logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Artha's Life

Artha's Life

Anfisor


1.Hari Pertama di Sekolah Baru

Burung berkicau merdu, beriringan dengan teriakan seseorang di depan pintu kamar yang meredam merdunya kicauan burung. Laki-laki berperawakan tinggi yang sudah rapi dengan outfit kampusnya kembali menggedor pintu kamar bertuliskan "Diwajibkan membaca salam dan dilarang berteriak. Jika anda tidak mematuhinya, GUE SLEPET BARU NYAHO!!" Gaje sekali memang yang punya kamar.
"ARTHA! BANGUN, DEK! SEKOLAH!"
"IYA!"
Laki-laki itu bernafas lega setelah mendengar sahutan dari si pemilik kamar. "CEPET BANGUN! KITA SARAPAN BARENG DI BAWAH!"
"IYA!"
Laki-laki itu tersenyum, tak lagi berteriak. Sulung keluarga Yunanda itu memilih menuruni tangga menuju ruang makan. Bergabung dengan yang lain dan menunggu Artha disana. Itupun kalau gadis itu mau sarapan. Sebagai kakak tertua, Rigansyah De Yunan paham dengan kebiasaan adik-adiknya. Terutama yang perempuan. Susah bangun pagi, tidak suka sarapan, ceroboh dan malas keluar rumah kalau tidak ada kepentingan mendesak. Adiknya yang satu itu sangat susah di atur. Lebih susah dari yang laki-laki.
Selepas kepergian Rigan, cowok dengan seragam SMA yang baru saja keluar dari kamar sebelah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Rigan. Berdiri di depan kamar berpintu gelap sembari berteriak dan menggedor-gedornya.
"KAK ARTHA! BANGUN! SEKOLAH!"
"IYA! UDAH BANGUN!"
Sahutan dari yang punya kamar adalah tujuan utamanya. Setelah mendengar suara Artha, Ali Yunan Rifansyah melangkah pergi. Menyusul Rigan yang sudah lebih dulu bergabung di meja makan.
"Mana kakaknya?" tanya pria paruh baya yang berstatus kepala keluarga disana. Irfan Yunanda. Duda muda beranak tiga.
Ifan menarik kursi lalu duduk di sana, kemudian menatap Irfan. "Masih di kamarnya."
"Udah bangun?" tanya Irfan.
"Udah."
Semuanya menoleh, menatap tuan putri yang baru saja menginjakkan kaki di ruang makan dengan wajah malas. Seragam putih abu-abunya sudah melekat rapi di tubuh kecilnya. Tas juga sudah tersampir di bahunya. Meartha Lovegani Yunan benar-benar sudah siap untuk bersekolah.
"Anak papa udah rapi aja. Sini sarapan dulu," ujar Irfan dengan senyum lebar.
Artha--begitu orang-orang memanggilnya--melangkah mendekati tiga pangeran yang sibuk sarapan. Artha tidak suka sarapan, tapi dia tetap menarik kursi untuk bergabung dengan para pangeran. Sekedar menemani mereka saja.
Irfan menatap Artha sembari mengunyah roti yang telah dia olesi dengan slai. Sarapan pagi keluarga Yunan memang ala kadarnya karena disini tidak ada asisten rumah tangga yang bisa memasak makanan untuk mereka. Mau menyuruh Artha yang memasak, takut rumah terbakar. Lebih baik ala kadarnya dan mengenyangkan dari pada yang susah tapi membahayakan nyawa.
"Beneran mau sekolah?" tanya Irfan memastikan tekad putrinya untuk bersekolah di sekolah umum. Pasalnya, semenjak SMP sampai kelas satu SMA, Artha homescholing. Anak itu terlalu malas berbaur dengan teman-temannya dan juga sedikit takut dengan kasus pembulyan yang sedang marak-maraknya.
Namun entah kenapa, saat naik ke kelas sebelas, Artha meminta untuk sekolah di sekolah umum. Berbaur dengan tumpukan buku di perpustakaan dan upacara di halaman. Katanya bosan homescholing, mau punya teman.
"Iya, pa. Aku mau sekolah. Capek sekolah di rumah," jawab Artha meletakkan ponsel yang tengah dia mainkan. Irfan selalu mengajarkan pada anak-anaknya agar berhenti melakukan sesuatu disaat orang lain sedang berbicara.
"Sekolah di mana?" timpal Rigan yang juga sedang menikmati sarapannya.
"Di SMA Dwi Bakti, sama kayak aku," sahut Ifan.
Rigan beroh. Tak lagi bertanya dan fokus pada sarapannya. Ifan menatap Artha, kakak tercinta yang sangat amat dia sayangi. "Kak Artha Penelope mau bareng gue nggak ke sekolahnya?" tawar Ifan.
"Berhenti manggil aku Penelope!" kesal Artha. Mentang-mentang nama belakangnya ada kata 'love'nya, Ifan malah seenaknya menistakan.
Ifan tergelak. Artha kalau marah terlihat lucu. "Mau bareng apa enggak nih?"
"Ke sekolahnya pakai apa?" tanya Artha.
"Pakai mobil?" Ifan menawarkan.
Artha menggeleng. "Pakai scopy Bang Igan aja. Pakai mobil panas. Engap."
Rigan mendelik. Menatap Artha dengan mata terbelalak. "Jangan dong. Pakai sepeda aja. Abang ke kampus mau pakai motor." protes Rigan.
Artha mendesah kecewa dengan wajah dibuat sedih sedemikian rupa. "Yahh."
Rigan menghela nafas. "Yaudah. Pakai aja motornya. Abang pakai mobil aja kalau gitu," ujar Rigan akhirnya mengalah. Wajah lesu, sedih, kecewa dan berbagai raut muka tidak bahagia di wajah Artha adalah kelemahan Rigan. Bukan Rigan saja, Ifan dan Irfan juga begitu.
"Beneran?"
"Hm."
"Makasih Abang!" seru Artha kesenangan.
"Iya."
Ifan selesai sarapan. Dia mendorong piring bekas rotinya mejauh lalu meneguk air putih. Kemudian Ifan bangkit, hendak pamit pada Rigan dan Irfan. "Yaudah. Kita berangkat sekarang."
Artha mengangguk dan ikut bangkit. Ifan menyalami tangan Rigan dan Irfan secara bergantian, begitu juga Artha. Ajaran Irfan benar-benar melekat pada putra putrinya, membuat senyum bahagia terbit di bibir duda muda itu.
"Uang jajan," pinta Ifan mengadahkan tangannya dengan cengiran lebar.
Irfan meraih dompetnya. Menarik dua lembar uang dua puluh ribuan keluar lalu memberikannya pada Ifan dan Artha. Untuk Rigan, lembaran warna biru Irfan berikan. Maklum, yang sulung sudah kuliah. Jadi uang jajannya di level atas.
Artha dan Ifan tak pernah protes dengan jumlah uang jajan mereka. Dua puluh ribu lebih dari cukup. "Makasih, pa."
Irfan menyimpan kembali dompetnya. "Kurang?"
"Udah. Cukup." jawab Artha mendahului mulut Ifan yang terbuka. Anak itu pasti akan menyahut iya.
"Kita berangkat. Assalamualaikum," pamit keduanya berlalu pergi meninggalkan ruang makan.
"Hati-hati! Jangan ngebut bawa motornya! Jagain kakak kamu!" seru Irfan.
"Siip pa!"
***
Sesuai dengan ucapan Irfan, Ifan membawa motornya dengan kecepatan sedang dan hati-hati. Tepat pukul tujuh, mereka tiba di sekolah. Lima menit lagi bel masuk akan berbunyi.
"Susah banget sih nih helm," gerutu Artha karena kaitan helmnya susah sekali dilepas.
Ifan yang masih duduk diatas motor terkekeh melihat kakaknya itu. "Meh sini, gue bantu." Ifan mengulurkan tangannya, membantu Artha membuka kaitan helmnya.
"Udah," ujar Ifan.
Artha melepaskan helm itu dan memberikannya pada Ifan. "Yaudah, aku duluan."
"Woi! Emang tau kelasnya dimana?" seru Ifan karena Artha sudah melenggang pergi.
"Enggak! Tapi bisa di cari!"
Ifan hanya geleng-geleng kepala. Lantas dia turun dari motor dan bergegas pergi menuju kelas. Dari kejauhan, tiga cewek berdiri di teras kelas sebelas. Memperhatikan Artha dan Ifan sejak tadi. Salah satu diantaranya menggeram tak terima.
"Siapa sih tuh cewek? Berani banget deketin cowok gue," gerutu Meli sebal.
"Anak baru deh kayaknya, Mel. Baru liat gue soalnya," timpal Nuri.
Meli mengepalkan tangannya. "Awas tuh cewek. Berani banget ganjenin Ifan."
"Hajar aja, Mel," kompor Bella.
"Iya. Nanti kita kenalan sama itu cewek."
***
Artha berjalan membuntuti guru laki-laki yang berjalan di depannya. Guru itu adalah wali kelasnya dan kebetulan akan mengajar di kelas XI-Ips2 pagi ini.
Ruang kelas yang semula berisik berganti sunyi saat Artha dan guru bernama Pak Aja itu memasuki kelas. Semua kegiatan di kelas seketika terhenti. Pandangan seluruh muridnya tertuju ke depan dengan tatapan yang berbeda-beda.
"Assalamualaikum," ucap Pak Aja memecah sunyi di kelas ini.
"Waalaikumsalam, Pak," jawab seluruh murid serempak.
Pak Aja mengulas senyum di wajah tampannya. "Hari ini kelas kita kedatangan murid baru." Pak Aja menoleh, menatap Artha. "Artha, silahkan perkenalkan diri kamu."
Artha tersenyum kikuk, memberanikan dirinya menatap teman-temannya. "Hai, perkenalkan, nama aku Artha. Sebelumnya aku homescholing. Hm, semoga kita bisa berteman ya."
Seluruh kelas geming. Pak Aja mengambil alih. "Baiklah. Artha, silahkan duduk di samping Nasya. Nasya angkat tangannya!"
"Aca disini, Pak!" sahut gadis bernama Nasya.
Pak Aja mempersilahkan Artha untuk duduk. Setelah mengucapkan terima kasih, Artha bergegas mendekati bangkunya dan duduk disana. Disamping Nasya dan di belakang laki-laki yang tak tahu siapa namanya.
Nasya dengan antusias mengulurkan tangannya. "Kenalin, Nasya Hadibsa. Panggil Aca aja."
"Artha," balas Artha menjabat uluran tangan Nasya.
"Semoga kita bisa jadi temen ya," ujar Aca tersenyum lebar.
Artha mengangguk sembari mengusung senyum tipis. Diam-diam, laki-laki yang duduk di depan Artha menoleh ke belakang. Memperhatikan interaksi dua gadis itu. Tiba-tiba sudut bibirnya terangkat naik.
"Nah, yang ini, yang lagi senyum-senyum sendiri kek orang gila, namanya Tirtha," ujar Aca menunjuk laki-laki bernama Tirtha itu.
Sontak saja, senyum di wajah di Tirtha lenyap. Laki-laki itu menatap Artha. "Tirtha."
"Artha."
"Semoga kita bisa jadi temen ya," ujarnya menirukan ucapan Aca.
Artha mengangguk dan membalas dengan senyuman kikuk.
Di barisan meja paling sudut belakang bagian kanan, ada tiga cewek yang histeris dan terbelalak kaget saat tahu Artha masuk di kelas ini. Mereka adalah Meli, Nuri dan Bella. Tiga kembang tahu itu menggebu-gebu tanpa alasan yang jelas.
"Omg! Tuh cewek masuk kelas ini!" seru Nuri.
"Cukup menarik," balas Meli tersenyum miring.
***
Aca mengajak Artha ke kantin. Gadis itu juga mengenalkan lingkungan sekolah pada Artha. Mulai dari toilet, perpustakaan, UKS, koperasi, ruang BK, ruang osis hingga guru ganteng yang ada di sini.
Artha hanya menanggapi celotehan Aca dengan senyuman. Dia tidak terlalu biasa menghadapi orang lain. Masih terlalu kaku bagi Artha untuk blak-blakan dengan Aca atau sekedar berbalas suara.
"Mau makan apa?" tanya Aca setibanya mereka di kantin.
"Apa aja," jawab Artha.
Aca mengangguk. "Lo cari tempat duduk duluan ya. Aca mau pesen makanan."
Artha mengangguk kemudian bergegas mencari tempat duduk. Kantin SMA Dwi Bakti hanya satu dan siang ini kantin satu-satunya itu terisi penuh. Hampir seluruh meja terisi penuh. Ada satu yang kosong dan letaknya di paling ujung. Tidak ada pilihan lain, kaki Artha melangkah kesana.
Artha duduk sendirian menunggu Aca yang sedang memesan makanan. Artha tiba-tiba tersentak saat kuah bakso panas yang entah darimana datangnya tumpah mengenai roknya.
Artha lekas bangkit, meraih tisu dan mengusap kuah bakso yang mengotori roknya. Kurang kerjaan sekali setan sampai menumpahkan kuah baksonya di rok Artha. Kalau mau ngebakso yang santai saja, tidak usah cari ribut dengan manusia. Aduh setan! Setan!
"Anak baru?" tanya Meli yang sudah berdiri dihadapan Artha yang sibuk membersihkan roknya.
Artha mendongak. Ternyata pelakunya manusia, bukan setan. "Maaf ya, kalian numpahin kuah bakso di rok aku," ujar Artha datar yang sebenarnya adalah sindiran.
Meli pura-pura kaget. "Oh ya? Sorry." ujarnya kemudian tergelak.
Artha menatap ketiga cewek aneh itu datar. "Iya. Makasih," ujar Artha kemudian berlalu pergi.
Namun, Meli mencekal lengan Artha. Membuat langkah gadis itu tertahan. Meli mendekatkan mulutnya ke telinga Artha. "Jangan pernah deketin Ifan kalau lo nggak mau dapet masalah," bisik Meli tajam.
Dahi Artha mengerut. Ifan? Ifan mana? Pacar dia? Kalau iya, Artha tidak kenal dengan Ifan pacarnya Meli. Tanpa berkata apapun, Artha berlalu pergi saat cekalan lengannya dilepas. Ini baru hari pertama dia berada di sini, tapi sudah ada saja kejadian buruk yang menimpanya. Mengingat tatapan penghuni kantin yang tertuju ke arahnya membuat Artha ingin segera pulang ke rumah.
"Kak Artha!" teriak Ifan dari ujung koridor.
Artha menghentikan langkahnya. Memutar tubuhnya untuk melihat Ifan yang berdiri di belakangnya. "Apa?"
"Udah mak--roknya kenapa?" tanya laki-laki itu saat matanya menangkap rok Artha yang kotor.
"Ketumpahan makanan." jawab Artha. Betulkan, roknya kotor karena ketumpahan makanan?
Ifan beroh. "Nanti pulangnya bareng gue. Jangan naik angkot atau angkutan umum sejenisnya," pesan Ifan sebelum berlalu pergi.
Artha mengedikkan bahunya acuh. Dia melanjutkan langkahnya menuju toilet. Ingin membersihkan roknya yang kotor.
Artha berdiri didepan wastafel setelah membersihkan roknya dari sisa tumpahan kuah bakso. Dia menghela nafas pelan. Menatap pantulan wajahnya di cermin wastafel dengan tatapan sendu.
"Ma, sekolah umum itu beneran nggak enak. Baru juga hari pertama aku udah dapet sial aja," adu Artha pada pantulan dirinya di cermin.
Artha berhenti bicara saat pantulan di cermin bertambah satu. Dan yang satunya laki-laki yang sibuk mengancingkan seragamnya. Artha berbalik, ingin memastikan kalau itu betulan manusia atau malah penghuni toilet ini.
"AAAAAAA!" keduanya berteriak dan sama-sama berlari keluar dari toilet. Bahkan dahi mereka sempat beradu karena berlari secara bersamaan menuju pintu.
Tirtha mengaduh, sementara Artha sudah berlari meninggalkan toilet.
"Artha?" tanyanya kemudian menatap papan toilet. Ini memang toilet cowok dan Artha sudah salah masuk toilet.

Bình Luận Sách (56)

  • avatar
    Rici Gustina

    btw cerita ini bgss bgtt gk ngebosanin

    8d

      0
  • avatar
    LIEANORYACASSANDRA

    sangat baik

    10d

      0
  • avatar
    ArvensyahRiki

    saat menari

    23/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất