logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

BAB 7 MEREKA DI RESTORAN

Dua kata yang keluar dari bibir berukuran sedang itu, sukses membuatku mendarat darurat. Rasanya seperti terjungkal di atas tanah.
-------
"Caca, ayah nggak bisa nemanin beli seragam baru besok. Sama Bunda, aja, ya?" ucap Mas Reza duduk di sofa ruang keluarga, tempat favorit kami berkumpul pada waktu senggang. Wajahnya terlihat gelisah. Setelah menerima panggilan telepon.
"Keluar kota lagi? Berapa hari, Ayah?" tabya Caca berpindah ke pangkuan Mas Reza. Menyandarkan kepala di dada bidang itu.
"Peresmian kantor cabang baru, yang diurus kemarin-kemarin. Untuk sementara masih nyewa gedung dulu." Nanar pria maskulin itu menatap. Mungkinkah kalimat itu ditujukan untukku?
"Emangnya nggak bisa kerja tanpa pergi terus gitu! Seperti ayahnya Sisil?" protes Caca yang entah berapa sekian kali. Sejak gadis kecil itu bersekolah di TK, sering membandingkan Mas Reza dengan ayah teman-temannya, yang hampir setiap hari menjemput.
Aku meletakkan pakaian Mas Reza yang telah rapi di atas meja setrikaan. Meskipun kamarnya tidak pernah terkunci. Aku tak berani memasuki ruang pribadi itu dan menyentuh barang-barang tanpa sepengetahuannya.
Aku lanjut merapikan barang-barang Caca, biasanya gadis kecil itu melakukan sendiri. Tapi melihat bad mood tentang kepergian ayahnya, lebih baik gantikan saja.
Ayah dan anak itu masih berdiskusi, saat aku kembali mengambil pakaian sendiri. Mas Reza sempat melirik saat masih memberi pengertian ke Caca.
Sejam berkutat merapikan kamar, tak ingin benda-benda pribadiku terlupa lagi.
"Boleh aku masuk, Zahrah?" Aku menetralisir debar jantung yang seketika bergerak di atas normal. Mendengar suara dari pemilik wajah penghias mimpi itu. Aneh.
Akhir-akhir ini Mas Reza bersikap tak biasa. Lebih sering di rumah dibanding lalu-lalu dan kerap membantu pekerjaan ringan.
Meskipun begitu tak mampu kumaknai prilakunya.

"Silakan, Mas. Apa Caca sudah tidur?" tanyaku berusaha santai.
"Sudah," jawabnya singkat.
Lelaki tampan itu duduk pada kursi meja rias. Netranya menatap lurus. Kedua jemariiku meremas sendiri, menahan debar menghentak tanpa diundang.
"Sepertinya ada yang penting, Mas? Tumben?" tanyaku berusaha sedatar mungkin.
"Apa salah mendatangi istri sendiri?"
Ya Allah. Kalimat ini membuatku melayang, bersama debar berirama indah. Mudah-mudahan aku masih ingat untuk mendarat.
"Ya, enggaklah! Cuma ..., lain aja," gumamku sendiri sambil menetralisir debar.
"Kenapa nggak komplein juga seperti, Caca?" Tatapnya seakan menguliti isi hatiku.
"Tentang?" tanyaku singkat tanpa berani menantang matanya.
"Keluar kota." Dua kata yang keluar dari bibir berukuran sedang itu sukses membuatku mendarat darurat. Rasanya seperti terjungkal di atas tanah. Kemana saja pengalaman, bersama ketiga mantanmu?
Pingin banget komplein, Mas! Atau sekedar nanya, apa sama Mbak Rita, perginya? Tapi, ragu itu lebih mendominasi daripada penasaran yang bercokol.
Kembali dada menyempit mengingat kebersamaan mereka. Sebagai wanita, tatap ibu kandung Caca itu ke mantan suaminya, menyimpan berjuta harapan. Siapa sih aku?
"Saya sudah biasa, kok, Mas, seperti ini. Ibarat satu paragraf, Zahrah hanya pelengkap penderita."
Entah nyambung atau tidak dengan pertanyaan. Kalimat itu mengalir begitu saja, mewakili perasaan gulana. Air Matapun berkumpul di pelupuk, siap meluncur tanpa pamit.
Aku tak tahu di usia yang sedewasa ini, masih suka memelihara ragu berlebihan. Masih saja tetap menutup rasa apapun di hati. Seperti kala remaja dulu.

Sekarang mengingat Mas Reza bersama mantannya. Selalu ada gumpalan mengganjal di jalur pernafasanku.
"Zahrah ambil minum dulu, Mas," ujarku tanpa menunggu reaksinya.
Aku keluar kamar sambil memegang tenggorokan. Ini hanya alasan menghindari zona tak nyaman bagi kesehatan jantungku.
***
"Ayah kok pergi-pergi terus, Bunda? Padahal, senang deh kalau ada Ayah, bisa jalan-jalan dan anter-jemput, kayak teman-temannya Caca di sekolah." Gadis yang hampir berumur tujuh tahun itu, mengerucutkan bibir, sambil mengaduk jus jeruk di depannya.
Ia bersandar di kursi cafe, saat pulang dari belanja seragam sekolah. Dua hari lagi tahun ajaran baru memasuki tingkat SD.
"Kan, ayah kerja. Emang Bunda nggak dibutuhkan lagi sekarang?" jawabku pura-pura marah. "Bunda pergi aja deh, kalau begitu," lanjutku ancang-ancang berdiri.
"Jangan dong, Bunda! Terus Caca, sama siapa kalau semua pergi." Tiba-tiba Caca turun dari kursinya, memelukku erat sambil menangis terisak.
Tak menyangka, reaksinya begitu serius.
Aku membelai kepala yang terbungkus jilbab itu. Caca memang senang meniru penampilanku.
Menyesal juga mencandainya seperti itu. Andai hubunganku tak akan pernah normal bersama ayahnya. Tak pernah sedetikpun terlintas di hati untuk meninggalkan putri yang telah kuanggap darah dagingku ini.
"Pokoknya kemanapun Bunda pergi, Caca ikut!" ucapnya tersedu memeluk leherku.
"Aku hanya bercanda, Sayang. Mana mungking ninggalin purtri cantik, Bunda."
Aku memindai wajah dengan kedua tangan, menghapus air matanya memakai ibu jari, lantas mencubit pipin gemes, kemudian mencium keningnya lama.
"Janji, ya, Bunda. Kalau nggak bakal-"
"Insya Allah, Bunda janji, Sayang!" Aku cepat memotong kalimatnya yang semakin terisak, khawatir akan mengganggu pikirannya dan menarik perhatian pengunjung lain.
"Ayo sebutin mau kemana, Bunda siap antar!" Aku memeragakan seorang bahawan kepada atasannya. Dengan posisi tangan hormat. Kami tertawa bersamaan.
"Caca sayang, Bunda." ujarnya memelukku erat.
"Apalagi bunda," jawabku sambil mendekapnya.
Andai Mas Reza seperti putrinya, mungkin rasa mencekik tak akan pernah ada.
Entah bagaimana memaknai sikap pria bermata teduh itu, kadang ia memanggil bunda, kadang bersikap manis, kadang begitu membutuhkanku kadang juga seakan tak perduli keluarga kecil ini.
Apakah layak ini dikatakan sebuah pernikahan? Toh, hubungan antar suami-istri itu tak ada koneksi.
Andai memang tak ada Caca di antara kami. Mungkin ...?
Astagfirullah, maafkan hamba, ya Allah. Seakan menyesali takdir yang telah Engkau gariskan.
"Bund, bukannya itu Ayah?" Jari telunjuk Caca mengarah ke restoran sebelah yang kami kunjungi.
Mengikuti pandangan telunjuk mungil itu, Mas Reza duduk di depan hidangan, memakai kemeja putih kesayangan, warna favorit. Di depannya seorang wanita duduk membelakangi arah penglihatanku dengan Caca.
Debar dada bergemuruh kuat, memikir segala prasangka. Bukankah ia keluar kota kemarin?
Melihat dari postur tubuh, sepertinya Mbak Rita. mungkin ia telah merubah penampilan dengan memotong rambut. Air mata mulai tergenang. Siap menumpakan apa yang dimiliki.
"Caca kenal nggak, yang ditemani ayah?" tanyaku menyelidik, memastikan perkiraan.
Dalam hati berharap penglihatan Caca beda dengan tangkapan mataku.
"Kayaknya mama deh, Bund. Yuk, kita samperin!" ajak Caca menarik lenganku.
"Telpon aja yuk, Ca?" Tolakku halus. Tak ingin bergabung dengan mereka. selama ini hal seperti itulah kuhindari.
Segera mengambil HP, menghubungi Mas Reza.
"Nggak aktif, Ca." Pikiranku mulai cemas. Kemungkinan itu sepertinya kian nyata.
"Ayo, Bund." Caca kembali menarik tanganku tergesa. Tubuhku tiba-tiba terpaku, dengan wajah terasa mulai menebal.
"Ca, di rumah aja kita tanyain, ya, Sayang?! Bunda harus segera ke rumah loundry." Sorot mataku seakan memelas.
Alasan ini tak sepenuhnya dibuat seketika. Memang ada janji ketemu Raina hari ini.
Aku menggenggam tangan Caca. Walaupun agak kecewa, pun ia mengikuti langkahku sambil terus melihat ke arah ayah dan mamanya, sampai mobil semakin menjauh.
***
Sampai di tujuan, Caca disambut hangat para anggota rumah loundry. Suami Raina yang merupakan dosennya sendiri, sangat menyukai anak-anak, ia membawa Caca jalan-jalan. Kami pun mengadakan rapat kecil, membahas kekurangan apa saja yang perlu dibenahi dan perlu ditingkatkan.
Dengan adanya kesibukan seperti ini, mampu mengikis durja yang hampir nenyumbat pernafasanku.
Rasanya tak ingin kembali ke rumah. Namun, mengingat Caca, ada yang menghangat di dada.
Gadis kecil itulah alasan rumah tangga tak normal ini masih bertahan.

Bình Luận Sách (98)

  • avatar
    OctaridewiPinkan

    Seru bangettttt🫵🏻✨💖😭

    27d

      0
  • avatar
    GhofurIqbal

    keren

    15/08

      0
  • avatar
    AryaKrishna

    bagus

    10/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất