logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 4 Terancam Kehilangan Tempat Tinggal

“Sudahlah Nak El,” bujuk Bu Halimah, tetangga sebelah rumah Elena yang merasa iba melihat Elena masih terduduk di kursi yang disusun di halaman. Sementara Rani dan Raya sudah berlalu dari rumah itu nyaris lima belas menit yang lalu.
Elena mengusap matanya dan mencoba tersenyum dengan susah payah. Tapi tetap saja lengkung senyumnya patah, berganti tarikan mulut ke dalam karena menahan tangis.
“Nanti aku mau tinggal dimana, Bu? Aku belum bisa mencari pekerjaan sampai bayiku sudah cukup besar untuk dititipkan di tempat penitipan anak,” keluh Elena dengan nada getir. “Mana sepeda motor mas Fajar juga masih belum lunas cicilannya. Dengan apa mau dibayar kalau aku tak punya penghasilan?”
“Masalah cicilan motor, tak usah kamu pikirkan, El. Kan si Raya yang pakai, jadi semestinya dia yang bayar cicilannya kan? Kalau dia tak mau bayar, ya sudah. Biar aja ditarik leasing. Biar sama-sama nggak dapat tuh motor,” komentar Bu Sanusi, tetangga yang lain, yang ikut gemas menyaksikan tingkah polah si kembar tadi.
“Iya, enak aja main rampas-rampas barang peninggalan kakaknya yang baru saja meninggal. Nggak ada otaknya tuh bocah,” komentar Yu Minah.
“Dari dulu dua orang itu memang senangnya nyusahin. Bukannya balas budi pada Fajar yang merawat dan mengasuh mereka sewaktu kecil, malah merongrongin.”
“Salahnya Pak Hendra dan Bu Ida juga, dulu suka manjain si kembar. Akibatnya gedenya malah seperti ini.”
“Hush, nggak baik menyalahkan orang yang sudah meninggal.”
“Yah, mau bagaimana lagi? Sekarang kasihan Elena. Sudahlah yatim piatu, ditinggal mati suami, dan sekarang dizolimi adik-adik ipar.”
Akhirnya rumah itu menjadi ramai oleh suara celotehan dan gibahan ibu-ibu, sampai akhirnya Pak Robi-sang ketua RT-terpaksa turun tangan dengan menyuruh mereka memasak hidangan ala kadarnya untuk pengajian. Duitnya dari uang kas RT dan iuran warga ala kadarnya.
Elena memang tidak mengadakan tahlilan, dan menolak ketika Pak Robi mengatakan bersedia membiayai jika Elena ingin mengadakan tahlilan. Sudah sifat Elena untuk tidak ingin merepotkan orang lain. Lagi pula Elena merasa doa untuk suaminya lebih afdol kalau dia panjatkan sendiri pada sholat malamnya. Namun warga sekitar tetap berinisiatif menemani Elena selama beberapa hari setelah Fajar meninggal. Banyak tetangga yang menyumbang makanan dan minuman, sehingga Elena tidak perlu repot-repot memasak untuk dirinya dan sang jabang bayi. Anak-anak yang biasanya belajar mengaji di mesjid, dialihkan oleh pengurus mesjin untuk tadarus di rumah alamarhun Fajar. Selama seminggu itu, Elena juga tidak dibiarkan tidur sendiri. Ada saja tetangga yang bergiliran menginap untuk menemaninya. Paling sering adalah Bu Halimah, karena selain tetangga sebelah rumah, Bu Halimah juga tinggal sendirian karena anak-anaknya sudah berkeluarga dan tinggal di luar kota. Berkat penghiburan dan bantuan dari tetangga-tetangganya yang baik hati, Elena tidak memiliki kesempatan untuk mengasihani dirinya yang sudah menjadi janda di usia muda. Ataupun mengasihani anaknya yang sudah menjadi yatim sejak masih dalam kandungannya.
Baru dua puluh tujuh tahun umurnya, dan baru empat tahun dia sempat merasakan indahnya berumah tangga. Menikmati kasih sayang tulus dari suaminya. Empat tahun yang sangat berkesan dan berarti di dalam kehidupannya
"Anakmu laki-laki apa perempuan, El?," tanya Bu Halimah sambil mengelus perut Elena.
Bu Halimah enggan meninggalkan Elena sendirian sejak Fajar meninggal, lima hari yang lalu. Hatinya iba jika membiarkan perempuan muda yang sedang hamil tua ini sendirian dalam kesedihan. Lagipula di rumahnya Bu Halimah juga tinggal sendirian saja. Suaminya sudah meninggal, dan anak-anaknya sudah punya rumah sendiri-sendiri di luar kota. Hanya sesekali aja salah satu dari anaknya mampir menengok ibunya, selebihnya sibuk dengan urusannya sendiri. Bu Halimah sangat paham makna dari kesepian. Dan sebisa mungkin dia ingin Elena tidak merasa sendiri.
"Laki-laki, Bu. Insyaa Allah. Hasil USG bilang begitu,” jawab Elena sambil tersenyum. Baru seminggu yang lalu, dua hari sebelum Fajar terkena serangan jantung, mereka sempat bersama-sama mengunjungi tempat praktek seorang dokter kandungan untuk melakukan USG. Fajar sangat bahagia mengetahui bahwa istri dan calon anak laki-lakinya berada dalam keadaan sehat. Berulangkali dia mengatakan ketidaksabarannya untuk menanti hari persalinan tiba. Tentang keinginannya untuk menggendong putranya, mengajarinya berenang dan naik sepeda. Namun takdir Tuhan tidak ada yang tahu. Fajar berpulang sebelum hari yang dia tunggu-tunggu tiba. Fajar ternyata tidak memiliki kesempatan untuk memeluk dan mencium buah hatinya.
Elena menyusut air matanya, terkenang kegembiraan dan sukacita Fajar saat melihat pertamakali wajah putranya melalui layar USG 4 dimensi di klinik dokter kandungan itu.
"Alhamdulillah...Semoga putramu kelak bisa menjaga Ibunya ya, Nak."
"Aamiin...," Elena tersenyum dalam tangis.
"Nak El, maaf Ibu tak sengaja mendengar sewaktu kamu bertengkar dengan Rani dan Raya kemaren dulu. Terus-terang Ibu jadi penasaran, apa benar rumah ini mau dijual?," tanya Bu Halimah lagi.
Elena mengangguk. "Benar Bu, saya memang tak punya hak atas rumah ini. Karena ini adalah rumah orangtuanya Mas Fajar."
“Apakah sewaktu Pak Hendra masih hidup, tidak ada pembicaraan soal hibah ataupun wasiat tentang harta warisan? Maaf ya, kalau Ibu terkesan kepo dan turut campur,” ujar Bu Halimah meminta maaf.
“Tidak apa-apa, Bu,” jawab Elena sambil menyentuh tangan Bu Halimah. Tetangganya yang satu ini sudah seperti seorang ibu baginya. Jadi Elena pun tidak sungkan untuk bercerita tentang perihal rumah tangganya.
“Dulu sewaktu saya dan Mas Fajar baru menikah, Bapak menyuruh kami untuk pulang dan tinggal di rumah ini. Bapak memang pernah bilang bahwa rumah ini kelak akan menjadi hak milik Mas Fajar. Karena sebagai anak laki-laki satu-satunya, Mas Fajarlah yang diharapkan Bapak kelak untuk tetap tinggal disini. Bapak sangat menyukai lingkungan disini, senang hidup bersama tetangga-tetangga yang dulunya adalah teman-temannya sewaktu masih bekerja di pabrik. Bapak dulu juga berpesan supaya jangan pernah menjual rumah ini,” ujar Elena dengan pandangan menerawang. “Namun waktu itu, Mas Fajar berkeinginan untuk hidup mandiri. Jadi Mas Fajar menolak keinginan Bapak untuk tinggal bersama Bapak dan adik-adik.”
“Mungkin sebenarnya waktu itu Fajar ingin melindungimu dari adik-adik iparmu yang julid dan manja itu, makanya dia menolak untuk tinggal di rumah ini,” komentar Bu Halimah. “Atau mungkin juga Fajar merasa lelah menghadapi adik-adiknya, sehingga ingin menjauhkanmu dari mereka.”
“Mungkin,” gumam Elena murung. “Namun kemudian Bapak terkena struk, sehingga mau tidak mau kami terpaksa pulang dan tinggal di rumah ini. Sewaktu Bapak masih bisa berkomunikasi, beliau pernah mengulang kembali perkataannya dihadapan kami semua, termasuk Rani dan Raya. Bahwa rumah ini adalah hak Mas Fajar, karena dibangun dari harta bersama Bapak bersama mendiang istrinya sebelumnya, yaitu Ibu kandung Mas Fajar.”
Bu Halimah terlihat terkejut. “Maksudmu si Kembar itu bukan adik kandungnya Fajar?”
Elena mengangguk. “Benar, Bu. Namun ibunya Mas Fajar dengan ibunya Rani dan Raya itu bersaudara kandung. Istilahnya turun ranjang. Jadi Bu Ida menggantikan kakaknya yang meninggal sewaktu melahirkan Mas Fajar.”
Bu Halimah mengangguk-angguk. “Pantas tetangga disini tidak banyak yang tahu mengenai hal itu. Lagipula Fajar dan si Kembar juga memiliki raut wajah yang mirip, sehingga semua orang menyangka mereka memang bersaudara kandung.”
“Si Kembar tahu, tapi mereka berpura-pura mengabaikan kenyataan itu. Juga mengabaikan wasiat Bapak,” gumam Elena dengan kesal.
“Kenapa kamu tidak mengungkit itu waktu si Kembar mengatakan ingin menjual rumah ini?,” tanya Bu Halimah lagi.
Elena diam sejenak, menarik nafas lalu menghembuskannya. Sejujurnya dia memang sangat kesal dengan Rani dan Raya. Tapi disisi lain dia juga tak berdaya karena tidak memegang bukti apa-apa.
“Aku hanya tidak ingin rahasia keluarga ini menjadi bahan omongan orang, Bu. Entahlah, sepertinya almarhum Bapak memang menyimpan banyak rahasia. Namun disaat dia ingin mengungkapkan semuanya, mendadak dia kembali terkena serangan jantung untuk kedua kalinya. Dan kali ini lebih parah, karena membuat Bapak kehilangan kemampuan bicaranya.”
“Jadi tidak ada surat wasiat atau saksi selain anggota keluarga tentang status hak rumah ini?,” tanya Bu Halimah.
Elena menggeleng dengan lesu.
"Nak El nggak kepengen sewa pengacara begitu? Setahu Ibu, ada yang namanya hukum warisan dalam agama kita. Fajar sebagai anak laki-laki berhak atas 2/3 bagian. Sebagai istri Fajar, Nak El berhak 1/4 dari bagian Fajar jika memiliki anak. Namun jika tidak punya anak, hak istri adalah 1/8 bagian. Cuma sekarang kan Nak El sedang hamil. Nah ini, Ibu agak bingung. Apakah Nak El terhitung 1/4 atau 1/8 bagian? Lebih baik untuk hal ini diselesaikan secara hokum. Bagaimana pun, Rani dan Raya tidak berhak semena-mena menjual rumah ini dan menguasai uang penjualannya. Mengenai sepeda motor Fajar yang dibawa Raya, kalau memang kepemilikannya atas nama Fajar, maka kamulah yang berhak atas sepeda motor itu. Ibu bukannya bermaksud menghasut, tapi sepertinya kamu memang butuh orang yang mengerti hukum tentang urusan harta warisan ini,” nasihat Bu Halimah.

Bình Luận Sách (357)

  • avatar
    Rici Gustina

    kasih sama elea

    8d

      0
  • avatar
    ApriliaAulira

    mantap

    9d

      0
  • avatar
    Keeple keceh

    Mntapp

    10d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất