logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 6 Darah

‘Iya gak apa-apa Nduk, yang penting kamu gak apa-apa dan sudah sampai rumah dengan selamat saja sudah membuat Ibuk lega.’ Jawab Ibuk
‘Ya udah kalau begitu kamu lanjutkan saja istirahatnya, Ibuk tak bilang sama Bapak kalau kamu sudah sampai rumah.’ Lanjutnya
“Nggeh Buk, salam buat Bapak ya, Assalamu’alaikum.”
‘Iya Nduk, Wa’alaikumsalam.’ Ibuk menutup teleponnya.
Ku lihat jam yang tertera di layar ponsel, ternyata sudah pukul 13.15, berarti aku sudah tertidur sekitar satu setengah jam. Sudah sewajarnya Bapak dan Ibuk sangat khawatir, ternyata sudah jam satu siang padahal seharusnya jam sepuluhan lebih aku sudah sampai di rumah.
Aku bangkit dari ranjang, lalu berjalan menuju kamar mandi yang berada di ujung kamar. Aku mengambil air wudhu lalu bersiap untuk menunaikan sholat dzuhur.
Setelah selesai sholat aku keluar dari kamar, ku lihat Jesica sedang duduk di ruang tamu sambil memainkan ponselnya. Ku langkahkan kakiku untuk mendekatinya.
“Gak makan Mbak?” Tanyaku setelah aku duduk disampingnya.
“Iya nanti.” Jawabnya singkat.
Ku lihat Sari yang sedang sibuk di ruang makan, ia sudah selesai menyiapkan makan siang untuk kami.
“Ayok Mbak kita makan.” Ajakku sembari berdiri
“Ya.” Jawabnya, lagi-lagi jawabannya sangat singkat sembari mengikutiku yang sudah terlebih dulu berjalan menuju ruang makan.
Kami menikmati makanan dalam diam, tak ada sepatah katapun terucap baik dari mulutku maupun dari mulutnya.
Pryaaanggg, Jesica tiba-tiba melemparkan sendok dan garpunya ke piring yang ada di hadapannya. Aku terkejut, bahkan hampir saja aku semburkan semua makanan yang ada dimulut karena saking terkejutnya.
“Ada apa Mbak, kenapa tiba-tiba banting sendok?” Tanyaku setelah meminum air putih untuk menurunkan makanan yang memenuhi mulutku ke perut.
“Kenapa? Kenapa kamu tanya!” Jawabnya emosi, ia bangkit dari duduknya sembari mengambil sendok yang sudah ia lemparkan tadi dan mengarahkannya padaku.
“Tenang Mbak, tenang dulu.” Ucapku ikut bangkit, berusaha menenangkannya.
“Gak, aku gak bisa tenang. Kamu jangan sok baik di hadapanku.” Ucapnya semakin emosi
“Gak Mbak, kamu tenang dulu kita bisa bicarakan semuanya baik-baik.” Bujukku
Klotakkk, kluntiing.
Dia lemparkan dengan keras sendok yang ia genggam. Sendok itu mengenai dahiku lalu terjatuh ke lantai.
“Auuuuuuhhh.” teriakku menahan sakit.
Lemparannya sangat keras, bahkan sampai kepalaku terasa sedikit pusing. Muncul rasa perih di dahi, aku merasa ada sesuatu yang mengalir dari sana. Ku usap aliran itu dengan punggung tangan, betapa terkejutnya diriku setelah mengetahui apa yang menfggalir disana.
“Daaaaraaahhh.” ucapku lemah setelah melihat ada bekas noda darah di punggung tangan.
Tubuhku seketika merosok setelah melihat darah di tanganku. Beberapa detik kemudian wajahku mulai memucat, keringat dingin mulai bercucuran dari tubuh. Mataku mulai berkunang-kunang dan setelah itu aku sudah tidak tau lagi apa yang terjadi.
“Mbak, bangun Mbak.” Samar-samar ku dengar suara Sari
“Mbak Nisa, Mbakkk.” Kali ini suaranya semakin jelas ku dengar
Aku mulai membuka mataku, kulihat di kanan ranjang ada Sari yang terlihat sangat khawatir sembari memegang tanganku.
“Aku kok ada di kamar.” Tanyaku padanya setelah sepenuhnya tersadar.
Seingatku, terakhir kali aku terduduk di samping meja makan setelah melihat darah dari dahi.
“Aku pingsan ya Sar?” Tanyaku lagi
Iya pasti aku pingsan, aku memiliki pobia pada darah. Aku yakin pasti tadi pingsan karena melihat darah di tangan.
“Iya Mbak, Mbak tadi pingsan.” Jawabnya
Tanganku meraba dahi yang tadi terluka, sudah ada perban yang terpasang rapi di sana, pasti Sari yang mengobatiku.
“Yang bawa aku ke kamar siapa Sar?”
“Tadi aku sama Mbok Minah yang gendong Mbak ke kamar. Sekarang Mbok Minah sedang menenangkan Mbak Jesica di kamarnya.” Jelas Sari
“Maaf ya sudah ngerepotin kamu Sar.” Ujarku penuh penyesalan,
“Iya Mbak gak ap.” Ucapan Sari terpotong
“Kamu gak apa-apa kan Nis.” Mas Rama berlari memasuki kamarku yang memang pintunya terbuka.
“Iya gak apa-apa kok Mas, cuma kaget aja liat darah, ini lukanya juga sudah diobati sama Sari.” Jawabku
Tak pernah ku duga sebelumnya, Mas Rama mendekat mendudukan dirinya di kursi yang semula diduduki Sari. Sari berpamitan keluar dari kamarku. Kini hanya tersisa Aku dan Mas Rama seorang.
Mas Rama yang sebelumnya tidak pernah menginjakan kakinya di kamarku kini terduduk disampingku. Aku merasa seperti sedang di alam mimpi, atau memang aku sekarang belum benar-benar tersadar.
Mas Rama mengelus lembut luka di dahiku, diangkatnya tanganku yang berada di sampingnya, lalu ia genggam tanganku dengan kedua tangannya.
Deg, jantungku berdegup dengan sangat kencang, tubuhku rasanya seperti tersengat aliran listrik dan wajahku pun mulai memanas. Aku tidak tau seperti apa rupaku sekarang, jangan sampai Mas Rama menyadari wajahku yang memerah.
Saat aku berusaha menahan malu dan hendak menutupi wajahku tiba-tiba Mas Rama melepaskan tanganku dan bangkit dari duduknya.
“Maaf Nis.” Ucapnya tanpa memandangku, ia lalu membalikan badan berlalu meninggalkanku.
‘Bodoh kamu Nis, bisa-bisanya kamu salah tingkah dan mengira Mas Rama berubah jadi perhatian sama kamu. Sadar Anisa, itu tak akan pernah terjadi.’ rutukku dalam hati.
***
Sebelum sarapan aku keluar untuk menghirup udara segar di taman depan rumah sekaligus menyirami bunga-bunga yang tertata rapi di sana. Aku ingin melakukan kesibukan, badanku rasanya pegal-pegal karena kemarin hampir seharian aku di tempat tidur.
Saat aku sibuk berkutat dengan bunga-bunga di hadapanku, Mas Rama menghampiriku dengan pakaian yang sudah rapi, ia kemudian berpamitan padaku.
“Lho ini baru jam 6 kok Mas udah mau berangkat kerja.” Tanyaku setelah mencium punggung tangannya.
“Ada pertemuan di luar kota, aku berangkat ya.” Pamitnya
“Hati-hati Mas.” Jawabku
Mas Rama menganggukan kepala lalu berbalik menuju ke garasi tempat mobilnya terparkir. Aku masih berdiri menatap mobil Mas Rama yang mulai bergerak. Mas Rama berhenti dan membunyikan klakson mobilnya yang semula ku sangka ia tujukan padaku. Dengan bodohnya aku tersenyum dan melambaikan tanganku padanya yang berada di dalam mobil.
Betapa terkejutnya aku saat menyadari ternyata klakson itu bukan ia tujukan padaku tapi pada gadis yang berlari menghampirinya dengan pakaian yang rapi pula. Dia Jesica, Mas Rama pergi pagi-pagi ke luar kota bersama Jesica. Tubuhku membeku seketika, dadaku memanas serasa sekujur tubuhku kini mulai terbakar, terbakar api cemburu yang membara dari dada.
Mobil Mas Rama sudah keluar dari pagar rumah kami. Aku masih menatap mobilnya sampai tak terlihat terhalang bangunan disamping rumahku. Mataku mulai memanas, air mata yang sejak tadi ku tahan kini berjatuhan tak tertahan lagi.
Ku jatuhkan selang yang sejak tadi ku pegang, ku dudukan tubuhku di ayunan yang berada di tepi taman. Ku telingkupkan tangan menutupi wajah yang sudah basah dengan air mata. Aku kembali menangis sejadi-jadinya, ingin mengeluarkan semua sakit di dadaku ini lewat tangisanku.
“Mbak Nisa, Mbak jangan nangis lagi ya.” Ku dengar suara Sari yang sepertinya sedang berdiri di sampingku. Ia membelai rambutku sembari menepuk-nepuk punggungku bermaksut menenangkanku. Aku masih menangis tidak memperdulikannya sama sekali.
Kali ini ia duduk di sampingku, diangkatnya wajahku lalu ia dekap tubuhku. Entah kenapa perhatian dari Sari ini tidak membuatku berhenti menangis namun malah sebaliknya semakin keras aku menangis dalam dekapannya.
Sekitar 5 menit berlalu, Sari dengan sabarnya menemaniku menangis dalam pelukannya. Aku bangkit, ku usap air mata di kedua pipiku.
“Maaf ya Sar.” Ucapku disela isak tangisku yang mulai mereda.
“Iya Mbak, aku gak tega melihat Mbak terus-menerus menangis seperti ini.” Ucapnya
“Kenapa sih Mbak Nisa masih saja mau disakiti Mas Rama. Bahkan sekarang di tambah ke hadiran Mbak Jesica, kenapa Mbak gak ninggalin Mas Rama saja sih. Aku yang cuma melihat saja ikut sakit bagaimana sama Mbak Nisa yang menjalani, pasti sangat-sangatlah sakit.” Ujar Sari yang membuatku sedikit terkejut.
Aku tak pernah mengira kalau Sari selama ini memperhatikanku dan ikut merasakan sakit yang aku rasa.
“Maaf Mbak sebelumnya kalau Sari lancang.” Lanjutnya menundukan kepalanya, ia merasa tidak enak setelah mengeluarkan semua unek-unek yang selama ini ia pendam.
“Iya gak apa-apa Sar, makasih ya udah perhatian sama Mbak.” Jawabku lembut sembari mengelus pipinya.
“Iya Mbak sama-sama, Mbak Nisa jangan nangis lagi ya. Sari ikut sedih melihat Mbak menangis, Mbak Nisa itu orang baik yang sudah Sari anggap seperti kakak Sari. Jadi Sari gak rela kalau Mbak selalu disakiti Mas Rama.” Ujarnya tulus
Entah mengapa semangat dari Sari memberiku sedikit kekuatan. Sari memang gadis yang sangat baik, ia sangat baik padaku sejak kedatanganku di rumah ini. Mengingat usia kami yang hanya terpaut satu tahun dan asal kami yang sama-sama dari desa mungkin menjadi alasan bagi Sari untuk sangat memperdulikanku bahkan ikut merasakan rasa sakitku selama ini.
‘Terima kasih Sari. Terima kasih sudah menjadi tempatku bersandar dan menangis hari ini.’ Ucapku dalam hati
Sari bangkit dan mengajaku masuk ke dalam rumah.

Bình Luận Sách (228)

  • avatar
    IryouwRickofhy

    good👍

    17d

      0
  • avatar
    SetiawanTendy

    bagus

    18d

      0
  • avatar
    Riss

    Critanya sangat bagus dan menarik, Tapi sayang nya Udh tamat, next in dong kak critanya

    13/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất