logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Talak

"Kau bukan pengganggu, Fea," sergah Aryan.
"Tapi aku terganggu," potong Alfea. "Cepat talak aku, Mas! Karena aku tahu, kau takkan pernah melepaskan dirinya dan memilihku. Aku sudah mendengar semuanya jadi segeralah talak aku," tegas Alfea berusaha terlihat tegar, padahal dalam hatinya hancur.
Bibir Aryan bergetar, sungguh ia berat untuk mengatakan kalimat itu. Ia sungguh berat melepaskan Alfea. Andai Alfea bisa memberikannya keturunan, ia takkan mungkin melakukan hal yang dapat menyakiti Alfea. Tapi Alfea telah membuat keputusan, hal ini tak bisa dicegah lagi. Memang benar apa yang Alfea katakan, ia akan lebih memilih Dilla yang sedang mengandung anaknya karena hal ini telah ia nantikan sejak lama. Ia tak mungkin mengambil anaknya saja tanpa menghiraukan Dilla. Ia takkan tega pada janda satu anak itu. Ia takkan tega memanfaatkan Dilla sekadar untuk memberinya keturunan.
"Mas," lirih Dilla dengan wajah yang sudah basah oleh air mata. Aryan lantas menoleh dan mengusap punggungnya untuk menenangkan. Lalu ia mengangguk sebagai isyarat, jangan khawatir.
"Fea, kau tahu kan Dilla seorang janda. Apalagi ia memiliki seorang anak yang kini telah aku anggap seperti anakku sendiri, jadi aku tak mungkin menelantarkan dirinya dan memanfaatkannya hanya untuk memberikanku keturunan saja. Jadi maaf, aku lebih memilih Dilla. Jujur, aku sangat mencintaimu, Fea. Tapi aku bertanggung jawab pada Dilla, aku tak bisa melepaskannya. Maka dari itu, mulai hari ini, aku… Alfino Aryan Aldebaran, menjatuhkan talak padamu Alfea Nalingkas binti Zergio Azka. Mulai hari ini kita bukan suami istri lagi," putus Aryan dengan suara bergetar.
Tanpa ia sadari, bulir kristal meluruh dari sudut matanya. Sungguh berat rasanya melakukan ini, namun ia harus segera membuat keputusan. Tak pernah terpikirkan olehnya akan berpisah dengan Alfea. Biarlah ia simpan rasa cinta itu. Harapnya, suatu hari nanti Alfea dapat menerima dan memaafkannya kembali. Bila itu terjadi, ia berjanji akan menjadikan Alfea ratu dalam hidupnya. Pemilik hatinya, satu-satunya.
Alfea yang mendengar kalimat yang diucapkan Aryan hanya bisa tersenyum getir.
'Hebat banget kamu, Mas. Kamu lebih memilih menjandakan istrimu sendiri demi janda lain,' lirih Alfea Nalingkas dalam hati.
"Baiklah. Selamat ya, Dilla, kau menang. Ingat satu hal, takkan bahagia seseorang yang hidup di atas penderitaan orang lain, apalagi cara yang kalian lakukan ini salah. Dengan menghancurkan ketulusan dan kepercayaanku, kalian menikamku. Tapi tak apa, ini adalah pilihanku. Kalah tak selalu pecundang. Jadi, silakan bereskan barang-barang kalian dan keluar dari rumah ini!" titah Alfea tenang.
"Mas, kenapa kita yang harus keluar? Dilla tidak mau!" rengek Dilla tak terima disuruh keluar dari rumah besar itu.
Alfea mengangkat kedua alisnya ke atas, ingin rasanya ia tertawa melihat ekspresi tak terima wanita itu diusir dari rumah besar itu.
"Alfea benar, Dilla. Kita memang harus keluar dari rumah ini."
"Tapi kenapa? Bukankah ini rumah milikmu?" cecar Dilla masih tak terima harus pergi dari rumah itu.
"Tidak, Dilla. Ini rumah Alfea. Rumah ini memang aku beli sebagai hadiah pernikahan dariku untuknya," jelas Aryan pada Dilla.
"Tapi, Mas."
"Sudah Dilla, cepat bereskan barang-barangmu dan Nara! Kita harus segera pergi dari sini," sergah Aryan.
Ia sadar diri, ia harus keluar dari rumah itu segera. Ia yakin, dibalik wajah tenang Alfea pasti tersimpan kesakitan luar biasa. Ia tak bisa berlama-lama di sana karena itu hanya akan menambah rasa sakit Alfea.
Dilla pun menuruti perintah Aryan dan segera masuk ke dalam kamarnya untuk membereskan barang-barang miliknya dan Nara, putrinya. Setelah selesai, ia membangunkan putrinya Nara yang baru berusia 2 tahun dan menggendongnya keluar dari kamar itu.
Begitu pula Aryan, ia segera memasukkan semua barang-barang miliknya ke dalam sebuah koper besar. Tak lupa ia mengambil foto pernikahannya dan Alfea lalu ia selipkan diantara baju-baju miliknya.
Aryan tersenyum getir seraya menyapukan matanya ke sekeliling kamar, mengenang masa-masa indah bersama Alfea selama 3 tahun ini. Di satu sisi ia merasa sangat bahagia karena akhirnya ia bisa memiliki keturunan, tapi di sisi lain hatinya hancur karena harus kehilangan satu-satunya wanita yang menguasai hatinya. Ada harga yang harus ia bayar demi mendapatkan seorang anak, harga yang begitu mahal, harga yang tak ternilai.
Dipandanginya figura foto ia dan Alfea yang masih tergantung di dinding kamar. Ia usap wajah cantik perempuan yang kini bukan istrinya lagi itu. Aryan tersenyum dengan bibir gemetar, "Aku mencintaimu, Fea. Sangat," lirihnya hingga tanpa sadar air matanya tumpah membasahi pipi. Ia usap kasar air mata itu, lalu berlalu dari kamar yang ia tempati selama 3 tahun ini bersama mantan istri tercintanya. Ya, kini Alfea telah menjadi mantan istrinya, mantan istri tercintanya.
Begitu tiba di ruang tamu, dapat ia lihat tatapan kosong Alfea. Hatinya ikut hancur melihat pemandangan itu.
Aryan menggeret kopernya melewati Alfea, mendekati Dilla. Ia tak sanggup menatap mata itu, mata yang menyiratkan kehancuran.
"Aku pergi, Fea. Jaga dirimu baik-baik. Aku akan segera mengurus surat perceraian kita. Terima kasih karena telah membersamaiku selama ini. Selamat tinggal, Fea," lirih Aryan tanpa memalingkan wajah menatap Alfea.
Setelah kepergian Aryan dan Dilla, tangis Alfea pun pecah. Ia hancur, ia sekarat. Hatinya hancur, hatinya meradang. Sekuat-kuatnya seorang wanita, pasti ia akan hancur bila orang yang ia cintai ternyata lebih memilih perempuan lain. Yang lebih menghancurkannya, perempuan yang menghancurkan rumah tangganya adalah perempuan yang ia tolong. Ia lah yang membawa perempuan itu masuk ke dalam rumahnya, ke dalam rumah tangganya. Dia sendirilah yang membawa duri ke dalam pernikahannya. Menyesal pun sudah terlambat, kini ia harus berjuang sendiri. Ia harus kuat, bukan hanya untuk dirinya tapi untuk buah hatinya yang kini menghuni rahimnya.
"Mengapa dirimu datang di saat tak tepat seperti ini, Nak? Mengapa tidak sejak dulu kau hadir agar bunda bisa tetap bersama ayah? Tapi bunda tidak menyesali kedatanganmu yang terlambat, Sayang. Berkatmu, bunda ada semangat hidup. Bila tidak, mungkin bunda akan lebih hancur lagi. Terima kasih sayang telah hadir untuk bunda. Terus tumbuh sehat lah, Sayang. Hanya kamu penyemangat bunda saat ini. Bunda mencintaimu," lirih Alfea sembari mengusap perutnya yang masih rata.
***
Flashback 3 bulan yang lalu.
"Bagaimana anak-anak, kalian sudah paham kan cara perkalian bilangan pecahan?" tanya Alfea pada anak didiknya.
Ya, Alfea adalah seorang guru di SD Mahatma. Ia mengajar khusus pelajaran matematika di kelas 5. Ia sudah mengabdi di sekolah itu selama 5 tahun.
"Mengerti, Bu!" seru anak-anak kelas 5A serentak.

Bình Luận Sách (142)

  • avatar
    Mohd shukeriNorhidayu

    bagus

    07/07

      0
  • avatar
    MuharmanImam

    mantap. cuy

    26/06

      0
  • avatar
    Sri Hartati Partll

    suka

    08/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất