logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

4. Suatu hal yang familiyar

"Ada makanan nggak, kak?" tanya Ifan menginjakkan kaki di ruang makan. Seragam sekolahnya telah berganti dengan pakaian santai. Celana pendek dan kaos hitam polos. Rambutnya basah karena sisa air wudhu. Terlihat berdamage sekali.
Artha yang sedang mengecek lemari menoleh, lalu menggeleng. "Kosong. Nggak ada apa-apa."
Ifan melipat tangannya di depan dada. Dia melipat bibirnya, memikirkan akan makan apa mereka siang ini. Stok makanan tidak ada. Ayahnya kerja dan pulang malam. Rigan di kampus dan baru pulang pukul setengah tiga atau mungkin sore. Malang sekali nasib adik kakak ini.
"Makan diluar aja gimana?" Ifan menyuarakan idenya.
Artha berfikir sejenak. "Hm, boleh juga. Ayo deh."
"Skuy!" seru Ifan semangat.
***
Ifan membelokkan scopynya ke sebuah rumah makan yang ada di pinggir jalan. Rumah makan besar berspanduk 'Nasi Padang Terserah.'
Artha melepas helmnya lalu turun dari motor disusul Ifan. Keduanya melangkah memasuki rumah makan yang tampak ramai. Maklum saja, ini jadwalnya makan siang.
"Mau makan apa?" tanya Ifan pada Artha yang sedang berjinjit melihat menu di etalase.
"Nasi, ayam bakar, kuah gule, kerupuk kulit, sambal ijo, sama dendengnya jangan lupa," jawab Artha sembari menunjuk menu yang bersangkutan.
Ifan menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis fikir. Artha kalau makan, nasinya dikit lauknya banyak. Pantas saja kurus, kurang asupan karbohidrat. Setelah menyebut ulang pesanan Artha dan pesanan dirinya pada si pelayan, Ifan berlalu mencari tempat duduk.
Rumah makan ini mengusung konsep bambu runcing yang di pernis. Semua parabot disini terbuat dari bambu kecuali etalase dan seperangkat alat makan. Dimulai dari dinding bambu yang dipasang jarang agar ada celah untuk orang ketiga. Lantai bambu berwarna coklat yang terlihat estetik. Kap lampu yang terbuat dari bambu. Meja bambu, kursi bambu dan pelantaran tempat lesehannya juga dari bambu. Bahkan rumah makan ini menyediakan sebuah callage bagi para pembeli yang berminat untuk ikut. Callangenya adalah menghabiskan satu porsi dendeng balado carolina raper. Siapa yang bisa akan mendapatkan sertifikat dan gelas bambu estetik sebagai hadiah.
Artha menatap lurus ke arah jendela di depannya. Memang, mereka duduk lesehan di samping jendela. Kios boba yang diberi spanduk diskonan menjadi objek yang ditatap Artha. Bibirnya terangkat, lalu menoleh ke arah Ifan yang sibuk makan kerupuk kulit yang memang tersedia di atas meja.
"Fan," panggil Artha, membuat laki-laki itu mendongak, mengangkat kedua alisnya.
"Mau kesana," ujarnya menunjuk kios boba lima ribu diseberang.
Ifan memasukkan satu kerupuk lagi ke mulutnya lalu menggeleng dengan kening berkerut. Dia meremas plastik bekas kerupuk kulitnya lalu disimpan ke dalam saku celana. Dia tidak menemukan keberadaan tong sampah, jadi dibuang nanti saja saat mau pulang. Benar-benar cinta lingkungan.
Artha manyun, menatap Ifan dengan raut wajah dibuat sedih. "Yah, padahal pengen banget."
Ifan menghela nafas. Menatap kakaknya itu dengan tatapan sebal. Menatang-mentang hafal dengan kelemahannya, Artha semena-mena memanfaatkannya. "Yaudah. Beli sana."
Seketika wajah Artha berubah cerah. Menatap Ifan dengan senyum yang merekah indah. "Beneran?"
"Iyaa. Beli tiga. Buat gue sama Bang Igan," ujar Ifan kembali meraih satu bungkus kerupuk kulit, membukanya lalu memakannya dengan tiga kali kunyah satu kerupuk. Lagian, makanannya belum juga datang. Padahal perut sudah lapar.
Artha mengangguk kemudian beringsut turun dari pelantaran lesehan. Dia memakai sendal jepitnya terburu-buru lalu berlalu pergi keluar dari rumah makan. Dari tempatnya, Ifan hanya bisa memandang sembari geleng-geleng kepala. Kakaknya itu betulan terlihat seperti bocil. Ifan merasa seperti melindungi seorang adik jadinya.
Artha melangkah dengan perasaan riang gembira walau mukanya hanya datar saja. Dia terlalu malas berekspresi dan lebih nyaman dengan raut triplek. Dia menunduk, melihat jam dipergelangan tangannya. Jam tiga gumamnya tanpa sadar melangkah memasuki jalan raya dan kebetulan ada mobil yang melaju kencang dari arah jam tiga. Hampir saja. Sedikit lagi tubuh itu akan terhempas menggesek jalan raya kalau saja seseorang tidak menarik lengan Artha dengan cepat. Bahkan Ifan yang menatap dari dalam rumah makan lewat jendela dibuat terbelalak dan langsung berlari keluar. Menghiraukan kerupuk kulitnya yang masih sisa tiga. Makanan mereka yang sudah siappun Ifan suruh bungkus saja.
Artha, si korban yang hampir mati tersentak saat lengannya di tarik kuat. Dia mendongak, bertemu tatap dengan pangeran tanpa kuda yang menyelamatkannya. Gadis itu mengerjap polos seolah tak sadar bahwa dalam hitungan menit yang lalu dia akan bertegur sapa dengan malaikat maut. Wajah datarnya terlihat biasa-biasa saja seakan tak terjadi apa-apa. Padahal si Ifan sudah lari tunggang langgang menghampiri Artha dengan raut wajah panik.
"Kalau nyebrang tuh liat kiri kanan, bukan nunduk," ucap si pangeran tanpa kuda menatap Artha dengan sedikit gurat khawatir.
Artha masih tak paham. Dia mengangkat sebelas alisnya, hendak buka mulut bertanya tapi urung karena Ifan yang datang sembari berteriak. Ngos-ngosan sudah nafas Ifan. Padahal jarak dari rumah makan ke trotoar jalan tidak sejauh jarak aku dan kamu.
"Kenapa, Fan?" tanya Artha bingung.
Ifan menatap Artha dengan mata terbelalak. Orang panik karena dia hampir mati masih sempatnya nanya kenapa? Sadar tidak sih kakaknya ini. Apa jangan-jangan tidur dan tadi sedang ngigo?
"Lo hampir aja melayang di udara kalau aja ini orang nggak narik tangan lo!" omel Ifan.
Artha beralih memandang pangeran tanpa kuda yang ternyata adalah teman sekelasnya. "Eh, Tirtha?" Artha baru sadar.
"Lo hampir ketabrak. Lain kali hati-hati," ujarnya mengusung senyuman manis.
Artha melebarkan bola matanya saat tau apa yang sebenarnya terjadi. Ifan sendiri ingin sekali menepuk jidat kakaknya itu. Kadang-kadang pintar, kadang-kadang lemotnya melebihi jaringan E.
"Beneran?!"
"Iya," jawab Tirtha. Tadinya Tirtha sedang nongkrong di warung dekat rumah makan itu. Sibuk mengedarkan pandangan, matanya tertarik ke arah kios boba lima ribuan diseberang. Dia menawarkan teman-temannya minuman itu dan mereka mau. Lumayan, murah. Karena itu, Tirtha pergi untuk menyebrang. Namun dia malah melihat Artha menyebrang dengan kepala menunduk padahal ada mobil yang melaju kencang. Tanpa babibu, Tirtha langsung berlari menarik lengan gadis itu agar kembali naik ke trotoar.
"Aduh. Makasih, udah nolongin aku," ujar Artha. "Nggak tau lagi bakalan kayak gimana kalau beneran ke tabrak," lanjutnya.
Tirtha mengangguk. "Mau beli boba?" tanyanya.
"Iya."
"Yaudah, bareng aja. Gue juga mau beli boba," ajak Tirtha.
"Nggak usah. Sama gue aja." Ifan yang sejak tadi mengamati Tirtha dari atas sampai bawah menyahut. Tatapan laki-laki itu berubah tak bersahabat.
"Nasinya gimana?" tanya Artha.
"Nanti gue urus. Ayo, beli boba," ajaknya menarik tangan Artha. Gadis itu hanya menurut dan melempar senyum tak enak ke arah Tirtha. Adiknya ini aneh sekali.
Tirtha menatap kepergian dua manusia itu dengan kerutan bingung. Ada banyak pertanyaan di dalam kepalanya dan salah satunya itu siapa? Dia merasa familiyar dengan wajah bocah yang bersama Artha. Pernah ketemu tapi lupa dimana. Akhirnya Tirtha mengedikkan bahunya acuh. Memilih meyebrang untuk membeli boba juga.
***
Ifan dan Artha sedang menyantap makanan yang mereka beli tadi di ruang tengah sembari menonton ftv. Kejadian tadi kembali terlintas di pikiran Ifan. Bukan bagian ketika Artha hampir innalillahi melainkan ketika dirinya bertemu dengan laki-laki yang menyelamatkan Artha. Rasanya dia pernah melihat lambang yang ada di jaket Tirtha. Laki-laki itu juga pernah dia temui tapi lupa dimana. Hadeuh, Ifan ingin flashback tapi tak bisa.
"Assalamualaikum," salam Rigan yang baru pulang ngampus. Laki-laki itu melangkah mendekati Ifan dan Artha, mendudukkan bokongnya disebelah Ifan yang sibuk melamun sambil mengaduk-aduk nasinya. Salam Rigan saja tidak dijawab dua curut itu karena sibuk dengan aktivitas masing-masing.
"ASSALAMUALAIKUM!" ulang Rigan dengan suara tinggi membuat yang punya telinga terkaget. Ifan sontak menoleh, mendapati wajah datar bercampur gurat lelah milik abangnya.
Ifan nyengir. "Waalaikumsalam."
Rigan menghela nafas. Dia meletakkan barang bawaannya di atas meja. Kresek hitam beraroma mie ayam. Artha yang lesehan dibawah sontak menatap kresek itu. "Apaan tuh?" tanyanya.
"Mie ayam."
Artha seketika berbinar. "Buat aku?"
"Iya."
Artha langsung menyambar plastik itu, tak peduli lagi dengan nasi padangnya yang mengemis untum dihabiskan. Ifan yang melihanya menarik kresek itu dari Artha, menyembunyikannya di balik punggung. "Maruk banget anaknya Irfan. Itu nasi dihabisin dulu. Kasihan. Nanti nasinya nangis," omel Ifan, membuat Rigan terkekeh pelan.
Artha menekuk wajahnya. Lantas tanpa berkata apapun, dia melanjutkan menghabiskan nasi padangnya yang tinggal separuh. Dia memakannya dengan cara tidak santai kemudian menatap Ifan dan Rigan dengan wajah sendu. "Kenyang," rengeknya dengan pipi tembem berisi nasi.
Rigan terkekeh pelan. Gemas sekali dengan adiknya yang satu itu. "Tarok situ aja dulu. Biar nanti abang yang makan."
Artha mengangguk, meletakkan nasinya di atas meja. Menyeruput bobanya, Artha tersedak boba karena menghisapnya terlalu kuat. "Uhuk! Uhuk!"
"Hati-hati!" seru Irfan dan Rigan serempak.
Artha memukul-mukul dadanya lalu mendongak, nyengir lebar ke arah duo pangeran yang memutar bola mata mereka malas. "Bobanya enak. Hehe."
"Udah mandi belum?" tanya Rigan, menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Hari ini dia lelah sekali. Ingin cepat-cepat lempar badan ke atas kasur tapi harus memperhatikan duo curut ini terlebih dahulu.
"Belum." Artha kembali nyengir.
"Yaudah mandi dulu sana. Nanti lanjut lagi makan mie ayamnya. Nggak baik makan banyak-banyak." titahnya.
Artha mengangguk patuh. Bangkit dan berlalu pergi menaiki tangga menuju kamarnya. Rigan menatap punggung adiknya yang sudah lenyap dari pandangan. Dia menghela nafas lagi, membuat Ifan menoleh.
"Kenapa? Abang udah makan?" tanya Ifan kembali menyuapkan nasi ke mulutnya.
"Udah tadi." jawab Rigan seadanya. Dia memang sudah makan tadi, pagi. Kegiatan Rigan saat di kampus terlalu padat, membuatnya tak sempat makan nasi. Hanya satu bungkus roti dan sebotol air mineral yang mengisi lambungnya.
"Makan aja lagi. Gue tadi udah masak nasi sama beli lauknya."
Rigan menggeleng. "Artha gimana di sekolah? Ada yang jahatin?"
"Sejauh ini enggak. Kak Artha udah dapet kenalan, dua orang kalau nggak salah tapi nggak tau namanya," jelas Ifan.
"Cowok cewek?"
"Cowok cewek."
"Jagain dia, Fan. Ini kan baru pertama kali Artha berbaur sama orang luar dan terkesan baru. Abang takut kalau nanti dia kenapa-napa."
"Pasti," jawab Ifan semangat. Apapun untuk Artha.
"Soal makan jangan sampai lupa. Dia suka lalai. Sarapan nggak mau. Jajan micin banyak. Makan nasi jarang. Abang nggak mau magnya kambuh," ujar Rigan lagi.
Ifan mengangguk. "Aman soal itu mah."
Rigan menoleh, menatap Ifan yang masih sibuk dengan nasinya. "Jagain dia baik-baik, Fan. Maaf karena Abang jarang merhatiin kalian karena sibuk sama urusan kampus."
Ifan tersenyum, menepuk-nepuk bahu Rigan. "Sans. Kita sama-sama punya kewajiban yang harus kita lakuin."
Rigan mengangguk. Dia bangkit dari duduknya. "Abang mau ke kamar. Kalau ada yang mau diomongin, ke kamar aja."
"Iya."
***
Tirtha melambungkan kunci motor ke udara kemudian menangkap dan melambungkannya lagi. Tatapan laki-laki itu kosong seperti sedang menerawang jauh. Wajah laki-laki yang tadi siang bersama Artha kembali memenuhi kepalanya. Anak itu, kenapa Tirtha merasa pernah bertemu dengan anak itu? Ada flashback yang ingin dia ingat tapi susah sekali. Tirtha rasa ada suatu kejadian yang melibatkan dirinya dengan bocah itu.
"Kenapa, Tha?" Bayu datang sembari menepuk bahu Tirtha, menarik laki-laki itu kembali pada eksistensi nyata.
Tirtha tersentak lalu menoleh. Mendapati Bayu sedang mendalami isapan rokoknya. "Kapan dateng?"
Bayu menghembuskan polusi udara dan paru-paru. "Baru aja. Ke rumah bang Zaka kuy. Malam ini ada pertemuan sama itu senior."
Tirtha mengangguk. Lantas kedua laki-laki itu bangkit menghampiri motor mereka yang perparkir indah dibawah pohon mangga didepan gedung reyot yang mereka sebut basecame. Mereka menaiki motor ninja berlogo garuda dilindugi perisai itu, lalu tancap gas menuju rumah Zaka yang katanya senior.

Bình Luận Sách (56)

  • avatar
    Rici Gustina

    btw cerita ini bgss bgtt gk ngebosanin

    8d

      0
  • avatar
    LIEANORYACASSANDRA

    sangat baik

    10d

      0
  • avatar
    ArvensyahRiki

    saat menari

    23/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất