logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Rahasia Cinta Sang Aktor

Rahasia Cinta Sang Aktor

weferin


Chương 1 Ditinggal Suami

Elena tak pernah menyangka bahwa hari ini adalah hari yang berbeda dari hari-hari kemaren.
Pagi ini dia masih sempat memasak sarapan buat suaminya tercinta, setelah berbulan-bulan dia absen menyentuh dapur. Bukan karena tak suka memasak atau karena tidak sempat. Tapi karena dia sedang hamil tujuh bulan, dan sepanjang kehamilannya bau bawang dan bau nasi aja bisa membuatnya pusing, mual, dan muntah-muntah. Tiga bulan pertama kehamilan, Elena bertahan hidup hanya dengan memakan biskuit dan buah-buahan. Lalu tiga bulan berikutnya dia hanya mau makan roti atau kentang dengan lauk dan sayur, tapi tetap tanpa nasi. Tadinya Elena berpikir, sampai anaknya lahir dia akan tetap seperti ini; anti dengan nasi. Tapi ketika dia terbangun dipagi hari itu, tiba-tiba Elena merasa sangat kepingin makan nasi goreng.
Jadilah sesudah membangunkan Fajar dan menunaikan ibadah sholat Subuh , Elena turun ke dapur dan mulai memasak. Fajar terbiasa sholat Subuh di mesjid dekat rumah mereka. Dan karena sekarang hari Kamis, biasanya dia juga lanjut berolahraga pagi bersama para lansia. Di halaman mesjid kompleks, setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu pagi ada acara senam khusus lansia yang boleh juga diikuti warga semua umur.
Elena menata masakannya di meja. Dua piring nasi goreng dan dua gelas the manis hangat. Tak ketinggalan kerupuk ikan khas palembang kesukaan suaminya.
Selesai memasak, Elena pergi mandi dan berdandan. Ditinggalkannya daster rumahan yang beberapa bulan ini selalu dipakainya siang dan malam. Lalu mengenakan gamis berwarna biru langit yang mengingatkannya pada kencan pertamanya bersama Fajar. Elena mengenakan baju ini ketika mereka pergi makan malam di sebuah cafe empat tahun yang lalu. Malam disaat Fajar menyatakan cinta padanya. Elena juga mengenakan baju ini pada hari Fajar datang ke rumah bibi yang merawatnya setelah orangtuanya berpulang, dan mengatakan pada Bibi bahwa dia ingin melamar Elena untuk menjadi istrinya. Tentu saja baju ini tak senyaman dulu saat dipakai. Karena berat badannya yang naik beberapa kilogram sejak mengandung. Entah mengapa Elena memilih mengenakan baju yang sudah sempit ini.
‘Mungkin bayiku yang ingin melihat mamanya memakai baju berwarna biru’, pikirnya.
Pagi ini Elena merasa agak bersemangat. Dia duduk di meja makan, menunggu Fajar pulang. Sesekali matanya melirik jam di dinding. Hampir pukul enam pagi.
Perut Elena mulai keroncongan menahan lapar. Berulangkali matanya melirik nasi goreng yang terlihat begitu menggoda dengan irisan sosis, tomat dan mentimun diatasnya. Rasanya sangat tidak sabar menunggu suaminya pulang. Akhirnya karea tidak bisa menahan lagi, Elena mengambil nasi goreng itu sesendok dan melahapnya.
Enak!
Sesendok, dua sendok..tak sadar sepiring nasi goreng sudah berpindah ke perutnya. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul setengah tujuh. Biasanya jam segini Mas Fajar sudah bersiap-siap untuk berangkat kerja.
Elena mulai gelisah. ‘Kemana sih Mas Fajar? Jangan-jangan mampir sarapan di warung nasi uduk,” Elena bergumam. Memang sejak Elena hamil dan tidak bisa masuk dapur, Fajar tidak pernah lagi sarapan di rumah. Elena sedikit menyesal, mengapa tadi tidak memberi tahu Fajar kalau dia ingin memasak dan mengajaknya sarapan bersama. Tadinya Elena berpikir ingin memberi kejutan buat Fajar dengan memasak nasi goreng kesukaannya.
Elena baru saja bangkit dari kursi untuk menaruh piring bekas makannya di wastafel dapur, saat terdengar ramai-ramai dari luar.
"Assalammualaikum!!" terdengar beberapa orang menyerukan salam dari luar.
"Wa Alaikum salam", jawab Elena sambil tergopoh membuka pintu. Beberapa bapak-bapak yang diketahuinya adalah tetangga-tetangganya sudah membuka pintu pagar dan berdiri di teras. Di belakang mereka ada beberapa ibu-ibu tetangga yang juga turut serta.
"Ada apa Pak?" , tanya Elena bingung.
Pak Robbi, seorang pensiunan guru yang juga ketua RT maju ke depan dan menghampiri Elena. "Ikut kami ya, Mbak," ujarnya lembut.
Elena menatap bingung pada Pak Robbi. "Ikut kemana?"
"Suamimu sudah dibawa duluan ke rumah sakit, ayo kami antar Mbak Elena menyusul".
“Rumah sakit? Siapa yang sakit, Pak?” tanyanya bingung.
Berikutnya, Elena seperti setengah sadar saat beberapa ibu-ibu menghampirinya dan membantunya mengunci pintu. Di depan pagar sudah bersiap sebuah mobil Terios warna hitam, entah mobil siapa. Seperti kerbau dicocok hidungnya, aku duduk di bangku tengah. Dua tetanggaku ikut menemani. Sementara Pak Robbi duduk di samping sopir.
"Pak Fajar mendadak terjatuh saat mengikuti senam pagi", seseorang berkata entah pada siapa. Elena merasa bingung, seolah-olah mereka sedang membicarakan tentang orang lain yang kebetulan namanya sama seperti suaminya
"Sepertinya dia terkena serangan jantung."
Fix! Mereka pasti berbicara tentang Fajar yang lain. ‘Suamiku tak mungkin kena serangan jantung. Dia sangat sehat. Sangat bugar. Mas Fajar rajin berolahraga. Selain senam pagi, dia juga sering bermain futsal tiap akhir pekan bersama teman-temannya’, Elena berkata dalam hati.
"Akhir-akhir ini banyak juga anak muda yang terkena serangan jantung. Beberapa bulan lalu suaminya penyanyi terkenal itu juga meninggal."
“Oh, yang orang Malaysia itu?”
“Iya, kasihan anaknya masih kecil, laki-laki pula. Pasti terasa banget ditinggal mendadak sama Papanya.”
“Lebih kasihan lagi anaknya artis yang meninggal bersama suaminya karena kecelakaan di jalan tol. Lebih kecil lagi dari anaknya si penyanyi dengan artis Malaysia. Langsung yatim piatu dalam sekejap.”
“Iya, yang ini lebih tragis lagi.”
“Memang kita manusia tak bisa lari dari ketetapan Allah subhanahu wata’ala. Maut, rezeki dan jodoh, tak ada seorangpun yang bisa mengintervensinya selain Allah semata,” Pak Robbi ikut mengomentari percakapan para ibu.
‘Tetangga-tetanggaku ini update juga soal selebritis’, pikir Elena. Tahu kalau mereka sedang membicarakan tentang meninggalnya suami BCL karena serangan jantung, juga anak semata wayang VA yang mendadak jadi yatim piatu. Namun entah kenapa, Elena tak berselera untuk nimbrung berkomentar. Tubuhnya terasa lemas dan berat, seolah-olah sedang ditimpa batu besar yang sangat berat.
Begitulah...Elena memilih tidak berbicara, diam seribu bahasa. Hanya mendengarkan. Kadang ingin nimbrung, tapi seperti ada sesuatu yang menghalangi. Tiba-tiba dia seperti mati rasa. Seperti sedang ketindihan dalam tidur. Ingin bangun, tapi seperti ada yang membebani. Itulah yang dirasakannya saat ini.
Sayup terdengar suara handphone dari bangku depan, milik Pak Robbi. Lalu...
"Innalilahi wa innailaihi rojiuun."
Mobil seketika hening. Semua terdiam. Sementara Elena masih bergeming di kursinya, memandang keluar jendela mobil. Dia tahu ada yang meninggal, biasanya dia selalu spontan melafalkan kalimat innalillahi wa innailihi rojiuuun. Tapi entah mengapa saat itu mulutnya seperti terkunci.
"Kami bagaimana? Lanjut kerumah sakit, apa balik mengantar Bu Elena pulang?," Tanya Pak Robbi pada orang yang menelponnya.
Aku pun bingung. Aku lupa alasanku ke rumah sakit. Yang aku ingat adalah sepiring nasi goreng dan segelas teh hangat yang sudah kusiapkan untuk Mas Fajar. Tentunya sekarang sudah dingin.
"Sabar ya Bu El", ujar Bu Halimah-tetanggaku-yang duduk di sebelahku mengambil tanganku dan menggenggamnya. Aku menoleh padanya dengan bingung.
"Pulang saja, Pak RT", ujarku lantang. "Saya mesti membuatkan lagi teh manis untuk Mas Fajar. Dia tak suka kalau tehnya sudah tidak panas"
Disebelahku, Bu Halimah terisak.

Bình Luận Sách (357)

  • avatar
    Rici Gustina

    kasih sama elea

    8d

      0
  • avatar
    ApriliaAulira

    mantap

    10d

      0
  • avatar
    Keeple keceh

    Mntapp

    10d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất