logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Rose Sang Violinis

Gwen kembali memperlihatkan video Miss Black kepada Rose.
"Miss Black tidak pernah memperlihatkan wajahnya di video. Yang terlihat hanya bagian pundak ke bawah. Tapi justru sisi misteriusnya ini yang membuat orang-orang semakin penasaran."
"Sepertinya kamu salah satu penggemar Miss Black, Gwen."
"Iya. Aku berharap suatu hari bisa menguak identitas Miss Black yang sebenarnya."
Dering ponsel Rose menghentikan obrolan mereka. Gwen melirik sebentar dan melihat nama "Daddy" muncul di layar ponsel Rose.
"Itu dari ayahmu, Rose?" tanya Gwen penuh selidik.
"Aku pulang duluan Gwen. Nanti aku akan menelponmu," kata Rose melambaikan tangannya.
Gwen mengerutkan kening melihat sikap aneh.Rose. Setiap kali ada panggilan dari "si Daddy", Rose selalu buru-buru pergi. Ia penasaran apakah ayahnya Rose seorang pria yang sangat galak sehingga putrinya sampai ketakutan.
Sembari memastikan tidak ada orang yang mengikutinya, Rose berjalan menuju ke parkiran. Ia membuka pintu mobil lalu menerima panggilan tersebut.
"Ada apa, Daddy?" tanya Rose.
"Nona, Anda ada dimana sekarang?"
Mendengar suara pria yang sudah akrab di telinganya membuat Rose tersenyum. Selama tujuh tahun terakhir, Denzel tak henti memperhatikannya. Pria itu tidak hanya bertindak sebagai wali tapi juga setia menjadi mentor dan pelindungnya.
Denzel sangat protektif terhadap Rose. Walaupun pelaku pembunuhan Louis Brown telah dipenjara, Denzel yakin jika supir pribadi Louis bukanlah pelaku sebenarnya. Kemungkinan besar sang dalang pembunuhan justru masih berkeliaran dengan bebas di luar.
Denzel juga mengajari Rose berbagai macam hal tentang dunia properti sekaligus menjalankan perusahaan dengan baik. Sedangkan Rose hanya diperbolehkan bekerja di belakang layar. Tidak ada satu pun karyawan maupun manajer yang mengenali Rose sebagai pemilik Brown Group.
Denzel adalah pengganti sosok ayah bagi Rose. Karena itu Rose memanggilnya dengan sebutan Daddy. Denzel pun tidak keberatan dipanggil seperti itu meskipun ia lebih pantas menjadi kakak Rose. Rose merasa sangat beruntung memiliki Denzel di sisinya. Apalagi pria itu mengabaikan kehidupan pribadinya sendiri demi melaksanakan amanat ayahnya. Hingga kini Denzel belum menikah maupun terlihat menggandeng seorang kekasih.
"Aku masih di kampus, sebentar lagi akan pulang."
"Jangan lupa makan siang, Nona. Sudah membaca proposal perumahan Lancewood?"
"Sudah. Aku menyukai konsepnya. Aku setuju jika kita memulai proyek pembangunannya bulan depan."
"Kalau begitu nanti malam saya akan ke rumah Nona untuk mengambil proposal. Sekalian mengantarkan dokumen kesepakatan dengan Grand Corp. Nona harus menandatanganinya sebelum hari Kamis."
"Tidak perlu. Besok aku akan datang ke kantor setelah mengikuti audisi biola. Aku merindukan suasana kantor."
Rose mengatakan itu dari lubuk hatinya. Terkadang ia sangat merindukan kantor Brown Group karena disitulah tersimpan banyak kenangan ayahnya. Di ruangan CEO, Rose bisa melihat foto-foto sang ayah dan beberapa benda kesayangannya. Meskipun Rose harus menyamar, itu tidak masalah baginya.
"Nona, Anda harus berhati-hati jangan sampai...."
"Iya, aku mengerti. Aku akan menyamar seperti biasanya. Jangan lembur lagi hari ini, Daddy. Sampai jumpa besok di kantor," ucap Rose menutup telponnya.
****
Kompleks pemakaman Saint Lorenz tampak lengang di sore hari. Seorang pria muda berjalan memasuki gerbang sambil membawa buket mawar merah. Ia sengaja memakai topi dan kacamata hitam untuk menyamarkan wajahnya. Yah, dia tidak ingin memancing pemberitaan di media jika sampai ada orang yang mengenalinya.
Pria itu berhenti di sebuah nisan berwarna putih. Pusara yang terbuat dari granit itu tampak bersih dan terawat. Di atas batu nisan tertulis sebuah nama dengan tinta emas, Jessica Brown. Pria itu bersimpuh lalu meletakkan bunga mawar yang dibawanya.
Sejenak ia diam tak bergerak, seolah merenungi sesuatu.
"Mama, besok aku akan kembali. Sebenarnya aku tidak ingin meninggalkan kota ini, tapi aku sudah berjanji akan melaksanakan pesan terakhir Mama. Aku tidak akan membiarkan anak dari selingkuhan Papa menguasai harta keluarga Brown. Bila perlu aku akan membalas perbuatan ibunya yang sudah membuat Mama menderita."
Pria itu memanjatkan doa dengan tulus. Dengan berat hati, ia meninggalkan makam ibu angkatnya dan berjalan meninggalkan area pemakaman.
Setelah sampai di mobil, pria itu mengambil ponselnya. Ia menghubungi pelayan setianya sebelum kembali ke apartemen.
"Sam, apa semua baju dan barang-barangku sudah dimasukkan ke dalam koper?"
"Sudah, Tuan Muda."
"Bagus. Jam enam pagi aku harus berangkat ke bandara. Aku pergi dengan penerbangan pertama. Tolong persiapkan semua keperluanku. Jangan ada yang tertinggal."
"Baik, Tuan Muda."
Pria itu mengakhiri panggilannya. Berikutnya jari jemarinya berselancar dengan lincah di dunia maya. Ia sedang mengumpulkan berita dan artikel mengenai pewaris utama Brown Group. Pasalnya hingga kini ia tidak pernah muncul di publik. Para relasi bisnis pun belum pernah bertatap muka dengan wanita ini karena semua urusan diwakilkan kepada asistennya. Mereka hanya mengenalnya sebagai Miss Black.
Seulas senyum dingin tercetak di bibir pria itu. Memperlihatkan lesung pipit yang menghiasi paras tampannya.
"Mungkin kamu bisa bersembunyi dari dunia. Tapi kamu tidak akan lepas dari tanganku. Kita lihat sampai berapa lama kamu bisa bersembunyi dariku, Miss Black,"
gumam pria itu mengepalkan tangannya.
***
Ruang audisi sudah dipenuhi oleh para peserta. Rose memandang ke kiri dan ke kanan, mencari tempat duduk yang masih kosong.
"Rose sebelah sini," teriak seseorang memanggilnya.
Rose berpaling dan melihat gurunya, Mr. Robert, duduk di deretan bangku nomor tiga dari belakang. Di sebelah Mr. Robert ada seorang gadis berbaju merah. Gadis itu tak lain adalah Anneth. Entah mengapa Anneth muncul di acara audisi. Yang jelas kehadirannya pasti memiliki tujuan tertentu.
"Maaf, Mr. Robert, saya terjebak kemacetan," kata Rose meletakkan tas biolanya di bawah kursi.
"Aku kira kamu tidak akan datang, Rose," sindir Anneth.
"Audisinya baru dimulai sekitar lima menit lagi. Apa kamu sudah mempersiapkan diri, Rose? Aku yakin lagu Vivaldi tidak sulit untukmu."
"Iya, saya sudah berlatih semalam. Semoga penampilan saya tidak mengecewakan."
Tak berselang lama, dewan juri duduk di kursi masing-masing. Pembawa acara mulai memanggil peserta audisi untuk bersiap di belakang panggung. Anneth bisa menangkap bias kecemasan di wajah Rose dan itu membuatnya senang.
"Mr. Robert, saya harus ke belakang panggung sekarang. Saya mendapat nomor urut sepuluh," pamit Rose.
"Bersemangatlah, Rose," ucap Mr. Robert memberikan dukungan.
Anneth berdiri dan membisikkan sesuatu pada Rose.
"Hati-hati, Rose. Sainganmu adalah para senior. Jangan sampai kamu gugup dan melakukan kesalahan di atas panggung."
"Iya," jawab Rose singkat.
Berdiri sambil menantikan giliran, membuat detak jantung Rose naik turun bagai roller coaster. Ini adalah pengalaman pertamanya tampil di hadapan umum. Ditonton langsung oleh sekian pasang mata memberikan tekanan tersendiri bagi Rose. Tapi ia tidak bisa mundur. Bagaimanapun ia harus mampu mengatasi rasa gugupnya.
"Peserta nomor sepuluh, Nona Rose Carter."
Rose menarik nafas dalam-dalam. Bermodalkan keyakinan, Rose membawa biolanya ke atas panggung. Ia mengucapkan salam kepada dewan juri kemudian mulai menggesek senar biolanya.
Alunan Concerto in A Minor terdengar memenuhi seluruh ruangan. Dengan lincah jemari kiri Rose bergantian menahan senar, sementara tangan kanannya menggerakkan bow secara teratur. Sungguh lagu yang dimainkan Rose mengalun sempurna. Temponya juga sangat pas sehingga membuat penonton terhanyut dalam permainan biolanya.
Dari kursinya, Anneth membelalak tak percaya. Ia tidak mengira Rose memiliki kemampuan sehebat itu sebagai violinis pemula. Bahkan ia bisa menandingi keahlian para seniornya.
Tepuk tangan penonton membahana usai Rose menyelesaikan lagunya. Mr. Robert sampai berdiri dari duduknya karena bangga atas penampilan Rose.
Berbanding terbalik dengan yang dialami Anneth. Rencana yang telah disusunnya gagal total. Justru ia melakukan kesalahan besar dengan mendaftarkan Rose sebagai peserta audisi. Kini Rose malah mendapat apresiasi dari semua orang. Dan lebih parahnya lagi, ia bisa terpilih oleh dewan juri untuk mengikuti konser.
"Shit! Aku tidak akan membiarkan Rose berada di atas angin. Aku akan mencari cara lain untuk mempermalukannya," batin Anneth kesal.
****
Rose baru selesai mandi dan mengganti bajunya dengan setelan blazer. Ia butuh menyegarkan diri setelah melewati proses audisi yang menegangkan. Namun ia bersyukur karena semua usahanya tidak berakhir sia-sia. Impiannya mengikuti konser besar akan terwujud dalam waktu dekat.
"Rose, keluarlah. Tuan Denzel mencarimu," seru Lily mengetuk pintu kamar Rose.
"Iya, Auntie, aku segera turun."
Rose menyisir rambutnya lalu bergegas menuruni tangga. Tidak biasanya Denzel mengunjunginya di sore hari kecuali ada masalah kantor yang mendesak.
Setengah berlari, Rose menuju ke ruang tamu. Ingin sekali rasanya dia berbagi kebahagiaan dengan Denzel.
"Daddy, kenapa kesini? Aku baru saja akan berangkat ke kantor. Maaf jika aku terlambat karena aku menunggu pengumuman hasil audisi," jelas Rose.
"Saya ingin menjemput Nona. Saya pikir Nona pasti lelah jika harus menyetir sendiri sehabis mengikuti audisi."
"Aku tidak selemah itu, Daddy. Jangan meremehkanku. Sekarang aku sudah menjadi wanita dewasa, bukan anak-anak lagi."
"Bagaimana hasil audisinya, Nona?" tanya Denzel penuh perhatian.
"Aku lolos audisi dan terpilih mengikuti konser," ujar Rose kegirangan.
Tanpa sadar, Rose menghambur ke pelukan Denzel. Tindakan Rose yang tiba-tiba membuat Denzel terkesiap, namun ia membiarkan gadis cantik itu nyaman dalam dekapannya.
Rose yang menyadari kelakuannya menjadi malu. Ia melepaskan diri dari Denzel sambil meminta maaf.
"Maaf, Dad, aku terlalu gembira sehingga bersikap kekanak-kanakan."
"Tidak apa-apa, Nona. Bagaimana kalau nanti kita makan malam bersama untuk merayakan keberhasilan Nona," tanya Denzel mencairkan suasana.
"Baiklah, aku setuju, Daddy," ucap Rose tersenyum.
Denzel mengalihkan pandangannya dari Rose. Menatap gadis itu terlalu lama tidak akan baik untuk dirinya.
"Mari Nona kita berangkat ke kantor," ujar Denzel mendahului Rose.
Rose keheranan dengan sikap Denzel yang mendadak berubah dingin.
"Apa dia marah karena aku memeluknya?" pikir Rose merasa tidak enak hati.

Bình Luận Sách (175)

  • avatar
    Aisyah ZhaThan

    cerita nya seru dan bikin penasaran

    01/06/2022

      0
  • avatar
    SahlaArum

    semangat yup

    10d

      0
  • avatar
    ardian putra

    Sangat luar biasa

    18d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất