logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Sampai di Serang

Bersekutu Dengan Iblis
Part 3
***
Tak sampai setengah jam, aku sudah kembali dari musala yang ada di dalam kapal. Dari pintu masuk aku melihat Nova sedang beranjak tidur, dengan cara menyandarkan kepalanya ke jendela kaca serta mengangkat kedua kakinya ke atas kursi. Posisinya seperti orang meringkuk, tapi dalam keadaan duduk.
"Loh … Va, katanya tadi kamu mau salat, nggak jadi apa? Kok malah mau tidur? Udah cepetan sana pergi ke musala, mumpung kamu belum keburu tidur. Tadi di musala juga lagi sepi kok, nggak ada banyak orang," tanyaku, saat sudah sampai di kursi panjang tempat duduk kami, sambil memandang sahabatku yang sudah bersiap akan beranjak tidur.
Nova menjauhkan kepalanya dari jendela kaca, dia lalu memandangku sekilas. "Nggak akh, San. Aku lagi males. Nanti lagi aja salatnya, sekarang aku mau tidur dulu, udah ngantuk banget, mataku rasanya lengket, susah mau dibukanya. Nanti malah nggak khusyuk salatnya soalnya ketiduran," jawab Nova beralasan, seraya menaruh kepalanya kembali ke posisi semula, bersandar di jendela kaca.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil menarik napas panjang melihat perilaku sahabatku itu. Dan aku tak berusaha memaksanya untuk pergi salat ke musala. Sebab aku pikir saat ini bukan waktu yang tepat untuk membujuk Nova agar segera menjalankan perintah Allah tersebut. Aku lalu kembali duduk di samping Nova, dan meluruskan kedua kaki di atas kursi panjang sembari mengoleskan minyak kayu putih ke seluruh bagiannya serta memijat kedua kakiku perlahan. Berharap bisa mengurangi rasa pegal yang kian terasa. Wajar saja sebetulnya, sebab aku berjalan sejak turun dari dalam bus menuju ke dermaga lima Pelabuhan Bakauheni, tempat dimana Kapal Jatra bersandar yang jaraknya sekitar dua setengah kilometer, tentu akan membuat pegal siapa saja yang melintasi jembatan penyebrangan pelabuhan itu.
Kebetulan penumpang 'Kapal Jatra' agak sepi, sehingga tidak semua bangku yang ada di dalamnya penuh terisi. Jadi aku dan Nova bisa memakai kursi panjang tempat kami duduk sekarang dengan leluasa. Kami memakai kursi tersebut hanya untuk berdua, yang biasanya kursi itu digunakan untuk duduk enam orang penumpang, jika kapal sedang ramai. Seperti pada waktu mudik lebaran Idul Fitri, hari Natal dan tahun baru. Pada saat itu, semua kursi dan lorong kapal pasti akan terisi penuh, bahkan tak jarang banyak di antara penumpang yang duduk atau berdiri di luar ruangan kapal, karena tidak memperoleh tempat duduk yang ada di dalam. Saat ini aku dan Nova bisa menaruh tas milik kami masing-masing di atas kursi yang masih longgar. Kakiku juga bisa berselonjor di atasnya. Sedangkan kantong plastik berisi makanan ringan kami taruh di atas meja yang ada di depan kursi panjang itu.
Jarum jam di tangan kiriku telah menunjukan waktu pukul setengah dua belas malam. Tapi mata ini belum juga bisa aku pejamkan, padahal sebenarnya aku juga merasa amat mengantuk. Beberapa kali aku menguap karena rasa kantuk yang datang menyerang. Tapi entah kenapa, aku sulit sekali untuk tidur.
Aku mengambil keripik singkong balado dan air mineral dari dalam kantong plastik, yang aku beli di Terminal Rajabasa sebelum naik bus tadi. Aku lantas mulai makan keripik singkong balado itu dengan perlahan, dengan harapan bisa menghilangkan rasa kantuk, atau malah bisa tertidur sekalian. Tapi, sampai makanan ringan dan air mineral tersebut habis tak bersisa, aku tetap saja merasa mengantuk, namun tak juga bisa tertidur. Entah kenapa.
Aku menoleh ke arah tempat duduk Nova. Terlihat sahabatku itu sedang tertidur dengan amat pulas. Mungkin dia memang sangat mengantuk dan ditambah lagi dengan rasa lelah badan serta pikiran. Penumpang yang lain pun sama. Mereka tampak sedang tertidur dengan nyenyak. Hanya ada dua orang ibu yang terlihat masih belum tidur seperti aku. Kedua orang ibu itu sedang berdiri menggendong bayi mereka masing-masing seraya mengayun-ayun dan bersenandung kecil. Suasana di dalam kapal sangat sepi. Hanya terdengar suara TV yang masih menyala, itu pun suaranya tidak begitu jelas terdengar. Jadi suara senandung kedua orang ibu itu lumayan jelas terdengar di telingaku, sebab jarak mereka berdua berdiri tak jauh dari kursi tempatku duduk.
Aku beranjak dari duduk, lalu berjalan menuju keluar ruangan kapal. Di luar, tampak beberapa orang lelaki sedang berdiri di pinggir kapal. Mungkin mereka juga tidak bisa tidur, sama seperti aku. Atau hanya sekadar menikmati suasana malam. Entahlah. Aku lalu ikut berdiri agak jauh dari para lelaki itu.
Sejauh mata memandang, hanya terlihat gelapnya malam. Tak ada cahaya bintang ataupun bulan di atas langit. Angin laut berembus menerpa wajah serta tubuhku, hingga terasa menusuk sampai ke tulang. Namun anehnya, mataku tetap tak juga bisa dipejamkan.
Aku melihat ke ruangan dalam melalui jendela kaca. Tampak Nova masih terlelap dalam tidurnya, seakan tak sedang mempunyai masalah. Padahal apa yang saat ini sedang dia alami, menurutku adalah sebuah persoalan yang cukup besar dan sulit untuk dipecahkan.
Setelah lebih dari setengah jam aku berada di luar ruangan kapal, terlihat dari kejauhan cahaya terang, tanda kalau tak lama lagi kapal akan segera sampai di dermaga Pelabuhan Merak. Aku lantas kembali masuk ke ruang dalam kapal. Tak lama berselang, terdengar suara pengumuman agar para penumpang kapal bersiap-siap, sebab sebentar lagi kapal akan segera merapat di dermaga Pelabuhan Merak.
"Va bangun. Nova … Va bangun, Va. Kita bentar lagi sampai di Pelabuhan Merak," kataku berusaha membangunkan Nova yang masih tertidur nyenyak dengan menepuk-nepuk kedua pipi gadis itu.
Tak lama kemudian, Nova pun terbangun. Perlahan dia membuka matanya, dan menatapku sebentar. Dia lalu menggeliat, merentangkan kedua tangan ke atas seraya menautkan semua jemarinya.
"Udah jam berapa sekarang, San?" tanya Nova beberapa saat kemudian.
"Hampir jam dua belas," jawabku, sembari melihat jarum jam di tangan kiriku.
Aku dan Nova lalu membereskan barang bawaan kami masing-masing dan segera menuju ke pintu keluar kapal. Kami kemudian ikut mengantri bersama dengan penumpang yang lain, menunggu kapal merapat di dermaga.
"San, kita cari makan dulu yuk, sebelum naik bus ke Serang. Aku lapar," kata Nova, ketika kami sedang berjalan menuju ke Terminal Bus Merak.
"Boleh. Mau nyari makan apa kita?" Aku balik bertanya.
"Terserah kamu aja."
"Aku sedang ingin makan lontong sayur, Va."
"Ngaco kamu, San. Mana aja orang yang jual lontong sayur tengah malam kayak gini. Ada juga pagi hari, waktu orang pada nyari sarapan."
"Kita coba cari dulu, siapa tahu ada," ucapku keukeuh. Entah kenapa, tiba-tiba aku kok ingin sekali makan lontong sayur, meskipun sebetulnya dalam hati aku membenarkan ucapan Nova. Memang jarang ada orang yang berjualan lontong sayur pada malam hari. Para pedagang itu kebanyakan menjual lontong sayur saat pagi hari, waktunya orang sarapan. Tapi barangkali saja ada yang jual di sini, mengingat pelabuhan buka selama 24 jam sehari.
"Ya udah terserah kamu aja, San. Semoga aja ada yang jualan di tempat ini."
Kami berdua lantas berjalan menyusuri koridor yang menghubungkan terminal bus dengan bagian depan Pelabuhan Merak. Di sepanjang jalan, berjejer pedagang yang menjual berbagai jenis makanan, baik yang siap saji maupun dalam kemasan. Ada juga yang menjual bermacam oleh-oleh khas Lampung dan Banten.
"Nah, Va. Ini dia yang jual lontong sayur," kataku seraya menghentikan langkah di depan sebuah kios makanan. Jari telunjuku menunjuk ke sebuah tulisan yang ada di etalase kaca kios tersebut. 'Sedia : lontong sayur dan nasi uduk.'
Aku dan Nova kemudian duduk di bangku panjang yang ada di dalam kios itu. Di atas meja, terdapat sebuah etalase untuk menaruh bermacam lauk pauk. Ada tempe goreng, bakwan, telur dadar dan telur mata sapi, sate usus, telur puyuh, ati ampela, ayam goreng serta telur rebus. Aku lalu memesan lontong sayur dan telur rebus, sedangkan Nova memesan nasi uduk dan ayam goreng. Kami kemudian makan dalam diam, tanpa berbincang sedikit pun.
"Kira-kira nanti kita sampai di rumah saudara kamu jam berapa, Va?" tanyaku, setelah selesai makan.
"Sekitar satu jam dari sini."
"Maaf, kalau Ibu boleh tahu, memangnya Neng berdua pada mau pergi ke mana?" tanya si ibu penjual lontong sayur, yang sepertinya sudah memperhatikan aku dan Nova dari tadi.
"Kami berdua mau pergi ke Serang, Bu. Apa bus jurusan Serang masih ada ya, Bu. Kalau jam segini?" jawab Nova, sambil balik bertanya.
"Tentu saja masih ada, Neng. Di sini itu, 24 jam bus datang dan pergi gantian, nggak pernah berhenti. Tapi kalau Neng berdua pingin cepat, naik bus-nya jangan yang ada di dalam terminal, Neng. Bakalan lama kalau naik bus yang di sini sih, soalnya ngetem nunggu penumpang," kata si ibu panjang lebar.
Aku dan Nova saling berpandangan sambil mengerutkan dahi.
"Jadi kami harus naik bus yang ada di mana, Bu? Biar bisa langsung berangkat?" tanyaku.
"Nanti Eneng naik busnya di luar terminal aja. Nunggu bus yang jurusan Merak Jakarta di depan Alfa sana," jawab si ibu seraya jari telunjuknya menunjuk ke arah luar terminal. "Terus dari sini Eneng nanti bisa naik ojek, minta diantar sampai depan Alfa," lanjut si ibu.
Aku dan Nova manggut-manggut. Setelah kami membayar semua makanan yang kami pesan, kami berdua pun pamit sembari mengucapkan banyak terima kasih pada ibu penjual lontong sayur itu, atas informasi yang dia berikan.
Kami segera mencari tukang ojek yang sedang mangkal menunggu penumpang, dan meminta agar mengantarkan kami sampai di depan Alfa, seperti petunjuk ibu penjual lontong sayur tadi.
Benar saja, tak sampai lima belas menit aku dan Nova berdiri menunggu di depan Alfa, bus Primajasa jurusan Kampung Rambutan - Merak melintas. Bergegas kami berdua naik dan duduk di bangku belakang sopir yang kebetulan masih kosong.
"Mau ke mana, Mbak?" tanya Pak Kernet setelah bus berjalan beberapa meter.
"Ke Serang, Pak," jawabku sembari memberikan uang lembaran lima puluh ribu rupiah. Dan mendapat kembalian tiga puluh ribu rupiah.
Di sepanjang jalan, aku dan Nova tidur. Karena hari memang masih larut malam dan aku sudah amat mengantuk, sebab selama dalam perjalanan dari mulai berangkat di Terminal Rajabasa kemarin sore, aku memang belum tidur sama sekali, meskipun sebentar. Ditambah lagi lampu dalam bus dimatikan, sehingga membuat mata terasa nyaman untuk terpejam.
"Mbak … Mbak bangun, Mbak. Mbak bangun, ini sudah sampai terminal Serang."
Samar-samar aku mendengar suara orang membangunkanku, sembari menepuk pundak. Perlahan aku membuka mata, tampak Pak Kernet sedang berdiri di depanku dan lampu dalam bus sudah kembali menyala.
"Sudah sampai Serang, Mbak," kata Pak Kernet mengulangi, begitu dilihatnya aku sudah terbangun.
"Oh … iya, Pak. Terima kasih," ucapku.
Aku menoleh ke arah Nova, dia masih tertidur pulas.
"Va bangun. Nova … bangun, Va. Kita udah sampai Serang," kataku membangunkan Nova seraya mengguncang-guncangkan tangannya.
Sahabatku itu perlahan membuka matanya lalu menatapku.
"Kita sudah sampai terminal Serang, Va. Ayo turun," ajakku sembari beranjak dari tempat duduk.
Aku dan Nova segera turun dari dalam bus dan kami lalu mencari taxi untuk mengantar ke rumah Tante Ningsih, saudaranya Nova.
"Ke Jeranak Banjarsari ya, Pak," kata Nova pada supir taxi, setelah aku dan Nova naik.
"Baik, Neng. Jalannya lebih dekat lewat Polda atau RSS Pemda, Neng?" tanya bapak supir taxi itu.
"Sama saja sih, Pak. Cuma kalau lewat Polda saya nggak begitu hapal arah-arahnya," jawab Nova.
"Kalau gitu kita lewat RSS Pemda aja, Neng."
"Iya, Pak."
Dan taxi yang kami kendarai pun perlahan meninggalkan Terminal Pakupatan Serang menuju ke rumah Tante Ningsih.
"Va, memangnya saudara kamu itu sudah tahu, kalau kita mau datang ke rumahnya?" tanyaku sesaat setelah taxi melaju di jalan raya. Sebab aku merasa tak enak hati saja, bertamu ke rumah orang tengah malam. Khawatir akan mengganggu waktu istirahat yang punya rumah.
"Aku sudah bilang kok ke Tante Ningsih, kalau kita mau datang hari ini ke rumahnya. Tadi waktu kita masih di kapal. Lagian di rumah saudaraku itu selalu ada orang yang jaga malam. Ya kayak orang ronda gitu, khusus jagain rumah dia aja kalau malam hari," jelas Nova.
"Ohh … gitu, soalnya aku nggak enak hati aja, datang bertamu ke rumah orang tengah malam gini," kataku sambil manggut-manggut.
Nova hanya tersenyum menanggapi.
Sekitar dua puluh menit kemudian, taxi yang kami kendarai sampai di depan sebuah rumah tingkat berpagar besi warna hitam. Nova segera membayar ongkos taxi, dan kami berdua segera turun.
Aku mengamati keadaan sekitar rumah saudara Nova yang terlihat sepi. Di depan kami berdiri sebuah bangunan modern yang minimalis. Di halaman depan dan samping rumah tersebut terdapat sebuah taman dengan beraneka macam tumbuhan. Di halaman depan ada dua buah pohon beringin yang sudah dibonsai, dua buah pohon palem mini, sebuah pohon mangga yang di batangnya terdapat beberapa jenis bunga anggrek. Sedangkan di halaman samping ada sebuah ayunan dan di sekelilingnya ditanami pohon bunga mawar, melati, bunga kertas, bunga sepatu dan bunga kamboja merah. Semua tanaman yang ada di dalam taman tersebut tertata dengan amat rapi, membuatnya terlihat cantik dan indah dipandang mata.
***
Bersambung

Bình Luận Sách (218)

  • avatar
    Fino Chipeng

    lopee

    22h

      0
  • avatar
    CHANNELBETAWI

    sangat bagus

    6d

      0
  • avatar
    Adenata123Arganta yuda

    halo

    17d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất