesan singkat dari Ken, memintanya untuk datang ke restoran tempat dimana ibunya mengajaknya makan malam.
Suasana restoran itu tidak jauh berbeda dari yang Claire lihat malam itu. Tidak sulit mencari keberadaan Ken dengan suasana seperti itu. Claire duduk di kursi seberang Ken lalu memesan secangkir kopi tanpa gula. Dia tidak menyukai kopi namun Claire ingin meminumnya dalam kondisi hatinya yang kurang baik.
“Ibu pergi ke Jepang.”
Berawal dari berita itu, Claire sudah bisa menebak alasan ibunya tidak memberitahu tentang perjalanan itu. Dan keberadaan Ken menjelaskan peran laki-laki itu lebih penting di hidup Whitney. Dia tidak bisa menahan lagi, letupan emosi yang berusaha Claire pendam akhirnya meluap juga.
“Ken aku tanya sekali lagi, apa kau tidak pernah mencintaiku?”
Hening.
Claire menghapus air matanya lalu mengucapkan terimakasih pada pelayan yang mengantar pesanannya. Claire meneguk kopi itu, rasanya pahit. Tidak jauh berbeda dengan kenyataan di depannya.
“Aku ingin ke Jepang.”
“Jangan main-main Claire!” bentak Claire keras. “Ibu bukan dalam perjalanan bisnis atau liburan. Dia sedang menyembuhkan diri.”
“Kenapa aku harus mengalah dengan semua keputusanmu?” tanya Claire tidak percaya Ken melarangnya meskipun demi ibunya.
“Karena Whitney sendiri yang memintanya!”
Claire merasa pandangannya mengabur, orang-orang di sekitarnya berubah buram. Claire tidak merasakan apa-apa ketika semuanya menjadi gelap dan dunianya seolah berhenti tepat dimana kakinya berpijak.
Whitney tidak menginginkannya.
***
Melihat Claire terbaring lemah di ranjang perawatan, Ken tidak bisa melakukan apa-apa kecuali berharap pada Tuhan supaya keadaan Claire membaik. Sudah dua hari sejak peristiwa di restoran malam itu, Claire belum sadarkan diri. Menurut diagnosis dokter Claire tidak mengalami gejala gegar otak, kondisi tubuh gadis itu dalam keadaan sehat. Ken hampir mencekik dokter itu jika Sean tidak mencegahnya dan mengingatkan tentang kondisi Claire.
“Nona Claire pernah mengalami kejadian seperti ini saat tuan Mario meninggal,” ucap Sean menyadakan Ken dari lamunannya.
“Berapa lama dia bangun?”
“Cukup lama hingga nyonya Claire hampir menyerah dengan hidupnya.”
“Berita ini jangan sampai Witney mendengarnya,” pinta Ken serius.
“Sesuai perintah anda tuan.”
“Sean keluarlah dulu, aku ingin bersama Claire.”
Selama tujuh belas tahun hidupnya, Ken tidak pernah merasa takut akan sesuatu. Namun, ketika melihat Claire terbaring di ranjang perawatan, dia takut jika suatu hari Claire meninggalkannya.
Jujur saja, Ken tidak benar-benar mengabaikan perasaan Claire. Hanya saja Ken tidak bisa membalas perasaan itu meskipun dia ingin.
Ponsel yang berada di atas meja bergetar. Ponsel itu milik Claire, tidak sulit bagi Ken membuka kata sandi di ponsel itu. Tidak ada rahasia Claire yang tidak Ken ketahui. Namun, ketika mengetahui bahwa laki-laki itu yang menghubungi Claire, emosinya memuncak dalam sekejap.
Ken memutuskan sambungan itu lalu meletakkan ponsel itu kembali ke tempatnya, dia meraih tangan Claire dan menggenggamya. Ken berdoa dalam hati agar keajaiban itu datang sekali saja di hidupnya, dia tidak ingin hidup dalam rasa bersalah. Seandainya Claire sadar, dia berjanji tidak akan mencampuri urusan gadis itu. Asalkan Claire bahagia, Ken rela melakukan apa saja.
Meskipun kebahagiaan Claire bersama laki-laki itu.
***
Musim gugur, 2013
“Claire ibu ingin kau mengenalnya, dia seusia Glenn hanya saja lebih kurus. Kau temui dia di taman belakang, ibu masih ada pekerjaan. Sampai jumpa makan malam nanti.”
Claire memeluk boneka pandanya lebih erat sambil berjalan menuju taman belakang. Di sana seorang anak laki-laki sedang berjongkok di depan bunga Daisy yang dia tanam beberapa bulan lalu. Anak laki-laki itu tidak menyadari keberadaannya sehingga Claire bisa dengan mudahnya mengamati anak itu.
Rambut hitam yang lebat, kulit putih pucat dengan raut wajah murung. Claire belum pernah melihat anak seusia itu dengan wajah penuh kesedihan. Berbeda sekali dengan Glenn yang ceria. Sayang sekali Glenn tidak bisa menemaninya hingga tumbuh besar. Seandainya anak laki-laki itu bisa menggantikan Glenn, Claire pasti sangat senang.
“Hai aku Claire pemilik bunga itu, kau siapa?” tanya Claire ramah.
“Ken.”
“Ken ya?” Claire berusaha mengingat nama itu. Dia pernah mendengar seseorang menyebutnya, tiba-tiba Claire berteriak keras. “Kakak!”
“Berhenti berteriak, telingaku bisa tuli.”
“Kau anak yang dibicarakan ibu. Ternyata kau lebih mengesankan dibandingkan cerita ibu.” ucap Claire dengan mata berbinar.
“Kau berisik.” Sahut Ken kesal.
“Mulai sekarang kau adalah kakakku.”
Claire bersenandung riang seolah lupa dengan kesedihan yang dilaluinya tahun lalu ketika ayahnya dan Glenn meninggal. Claire tidak mengira dia bisa melupakan kejadian itu setelah melihat Ken berada di rumahnya. Untuk kedepannya, Claire berharap Ken bisa bersikap hangat seperti Glenn yang selalu menyayanginya.
“Aku bukan kakakmu.”
Senyum Claire memudar, boneka panda itu terlepas dari pelukannya, matanya mengabur dan detik berikutnya Claire menangis keras hingga pelayan yang berada tidak jauh dari tempat itu menghampirinya dengan panik.
“Apakah anda baik-baik saja nona Claire?”
“Dia jahat.” Claire menunjuk Ken dengan air mata bercucuran. “Dia bilang bukan kakakku padahal ibu yang membawanya kemari.”
“Nona kembali ke kamar ya.” bujuk pelayan itu lembut.
“Aku mau dia jadi kakakku!”
“Tuan Ken keadaan psikologis nona claire sedang tidak baik, dia baru saja terbangun dari koma. Tidak apa-apa menganggapnya sebagai adik asalkan dia senang. Aku mohon pada anda.” ucap pelayan itu sesekali membujuk Claire agar berhenti menangis.
Ken memejamkan matanya sejenak. “Baiklah mulai sekarang kau adikku.”
Perlahan tangis Claire mereda, diraihnya boneka panda itu lalu dipeluknya. Claire menarik Ken menuju kamarnya, di sana Claire menunjukkan koleksi foto-fotonya bersama Glenn.
Claire bercerita hingga sore, tidak menyadari Ken tertidur di bahunya, raut wajah itu terlihat damai tidak seperti wajah yang Claire lihat di taman tadi.
“Ken sangat tampan, saat besar nanti kau pasti lebih tampan.”
Pada usia sembilan tahun untuk pertama kalinya Claire ingin cepat menjadi dewasa dan jatuh cinta.
***
“Apa kau bilang? Claire tidak ada di rumah sakit?!”
Ken berteriak keras hingga rapat itu terpaksa di hentikan. Dia setuju pergi ke perusahaan dan menitipkan Claire pada Sean. Tapi tidak disangka Claire pergi saat penjagaan Sean lengah. Bahkan jejak kepergian Claire tidak terlacak, Ken menahan emosinya lalu membubarkan rapat itu dalam satu kalimat. Dia berlari menuju parkiran lalu mengendarai mobilnya menuju rumah sakit, pikirannya tertuju pada Han. Pasti ada kaitannya dengan laki-laki itu.
Setengah jam kemudian Ken tiba di rumah sakit dan menemukan Sean sedang menunggunya di lobi. Raut wajah laki-laki paruh baya itu pucat seolah baru saja melihat hantu.
“Ada kabar tentang Claire?” tanya Ken panik.
“Tidak ada tuan. Menurut informasi, laki-laki bernama Han sedang berada dalam perjalanan menuju Paris. Dia sama sekali tidak mengetahui keadaan nona Claire kecuali,” Sean menahan kalimatnya. “Nona Claire sudah siuman sejak kemarin.”
Ken mengabaikan kalimat Sean, dia kembali menuju mobilnya lalu meminta Sean untuk menghubungi semua pengawal yang biasa mengikutinya untuk mencari Claire. Membayar mahal orang-orang itu sama sekali tidak berguna.
Setelah menemukan Claire, dia akan memecat semua pengawal itu. Ken menambah kecepatan mobilnya menuju bandara, mengingat karakter Claire, dia yakin gadis itu pergi ke Jepang. Tidak ada yang menghalangi keinginan Claire meskipun orang itu adalah ibunya sendiri. Namun, jika Whitney melihat Claire berada di sana, Ken yang terkena imbasnya.
Whitney sudah berpesan supaya Claire tidak pergi ke Jepang bagaimanapun caranya. Dan Ken sudah kehilangan gadis itu sebelum Ken memberitahu alasan Whitney melarang Claire berada di sana.
Menjelang sore Ken tiba di bandara, jalanan macet total dan dia harus terjebak di tengah keramaian. New York saat musim panas sangat mengesalkan, berulangkali Ken memaki pada sopir taksi yang menyalip tanpa memperhatikan rambu lalu lintas.
“Nona Claire tidak berada dalam daftar penumpang.”
Ken menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk pada salah satu pengawal yang mencari Claire di bandara. Dia mengedarkan pandangannya pada sekeliling bandara itu dan tidak menemukan Claire di antara keramaian. Satu-satunya cara dia harus bertanya pada laki-laki itu. Dan Ken tidak bisa bertanya saat ini, dia harus menunggu hingga laki-laki itu tiba di Paris.
“Maaf tuan, kami tidak bisa menemukan keberadaan nona Claire.”
Pengawal yang tadi melapor datang lagi, Ken menatap pengawal itu tajam. “Kalian semua tidak berguna. mengawasi gadis kecil saja tidak bisa. Jika Whitney tahu putrinya hilang, kalian semua akan kehilangan pekerjaan!”
“Beri kami kesempatan sekali lagi.”
“Cari Claire sampai seluruh New York. Aku tidak ingin laporan sebelum Claire di temukan!”
“Baik, Tuan Ken.”
“Dasar segerombolan sampah!”
Menjelang malam, tidak ada informasi apa pun mengenai Claire. Ken menghapus keringat yang mengalir di keningnya, dia sudah mengelilingi seluruh bandara, bertanya pada petugas dan jawabannya tidak melihat gadis itu. Mustahil bertanya pada orang-orang di tengah keramaian. Tidak ingin membuang waktunya di tempat itu, Ken kembali melanjutkan perjalanan menuju tempat yang sering Claire kunjungi.
Tempat pertama yang Ken datangi adalah restoran tempat makan malam terakhir mereka. Dan Ken tetap tidak menemukannya, dia sudah bertanya pada pelayan yang bekerja di sana dan jawabannya tetap sama. Ken tidak menyerah, dia mendatangi semua tempat-tempat persinggahan Claire. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan Claire, gadis itu jauh lebih pintar sekarang.
Ponselnya berbunyi dari balik saku, nama Whitney tertera di sana. Ingin rasaya mengabaikan panggilan itu tapi Ken tidak bisa melakukannya.
“Ken apa yang terjadi di perusahaan? Dewan direksi bilang kau pergi di tengah rapat. Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” tanya Whitney beruntun begitu Ken menempelkan ponselnya di telinga.
“Aku memiliki urusan di luar.”
“Jaga kesehatanmu dan perhatikan Claire dengan baik, sejak kecil Claire memiliki masalah psikologis. Aku tidak bisa lama-lama dan jangan biarkan dia pergi ke Jepang lakukan apa saja untuk menahannya.”
“Kau seharusnya menyimpan rahasia keberadaanmu. Untuk apa menyampaikan kabar itu jika hanya membuatku dalam posisi sulit?!” Ken mulai kehilangan kesabaran.
“Sebagai penerus kau harus memiliki kekuatan.”
“Aku tidak butuh perusahaanmu!”
Sambungan itu berakhir sepihak, Ken tidak bisa mengeluarkan amarahnya pada Whitney. Selalu seperti itu, dia kalah telak bila berhadapan dengan perempuan itu.
***

Bình Luận Sách (134)

  • avatar
    Fadilah

    kerenn

    27/05

      0
  • avatar
    Siapa ?Saya

    ceritanya menarik banget

    23/01

      0
  • avatar
    surianieAnne

    👍👍👍

    03/01

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất